Kemampuan kedua pencipta lagu dan musisi tersebut dalam memformulasi metafor yang cerdas mengingatkan saya kepada almarhum Andang CY dan Basir Noerdian dalam menciptakan dan menggubah lagu-lagu yang mampu menerobos permasalahan sosial, politik, ekonomi, dan kultural dengan menggunakan diksi-diksi sederhana yang sangat populer di masyarakat.
Selain dibukanya kran demokrasi berupa disahkanya multipartai dalam kehidupan di negeri ini, Reformasi juga memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk mempertanyakan persoalan-persoalan politik bersimbah darah yang berlangsung di masa lalu sampai dengan 1998.
Peristiwa Madiun 1948, tragedi berdarah 1965, serta peristiwa Ninja Banyuwangi dan Tapal Kuda merupakan peristiwa-peristiwa besar yang juga dibaca oleh para musisi, baik melalui koran maupun berita online.
Bagi Yon’s D.D, peristiwa-peristiwa tersebut memang menelan korban jiwa yang tak terhitung, tetapi ada juga persoalan psikis yang harus dihadapi oleh pihak keluarga atau kerabat yang ditinggalkan oleh mereka yang tidak pernah jelas di mana rimba dan kuburnya.
Melalui lagu Tetese Eluh, Yon’s menghadirkan implikasi psikis peristiwa-peristiwa politik di masa lalu dan masa kontemporer; tidak dalam syair yang diwarnai darah, tetapi syair dengan kekuatan diksi yang mampu menyentuh perasaan sejati dari orang-orang yang ditinggalkan.
Sedino-dino mung nangis gawene,
Sing leren-leren, sampek alum matane
Yo mesesegen, ilang suwarane
Kesuwen nangis, sampek nono iluhe
Reff :
Kepingin seru ketemu…, eman
Nong kembang hang bisa ngudang atine
Kadhung urip nong endi sangkane
Dhung wis mati, nong endi paesane
Arep sun kirim kembang
Hang wangi gandane
Arep sun kirim kembang
Nawi ta bisa nentremaken atine
Setiap peristiwa politik-berdarah di Republik ini tidak hanya menghilangkan hak hidup orang-orang yang terlibat dengan organisasi/ kelompok tertentu atau mereka yang dituduh terlibat, tetapi juga menyisakan kesedihan dan trauma bagi pihak keluarga dan kerabat yang ditinggalkan.
Kita sudah mendengar banyak pengakuan dari keluarga korban di media massa maupun buku-buku yang diterbitkan oleh para peneliti yang concern pada peristiwa politik seperti tragedi berdarah 1965.
Di Banyuwangi sendiri, peristiwa tersebut menyisakan trauma yang mendalam bagi pihak keluarga dari mereka yang terlibat atau dituduh terlibat dalam organisasi yang dinyatakan terlarang, seperti PKI. Belum lagi derita batin ratusan atau warga yang bapak, ibu, atau saudaranya hilang tanpa kabar.
Kerinduan yang menyesakkan dada terhadap orang-orang yang dihilangkan secara paksan oleh rezim militer pada awal Orde Baru serta peristiwa politik lain menjadikan Yon’s menciptakan lagu Tetese Eluh.
Kesedihan mendalam terhadap mereka yang dihilangkan dengan apik diceritakan melalui “sedino-dino mung nangis gawene/sing leren-leren sampek alum matane” (sehari-hari hanya bisa menangis/tak henti-henti, sampai layu matanya) dan “yo mesesegen ilang suwarane/kesuwen nangis, sampek nono iluhe ” (ya terseduh-seduh, hilang suaranya/terlalu lama menangis, sampai habis air matanya).
Pilihan diksi seperti “alum matane” dan “nono iluhe” memang mengesankan makna hiperbolik yang menyangatkan sebuah kondisi, meskipun kondisi aslinya tidak seperti itu. Pilihan menggunakan diksi hiperbolik ini dimaksudkan untuk menciptakan suasana haruh dan sedih, sehingga pendengar bisa menangkap atmosfer yang berlangsung dalam lagu.