Renjani, dengan demikian, adalah “sawah” itu sendiri yang dengan kesungguhannya merawat Dewa dan memunculkan kesuburan bagi Dewa untuk terus bertahan dan pada masa mendatang bisa menjadi manusia yang siap menghadapi dunia dan segala tantangannya. Sebagaimana nasehatnya kepada Dewa:
“Kamu tahu asal kupu-kupu? Dari telur yang ditetaskan ibunya akan muncul ulat. Itu yang sering kamu lihat di daun pisang, lalu ulat akan merajut kepompong, sebagai rumah dimana tempat dia tidur. Beberapa lama kemudian sang ulat pun terbangun dari tidurnya dan siap meninggalkan rumahnya.
Tapi, hidupnya sudah berubah. Dia akan muncul sebagai kupu-kupu yang cantik. Cantik ya? Dan, kupu-kupu pun akan terbang untuk keliling dunia. (menerawang ke atas sembari ceriah) Kamu juga, nanti kamu akan terbang untuk bisa melihat dunia."
Selain mencurahkan kasih sayangnya, Renjani juga melakukan tindakan-tindakan konkrit untuk terus memunculkan semangat kehidupan dalam diri Dewa. Salah satunya adalah dengan memberinya stimulus dengan menarikan tarian balet, setelah ia mengetahui Dewa memainkan sepatu balet yang sudah lama disimpannya.
Bagi Renjani yang pernah mengalami kejadian buruk yang berkaitan dengan balet (diperkosa gurunya), keputusan itu bukanlah persoalan mudah. Namun, demi Dewa, ia rela mengenakan sepatunya kembali sembari menarikan beberapa gerakan balet, sejenak melupakan semua peristiwa traumatik masa lampau yang sebenarnyanya menyakitkan.
Keputusan untuk memakai kembali sepatu balet adalah pilihan berat yang harus diambil Renjani. Bagaimanapun, sepatu itu merupakan representasi dari satu kenangan pahit yang pernah ia alami. Apalagi, harus menarikan gerakan tari yang pernah mendorong guru yang dikaguminya memperkosanya.
Namun, demi Dewa ia rela melakukannya. Rupanya Dewa memberikan respon atas apa yang dilakukan Renjani, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Tarian balet ternyata berhasil memberikan ‘sinyal kehidupan’ bagi Dewa.
Peristiwa itu dengan jeli merepresentasikan semangat “betapa dalam penderitaan, seorang perempuan sebenarnya masih bisa ‘memberikan kehidupan’ kepada manusia lain”.
Karena “di balik kematian Dewi Sri yang menyedihkan, ia masih mampu menumbuhkan tanaman-tanaman yang kelak mampu mempertahankan kehidupan di muka bumi”. Bentuk adegan-adegan dengan praktik diskursif tentang ibu dan ke-ibu-an, berhasil menjadi submitos yang menghadirkan konsepsi ibu dan keibuan yang dimaknai kembali oleh seorang perempuan.
Dengan semangat serupa, Mbak Wid memilih untuk menjadi dokter anak. Dia bisa saja menjadi dokter komersial yang mampu mendatangkan kekayaan material. Namun, keinginan untuk menyelamatkan anak-anak yang berarti ‘memberikan kehidupan’ demi menebus dosa masa lampau ibunya berhasil memantapkan hatinya untuk berbeda dari para dokter anak kebanyakan.
“Saya telah bersumpah pada diri saya sendiri, bahwa saya akan menjadi dokter anak. Menyelamatkan anak-anak. Biarlah ibu saya membunuh anak-anak, janin adik-adik saya. Biarkanlah saya menebus dosa-dosa ibu saya. Menyelamatkan anak-anak.”
“Sumpah” Mbak Wid tentu bukan sekedar “sumpah kosong” karena ia menindaklanjutinya dengan tindakan konkrit; menjadi dokter yang berhasil menyelamatkan nyawa anak-anak, meskipun tidak semua anak-anak di rumah asuh yang bisa diselamatkan.
Saya melihat apa yang dilakukan Mbak Wid sebagai gugatan terhadap realitas medis kekinian di mana biaya pengobatan semakin mahal sehingga banyak anak-anak dari keluarga jelata yang meninggal karena tidak mampu membayar biaya pengobatan yang cukup tinggi.
Artinya, masih ada yang lebih bijak bagi seorang dokter anak di samping semua komersialitasnya, yakni keikhlasan untuk berbagi dengan sesama yang menderita sehingga kehidupan akan tetap bisa dilanjutkan.