Ia sendiri tidak mengungkapkannya kepada Mbak Wid yang dengan gigih berusaha meyakinkan untuk menerima kehadiran Bhisma karena kebaikan dan keseriusan yang ditunjukkan lelaki muda itu.
Ketakukan, dengan demikian, menjadi kode yang memunculkan teka-teki tentang apa yang sebenarnya disembunyikan Renjani dan apa yang akan terjadi dalam kehidupan Renjani berikutnya. Kode tersebut, sebenarnya muncul secara berulang-ulang; berupa mimpi-mimpi akan masa lalunya yang terus memunculkan rasa sakit di rahimnya ketika habis mengalami mimpi-mimpi traumatik tersebut.
Adegan-adegan mimpi dan rasa sakit yang menyertainya, menjadi kode simbolik yang sekaligus kode semik betapa Renjani sebenarnya mengalami trauma yang begitu berat sehingga terbawa dalam mimpi. Lebih parah lagi, mimpi-mimpi itulah yang menghasilkan rasa sakit dalam rahimnya muncul setelah bangun dari tidur.
Dengan kata lain, ia sebenarnya mempunyai masalah dengan rahimnya yang disebabkan aborsi pada masa lalunya dan perasaan traumatik melalui mimpi-mimpi masa lampaunya menjadikan penyakit tersebut semakin parah.
Adegan-adegan di atas sekaligus menegaskan kembali pengetahuan medis bahwa aborsi bisa saja menimbulkan penyakit kronis di kandungan, semisal kanker, karena ketidakbenaran prosedur operasi yang dilakukan.
Lagi-lagi, korbannya adalah perempuan yang dikalahkan oleh kuasa laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Di tengah-tengah penderitaan itu ia tidak ingin merepotkan dan memberi beban kepada orang lain—dalam hal ini Bhisma—karena dengan menjalin hubungan cinta si laki-laki akan lebih menderita ketika sewaktu-waktu ia meninggal.
Dengan penjelasan di atas, pilihan Renjani untuk sendiri dengan menolak kehadiran laki-laki didasari beberapa pertimbangan logis, yakni: (1) ia tidak ingin terjebak dalam hubungan romantis yang mungkin akan menimbulkan penderitaan; (2) ia merasa sudah mapan dengan Dewa dan anak-anak asuh lainnya; (3) ia menderita penyakit di rahim yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawanya; dan, (4) ia tidak ingin menjadikan orang lain menderita akibat penyakitnya itu.
Pertimbangan-pertimbangan itu menandakan bahwa sebelum membuat satu keputusan, perempuan mempunyai pertimbangan yang lebih matang berdasarkan rasionalitas dan perasaaan serta tidak hanya didasari pertimbangan romantis sesaat.
Dengan demikian, bentuk-bentuk adegan di atas menjadi submitos yang menghadirkan kekuatan rasionalitas dan hati perempuan dalam memandang kehadiran laki-laki sesuai dengan konteks partikular.
Renjani, akhirnya, memang harus menemui ajalnya. Namun, kematian bukanlah “kata akhir” untuk menutup dan mengakhiri cerita kehidupan di muka bumi. Mbak Wid dan Bhisma memang mengalami duka mendalam atas kematian Renjani, tetapi mereka bisa belajar untuk lebih mencurahkan perhatian kepada anak-anak yang harus diperjuangkan kehidupannya.
Bhisma, misalnya, lebih banyak mencurahkan energi kreatifnya untuk terus mengusahakan kesembuhan Dewa dan juga anak-anak asuh lainnya dengan komposisi-komposisi biola yang ia ciptakan.