AWAL(-AN)
Adalah sebuah kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 10 tahun terakhir peminat skripsi dengan objek puisi di Jurusan Sastra Inggris semakin sedikit, bisa dihitung dengan jari tangan. Indikasi apakah ini? Apakah menelaah puisi terlalu sulit bagi mahasiswa? Apakah keterbukaan model komunikasi media sosial menjadikan para mahasiswa semakin tidak terbiasa dengan ekspresi puisi?Â
Ataukah, semakin ke sini semakin sedikit mahasiswa yang menenggelamkan diri dalam samudra kata mahaluas dari sebuah puisi? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu saja bersemayam dalam pikiran saya selama beberapa tahun terakhir. Bahkan, saya sudah meminta ke salah satu dosen pengampu matakuliah Poetry di Prodi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (UNEJ) untuk memformulasi model pembelajaran yang asyik. Hasilnya tetap saja, peminat objek puisi untuk skripsi tidak beranjak dari beberapa jari.Â
Meskipun demikian, saya tidak mau menyalahkan siapa-siapa karena yang dibutuhkan memang bukan menyalahkan, tetapi melakukan refleksi kritis untuk mereformulasi pemahaman tentang kerja-kerja teoretis dan analitis yang bisa dipahami oleh para mahasiswa dan peminat puisi.
Maka, ketika mendapatkan undangan untuk menjadi pemateri dalam Workshop Puisi (diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Kampus Fakultas Ilmu Budaya, UNEJ, 29 April 2018) dengan senang hati saya menerimanya. Paling tidak, saya bisa menawarkan pemikiran  tentang bagaimana kita bisa menikmati puisi sebagai bagian dari kajian ilmiah yang menuntut adanya standar-standar tertentu. Tentu saja, tawaran saya bukanlah sesuatu yang bersifat final dan masih bisa didiskusikan.
Tentu saja, setiap orang berhak untuk menemukan patokan-patokan dalam memahami sebuah puisi. Adakalanya, tidak membutuhkan teori ndakik-ndakik, katanya. Tapi, apakah benar tidak mempedulikan teori berarti bebas dari teori? Kita perlu menengok-kembali peringatan Belsey (1990: 4) ketika dia membincang soal pentingnya teori dalam melakukan kritik sastra.Â
Menurutnya, tidak ada "praktik [analisis, pen] tanpa teori, meskipun banyak dari teori tersebut yang ditekan sedemikian rupa, tidak diformulasikan atau dipersepsikan sebagai "yang jelas". Apa yang kita lakukan ketika membaca, meskipun tampak 'natural', tetaplah mengandaikan keseluruhan wacana teoretis tentang bahasa dan maknanya, tentang hubungan antara makna dan jagat, dan, akhirnya tentang diri orang-orang dan tempat mereka di dunia, meski tak terucap."
Meskipun kita seperti tidak menggunakan teori, pada dasarnya, kita tetap menggunakannya ketika membaca sebuah puisi atau karya-karya sastra yang lain. Apalagi, dalam membaca dan menganalisis sebuah puisi, kita tidak boleh berhenti pada makna tekstual, tetapi harus membawanya ke ruang kontekstual, bernama "jagat" yang sangat kompleks di mana permasalahan dan kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan budaya dimainkan.Â
Mengapa kita harus "susah-susah" melakukan pembacaan demikian? Bagi saya, pembacaan terhadap karya sastra merupakan 'tugas ideologis'. Seorang peneliti tidak hanya terikat dengan unsur-unsur intrinsik sebuah puisi, seperti diksi, metafor, simbol, dan relasi di antara semuanya. Lebih dari itu, mereka juga sebisa mungkin mengungkapkan makna dan wacana yang dikonstruksi dalam struktur tekstual tersebut serta kepentingan yang menjadikan teks itu ada.Â
Atas pertimbangan itulah, melalui tulisan ini, saya akan menawarkan formula pengkajian teks puisi berbasis disiplin akademis sastra, sebagaimana juga dilakukan oleh para peneliti sastra dalam lingkup internasional. Namun, sebelum masuk ke pembahasan tersebut, ada baiknya, pertama-tama kita pahami terlebih dahulu bagaimana kita harus memaknai dan memosisikan puisi sebagai sebuah karya.
MENEMPATKAN PUISI PADA TEMPATNYA: TEKS, WACANA & KONSTRUKSI IDEOLOGISÂ