Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nonton Wayang atau Dangdut? Perubahan Budaya dan Siasat Pertunjukan

15 Januari 2022   05:00 Diperbarui: 22 Januari 2022   05:43 2159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua penyanyi menyanyikan "Belah Duren" diiringi musik koplo dalam pertunjukan wayang di Desa Semboro, 20 Juni 2009. Dok. Pribadi

Pencapaian-pencapaian kualitas personal dalang, seringkali dikalahkan oleh kualitas pesinden dan penyanyi koplo yang dibawa serta dalam pagelaran. Kondisi itulah yang menjadikan penonton tua, seperti Lek Sukir, enggan menonton wayang sampai pagi, tidak seperti masa mudanya dulu. 

Pemahaman yang agak berbeda diberikan oleh Joko Wiyono, 40 tahun, juga warga Desa Sidomekar  Joko adalah penggemar berat wayang. Pada masa mudanya ketika merantau ke Kalimantan, dia sempat menjadi pengrawit dalam komunitas wayang yang berkembang pada komunitas Jawa diasporik di sana. 

Ketika kembali menetap di Semboro, dia tetap menggemari wayang, meskipun tidak lagi ikut memainkan gamelan. Dalam setiap pertunjukan wayang di Semboro, dia selalu berusaha untuk hadir, kecuali ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan. 

"Wayang memang sudah banyak berubah. Jujur, dulu saya menggemari wayang karena cerita dan juga adegan perang yang diwarnai dengan sabetan-sabetan khas para dalang. (Alm) Mbah Gombloh masih saya ingat sebagai dalang yang paling top dalam memainkan cerita wayang, jadi saya jadi tahu bagaimana isi sebenarnya sebuah cerita. 

Lha, kalo sekarang, saya sudah susah menemukan keunikan-keunikan itu dari dalang muda di Semboro. Semua rata-rata berlomba-lomba untuk menampilkan pesinden dan penyanyi ayu-ayu. Saya akhirnya kalo nonton wayang, ya tidak lagi ngoyo untuk memahami ceritanya, lha memang sudah ndak ketemu ceritanya. Yang penting, ya sindennya yang asyik untuk dilihat dan suaranya enak untuk didengar. 

Kalau dengan penyanyi dangdut, apalagi yang koplo-an, saya tidak begitu suka, kurang sip. Tetep pesinden-nya yang menarik perhatian. Kalo pesindenya asyik-asyik, ya, saya bisa bertahan sampai cangik-limbukan atan bahkan sampai goro-goro dan selesainya cerita. Tapi, kalo kurang asyik, ya, sampai cangik-limbukan sudah pulang. 

Saya juga lebih suka melihat pesinden menyanyikan lagu-lagu campursari atau kendang kempul dibandingkan lagu dangdut asli. Kurang menarik. Kalo campursari atau kendang kempul, meski iramanya pake‘ koplo, saya masih bisa mengikuti. Sebaliknya, kalo musiknya terlalu kalem dan bergaya Mataraman, saya rasa kurang pas." (Wawancara, 20 Mei 2009)

Pernyataan Joko di atas, paling tidak, menyiratkan bagaimana pengaruh diskursif dari pertunjukan wayang saat ini terhadap penonton. Joko sebenarnya masih mewarisi tradisi menonton wayang seperti penonton usia 50 tahun ke atas, yakni memahami cerita di tambah dengan adegan perangnya. Namun, karena wayang sekarang tidak lagi mengedepankan itu semua, akhirnya ia lebih menikmati tampilan dan atraksi suara para pesindennya. 

Sebuah pilihan yang masuk akal di tengah-tengah ketidakjelasan struktur cerita. Ketertarikannya terhadap campursari dan kendang kempul menandakan bahwa ia sebenarnya masih lebih suka musik yang berirama tradisi, ketimbang dangdut murni. Masih ada kerinduan terhadap musik yang bernuansa tradisi, meskipun sudah dicampur dengan irama koplo. 

Sekali lagi, sebuah ambivalensi pandangan kultural masyarakat Jawa di Jember sangat jelas terlihat. Masyarakat Jawa di Jember yang kebanyakan berasal dari tradisi subkultur Mataraman ternyata juga bisa menerima tradisi estetik yang beraroma agak kasar seperti koplo dengan liukan-liukan goyang, dengan syarat tetap ada unsur tembang yang bernuansa tradisi.

Sementara, bagi sebagian besar penonton dari kaum muda (20 – 30 tahunan), menonton wayang memang sudah identik dengan menonton sinden dan penyanyi cantik, bukan lagi cerita yang penuh ajaran bijak. 

Untuk penonton usia ini, mereka memang secara umum mengerti cerita wayang, terutama dari epos Mahabarata dan Ramayana, tetapi secara detil tidak mengerti dan memang tujuan mereka datang ke wayang tidak untuk menikmati cerita. 

Bergembira dengan tembang-tembang yang dipersembahkan para pesinden dan penyanyi dangdut adalah tujuan mereka menikmati wayang. Penonton kategori ini, biasanya akan berada di depan pentas ketika musik pembuka yang dimainkan. Dengan antusias mereka menikmati suara dan goyang penyanyi dangdut serta gemulai gerak dan merdu suara para pesinden. 

Namun, setelah pagelaran musik selesai, biasanya mereka akan segera meniggalkan pentas, menuju warung-warung kaki lima dadakan yang menyediakan makanan maupun minuman. 

Dalam sebuah pertunjukan Siswo Utomo untuk memperingati Kemerdekaan RI ke-64 di Dusun Babatan, Desa, Sidomekar, Semboro, 18 Agustus 2009, saya menanyai penonton berusia muda, Sugeng, perihal tahu tidaknya ia tentang cerita yang sedang dimainkan dalang. Waktu itu lakon yang dimainkan adalah Wahyu Tejomoyo. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun