Pilihan orientasi kultural masyarakat desa berbasis Jawa di Jember, memang tidak pernah berdiri-sendiri dan bukan tidak terpengaruh oleh desain budaya metropolitan, regional, dan setting lokalitas yang 'mengelilingi' dan ikut mengkonstruksi imaji dan pikiran kultural mereka.Â
Keberlangsungan lalu-lintas kultural yang meghadirkan produk-produk budaya pop kota ke dalam masyarakat pedesaan, baik melalui siaran televisi maupun produk-produk industri rekaman, telah menjadi realitas yang tidak bisa ditawar dan ditolak lagi. Mekanisme-mekanisme tradisi untuk memperlambat laju percepatan masuknya pengaruh budaya luar ke dalam imaji dan realitas desa, seakan semakin sulit terwujud.Â
Pola pikir dan laku hibrid yang oleh sebagian pemikir dikatakan sebagai bentuk usaha untuk memasuki modernitas ataupun meninggalkannya untuk kembali memperkuat tradisi, nyatanya perlu direvisi kembali. Tesis-tesis besar tentang kekuatan hibridisasi kultural, memang tidak bisa diyakini berlaku general, karena partikularitas dan kompleksitas persoalan yang berlangsung dalam lokalitas masing-masing.Â
Dalam kasus wayang, hibriditas kultural itu nyatanya tidak mampu membuat generasi muda desa menikmati dan mencintai narasi dan wacana filosofis yang disuguhkan dalang. Masuknya musik dangdut, campursari, dan Banyuwangian dalam pertunjukan wayang di Jember, paling tidak, menunjukkan bahwa hibriditas telah memangsa kekuatan budaya lokal itu sendiri, sehingga penonton-penonton muda tidak lagi memosisikan wayang sebagai "yang utama".Â
Bagi mereka yang utama adalah pertunjukan dangdut koplo dengan para penyanyi yang siap bergoyang dan menggoyang suasana. Memang, ada dalang yang berusaha menghilangkan adegan penyanyi dangdut dengan para sinden yang menyanyikan lagu dangdut. Namun itu semua juga tidak bisa dijadikan patokan umum, karena semua berpulang kepada keinginan tuan rumah dan kecenderungan penonton.Â
Lagipula, meskipun para sinden, tetap saja mereka menyanyikan lagu-lagu dangdut atau campursari populer. Kalaupun ada sebuah dampak positif dari proses campur-aduk estetika pertunjukan wayang yang berlangsung di Jember atau bahkan di daerah-daerah lain adalah masih adanya ikon ke-Jawa-an di tengah-tengah modernitas desa yang semakin biasa.Â
Setidaknya, wayang masih ada, meskipun intensitas pertunjukannya tidak sesering puluhan tahun silam. Meskipun hanya sebatas menjadi selebrasi penanda ke-Jawa-an, paling tidak, di tengah-tengah modernitas  masyarakat yang semakin biasa dengan tumpang-tindih elemen-elemen kultural, wayang masih menjadi tanda yang mengatakan bahwa masih ada perayaan Jawa dalam masyarakat desa yang semakin biasa dengan budaya modern.
* Tulisan ini saya persembahkan untuk (alm) Siswo Utomo, dalang dari Desa Sidomekar, Kec. Semboro, Jember yang meninggal beberapa tahun lalu. Semoga almarhum mendapatkan tempat yang indah di sisi-Nya. Aamiin.
DAFTAR BACAAN
Sears, Lauire J.2005. "Intellectuals, Theosophy, an Failed Narratives of the Nation in Late Colonial Java." Dalam Henry Schwarz & Sangeeta Ray (eds). A Companion to Postcolonial Studies. Malden (USA): Blackwell Publising.
Hutcheon, Linda. 1995. "Circling the Downspout of Empire." Dalam Bill Aschroft, Garret Griffiths, & Helen Tiffin (eds). The post-colonial studies reader. London: Routledge.Â