Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Layangan dan Masalah Politik dalam Musik Banyuwangian Pascareformasi

27 Februari 2022   05:00 Diperbarui: 11 Maret 2022   19:12 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Festival Layang-layang Banyuwangi 2016. Dok. Kompas.com

Sayangnya, pesan kritis dan humanis yang hendak mereka sampaikan karena video klip mengalami sensor dari pihak distributor yang merasa ketakutan kalau klip-klip tersebut diloloskan. Sebagai gantinya, klip yang baru dibuat dengan suasana malam di kawasan perkebunan.

Stigmatisasi terhadap Peristiwa 65 menjadi pertimbangan utama usaha penyensoran tersebut. Rupa-rupanya masih ada ketakutan berlebihan dari pihak industri dan juga birokrasi terhadap pengungkapan kembali kasus 65, meskipun hanya dalam bentuk lagu. 

Dari kasus tersebut, bisa diinterpretasikan bahwa ketakutan terhadap efek Peristiwa 65 masih bercokol dalam memori kolektif birokrat maupun pihak industri kreatif di Banyuwangi. 

Kondisi ini sangat disayangkan karena dalam iklim keterbukaan saat ini, seharusnya segenap elemen masyarakat Banyuwangi harus berani membuat revisi terhadap sejarah kelam yang menimpa apara seniman Banyuwangian karena diduga terlibat dalam Lekra dan Peristiwa 65. Kalau usaha tersebut tidak pernah muncul, maka masyarakat Banyuwangi akan tetap berada dalam bayangan dan beban masa lampau.  

Sayangnya, lagu-lagu bertema kritik sosial dan politik sosial semakin tidak populer di kalangan pencipta lagu Banyuwangian. Mestinya, para pencipta lagu masih bisa menciptakan lagu-lagu berbahasa Using yang enak didengar tanpa mengurangi wacana-wacana kritis yang mereka negosiasikan. 

Sementara, banyak permasalahan sosial, politik, dan ekonomi yang bisa menjadi sumber kreatif dalam berkarya. Memang, pasar musik Banyuwangian sudah terbiasa dengan meloisme, tetapi bukan berarti para pencipta lagu harus kehilangan daya kritis-kreatitf mereka.

Toh, mereka bisa menggunakan platform media baru untuk memasarkan lagu-lagu mereka yang bernuansa kritis. Dengan adanya lagu-lagu bernuansa kritis diharapkan masyarakat mendapatkan suguhan alternatif yang bisa menjadi teman berpikir dan menjaga nalar kritis terhadap kondisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun