DINAMISNYA PROSES BERBAHASA
Bagi orang-orang yang memahami hubungan dinamis antara bahasa dan kebudayaan, realitas bahasa anak-anak Jaksel yang bercirikan percampuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tentu bukan sesuatu yang mengherankan. Bukan pula sesuatu yang harus dicaci-maki karena mengurangi nasionalisme dan aspek-aspek kebangsaan lainnya.
Mengapa saya katakan bukan hal yang mengherankan? Ya, karena berbahasa itu proses dinamis, tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sosial, ekonomi, dan politik dalam sebuah masyarakat atau bangsa.
Dulu kita tidak bisa berbicara bahasa Belanda, Inggris, ataupun Jepang. Proses kolonialisme yang berlangsung sejak era VOC hingga Jepang menjadikan para elit bangsa ini yang diuntungkan karena strata sosial mereka yang tinggi bisa mengenyam pendidikan dari para bangsa penjajah, termasuk mampu menggunakan bahasa asing.
Para founding fathers dan mothers Republik ini pun memiliki kemampuan yang cukup dalam menggunakan bahasa asing, sehingga mereka menjadi juru runding yang mahir dan handal ketika menghadapi pemerintah Belanda.
Selepas penjajahan, dibukanya banyak jurusan bahasa asing di perguruan tinggi, akademi, politeknik, ataupun tempat kursus, menjadikan semakin banyak generasi muda dan anak-anak yang "cas-cis-cus" dalam menggunakan bahasa Inggris.
Bahkan, tidak jarang pula para elit pemerintahan menggunakan bahasa Indonesia dengan menyisipkan istilah-istilah dalam bahasa Inggris, meskipun yang dihadapi adalah warga negara Indonesia.
Apa yang mesti dipahami adalah bahwa penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing yang lain selalu memiliki konteks dan kepentingan yang harus dibaca untuk melengkapi pembacaan terhadap realitas tersebut. Artinya, untuk mengurai makna dari sebuah peristiwa  bahasa, sesederhana apapun, kita bisa mengurai makna dan kompleksitas konteks sosio-kultural, ekonomi, maupun politik yang menyertainya.Â
Dari situlah kita bisa mengetahui ada apa sebenarnya atau kepentingan apa sebenarnya yang tengah dikonstruksi dan dinegosiasikan oleh individu atau komunitas yang menggunakan sebuah bahasa. Melalui praktik bahasa mereka menyampaikan kepada dunia terkait kedirian dan pikiran.
Itulah mengapa, sub-disiplin antropologi linguistik (linguistic anthropology)Â menempatkan peristiwa bahasa sebagai pintu masuk untuk menungkap persoalan budaya yang lebih luas (termasuk di dalamnya aspek nilai, ragam kepentingan, dan relasi kuasa).Â