WAYANG KULIT & JAWA: MASA KOLONIAL & PASCAKOLONIAL
“Wayang adalah Jawa dan Jawa adalah wayang!” Ungkapan itu kiranya sesuai untuk menggambarkan bagaimana wayang menjadi bagian penting identitas budaya yang selama ratusan tahun dilekatkan pada orang Jawa, sehingga untuk memahami beragam peristiwa, baik ekonomi, politik, maupun sosio-kultural, sepertinya belum lengkap sebelum dikaitkan dengan cerita wayang.
Tjipto Mangunkusumo, sebagaimana dikutip Sears (2005), dalam pengasingannya di negeri Belanda (1914) pernah menulis tentang wayang dalam majalah berbahasa Belanda De Indische Gids. Secara serius ia menuturkan:
Dalam (wayang) orang Jawa mewujudkan bagian bijak dari kedalaman filosofis dan mistik; menyatakan sisi kedalaman hidupnya. Tidak mengherankan jika di istana aristokrat ataupun di rumah-rumah keluarga miskin, wayang menjadi teater rakyat yang sangat digemari.
Orang tua dan muda menghabiskan waktu untuk mendengarkan cerita dalang, mengikuti ceritanya tentang dewata dan raja, pangeran dan kesatria, bagaimana mereka menderita dan kalah, merasa terpenjara oleh hasrat, menjadi budaknya, dan akhirnya, bagaimanapun juga, mampu memenangkan pertarungan. Wayang adalah ciptaan asli orang Jawa yang telah dipertunjukkan di istana keraton Daha sekita tahun 800 dan direvisi pada sekitar tahun 1500 oleh Sunan Kalijaga.
Tentu, karena wayang memang benar-benar kreasi orang Jawa, maka melaluinya seseorang bisa belajar banyak hal tentang kehidupan dalam orang Jawa. Masyarakat Teosofis Cabang Hindia-Belanda telah melakukan pekerjaan yang baik dengan memasukkan kembali (drama India) Sakuntala dan menerbitkan hasil penelitiannya.
Namun, apakah wayang memang sejak awal menjadi identitas “budaya dalam” orang Jawa? Sears mempunyai pendapat berbeda tentang hal itu. Ketenaran wayang sebagai identitas Jawa tidak bisa dilepaskan dari usaha yang melibatkan beberapa pertimbangan dan kepentingan politis di era kolonial.
Pertama, ide wayang sebagai esensi budaya Jawa merupakan produk kesalinghubungan antara visi estetik Jawa dan kolonial Belanda serta agenda intelektual yang menghasilkan dan dihasilkan dengan wacana modernitas. Kedua, ide tersebut juga sesuai dengan keinginan dan kepentingan para ahli Belanda serta aparat pemerintah karena wayang bisa menggusur perhatian masyarakat terhadap potensi yang cukup mengganggu dari penyatuan Jawa di bawah panji Islam yang mulai berkembang pada 1912 dalam wujud Sarikat Islam.
Ketiga, baik bagi nasionalis Jawa dan Hindia-Belanda (sebutan lama Indonesia), memosisikan wayang sebagai esensi budaya Jawa dan mengasosiasikannya dengan perkembangan spiritual serta kebajikan adiluhung yang secara cepat diadopsi karena kalangan nasionalis bisa menggunakannya untuk membicarakan hak politik di bawah kuasa Belanda.
Ajaran-ajaran normatif wayang merupakan pintu masuk bagi wacana kolonial untuk menggusur perkembangan Islam yang bisa membahayakan kuasa sosial-politik Belanda. Para pemikir Belanda memandang ajaran dan tradisi pra-Islam (Hindu dan Budha) bisa digunakan untuk membendung perkembangan tersebut karena elit-elit Jawa dan rakyat pedesaan masih terbiasa dengan tradisi tersebut.
Pemikiran tersebut sejalan dengan kajian yang dilakukan oleh Masyarakat Teosofis Cabang Hindia-Belanda yang mulai mengembangkan kajian mitologi Hindu-Jawa yang bisa menjadi basis bagi agama Jawa (Javanese religion), sehingga bisa menggusur Islam.
Apa yang dilakukan kemudian adalah mendirikan pusat pendidikan dalang sehingga wayang yang semula dianggap banyak menyimpang dari tradisi Hindu bisa diperbaiki dan mengembalikan ajaran-ajaran Jawa pra-Islam ke dalam kesadaran massa serta mengikis keyakinan fanatik terhadap Islam.
Dari proses tersebut bisa dilihat adanya kejelian dan kecerdikan dari para ahli Belanda untuk memanfaatkan tradisi pra-Islam yang masih mengakar dalam masyarakat Jawa sebagai alat untuk mewacanakan kuasa kolonial melalui wayang guna mengurangi kuatnya pengaruh Islam, sebagaimana dilakukan di wilayah lain Hindia-Belanda, seperti Aceh maupun Minang.
Kehadiran "sekolah pedalangan" di keraton Surakarta pada era 1920-an menghadirkan apa yang disebut “harapan normatif” (normative expectation), yakni anjuran bagaimana wayang seharusnya digelar, terutama berkaitan dengan pembentukan pakem pertunjukan wayang yang benar.