Apa sebenarnya yang dimaksud dengan puisi? Sangat mungkin banyak jawaban yang bisa diajukan. Namun, marilah sejenak mendiskusikan pendapat William Wordsworth yang mengatakan bahwa puisi "yang harus ditulis dalam bahasa yang sebenarnya dari umat manusia merupakan luapan spontan perasaan: ia mengambil asal-muasalnya dari emosi yang dikumpulkan-kembali dalam ketenangan" (https://www.poetryfoundation.org/poets/william-wordsworth).Â
Menarik kiranya untuk memahami apa yang dimaksudkan Wordsworth dalam definisi sederhana tersebut. "Bahasa sebenarnya dari umat manusia" adalah ekspresi kebahasaan yang tidak mengikuti aturan-aturan mekanistik ala soneta yang sangat ketat dengan per-rima-an seperti a-a-b-b. Â
Bahasa yang mengalir seperti dalam bahasa keseharian, tanpa harus dibebani rumus-rumus sastrawi yang mengasingkannya. Dengan kata lain, bahasa puisi bukanlah bahasa yang harus "berbunga-bunga", penuh dengan kata dan kalimat pepuji. Apa yang diungkapkan berasal dari membuncahnya perasaan sehingga bisa menjadi ekspresi yang membawa keluar kompleksitas aspek inner.Â
Masing-masing penyair memiliki kemampuan kreatif untuk mengeluarkan aspek emosional dari dalam dirinya. Aspek emosional inilah yang harus diolah secara kreatif dengan ketenangan dan kontemplasi sehingga ketika keluar dalam bentuk puisi bisa memberikan impresi kepada pembaca.Â
Apakah aspek emosional ini semata-mata berurusan dengan wilayah inner? Tentu tidak. Emosi semua orang, termasuk di dalamnya penyair, novelis, cerpenis, seniman, koreografer, serta manusia-manusia biasa, bukanlah entitas merdeka yang semata-mata berkaitan dengan hasrat, kesedihan, kemarahan, dan harapan.Â
Beragam peristiwa dalam kehidupan personal maupun komunal yang berlangsung dari ruang keluarga, pasar, lampu lalu-lintas, sekolah, kampus, kantin, dan tempat-tempat lainnya akan direkam, baik dalam moda sedih, gembira, ataupun galau. Seseorang juga bisa memberikan respon emotif dari apa-apa yang ia baca, tonton, ataupun dengarkan.Â
Semua tumpukan itulah yang bisa dipanggil-kembali dalam proses kreatif penciptaan puisi. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, bait demi bait, dengan demikian, merupakan hasil rekonstruksi kreatif melalui perspektif partikular dari tumpukan peristiwa yang dibaluri kekuatan emosional.Â
Maka, ketika ia sudah menjadi teks, puisi bukan lagi luapan perasaan, tetapi lebih dari itu, merupakan produk dari kecerdasan kreatif dan kritis penyair dalam memaksimalkan tumpukan peristiwa dan permasalahan dalam wilayah batinnya. Konsekuensi dari kerangka berpikir tersebut adalah bahwa ekspresi kebahasaan apapun yang diungkapkan seorang penyair membawa makna-makna denotatif yang berasal dari logika relasional antarunsur pembentuknya.Â
Namun, ia tidak berhenti pada makna tersebut, tetapi juga memroduksi wacana (discourse), sebuah ranah penggunaan bahasa dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang menghadirkan topik tertentu yang tidak bisa dilepaskan dari konteks historis dalam masyarakat (Foucault, 2013: 162-163).Â
Dalam pemahaman demikian, teks puisi merupakan produk semiotik sekaligus diskursif. Dikatakan produk semiotik karena unsur-unsur internal, khususnya ekspresi kebahasaan, di dalamnya merupakan rangkaian tanda (relasi penanda-petanda) yang menyatu dalam struktur relasional sehingga akan menghasilkan makna-makna denotatif dan makna-makna simbolis partikular.Â
Ekspresi kebahasaan dalam teks puisi merupakan luapan proses mimetik yang berpusat pada aspek emosional dan kecerdasan kreatif dalam membingkainya. Tentu saja, bahasa yang digunakan memiliki kualitas dan gaya yang berbeda, termasuk dalam penggunaan metafor, simbol, dan lain-lain, meskipun tetap terikat dengan hubungan kontekstual dengan kode-kode kultural dalam masyarakat.Â