Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Puisi sebagai Teks, Wacana, dan Konstruksi Politis-Ideologis

9 Januari 2022   09:01 Diperbarui: 9 Januari 2022   10:21 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. rumahbaca.wordpress.com

Mengikuti pemikiran hegemoni Gramsci, proses kultural menjadi elemen penting dalam keberlangsungan kuasa (Gramsci, 2006; Boggs, 1994; Williams, 2006; Hall, 1997). Bukan semata-mata faktor struktur basis yang berkaitan dengan kapasitas modal dan alat produksi yang menentukan struktur supra seperti budaya, filsafat, agama, dan pendidikan. 

Bahwa dalam proses produksi itu sendiri terdapat kompleksitas sehingga sebuah kelas penguasa bisa menggerakkan kekuasaan berbasis moral, intelektual, dan kultural: hegemoni. Untuk menghasilkan karya kultural yang bisa digemari dan bisa mempengaruhi kelas-kelas subordinat lain, para kreator mutlak harus melakukan inkorporasi terhadap potensi budaya yang ada, termasuk permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, dan politik. 

Mereka bisa mengambil budaya residual/tradisional dan budaya emergent, yang baru berkembang, sebagai basis penciptaan. Meskipun demikian, mereka akan menerapkan prinsip artikulasi, menyeleksi secara ketat potensi dan permasalahan yang bisa dihadirkan dalam karya, sehingga akan menghasilkan karya baru yang ditandai dengan percampuran ragam nilai dan wacana, meskipun ditujukan untuk mendukung kepentingan kelas penguasa. 

Kemampuan para kreator untuk menghasilkan karya yang bisa menyelami struktur perasaan masyarakat bisa mempengaruhi terbentuknya konsensus politik tanpa harus melibatkan kekerasan, sehingga mereka bisa menerima kekuasaan hegemonik sebagai sebuah kewajaran.

Dalam keranga pikir di atas, penyair, misalnya, bisa mempuisikan ketimpangan antara si miskin dan si kaya dari sudut pandang kapitalis, sosialis, ataupun komunis sesuai dengan keterlibatan ideologisnya. Ketika penyair memilih untuk menghadirkan diksi-diksi yang berpihak kepada kepentingan kelompok dominan, meskipun ia juga mengartikulasikan kepentingan kelompok-kelompok lain demi memenuhi konstruksi yang menunjukkan keutamaan kelompok pertama. 

Penyair juga sangat mungkin membangun wacana yang menyampaikan resistensi terhadap ideologi atau kepentingan kelompok dominan karena diposisikan merugikan rakyat kebanyakan. Selain itu, wacana yang dikonstruksi seorang penyair juga bisa menjadi negosiasi di mana ia sebenarnya bisa menerima keberadaan ideologi atau kepentingan kuasa partikular, tetapi dengan memberikan persyaratan-persyaratan tertentu sesuai dengan orientasi ideal yang ia yakini. 

Ini bukan berarti kita harus menelanjangi otobiografi penyair. Kita butuh membaca teks dan konteks serta wacana ideologis apa yang dituliskan seorang penyair dalam karyanya. Lacakan biografis hanya digunakan untuk melihat posisi kelas dia di tengah-tengah masyarakat. Posisi kelas ini akan mempengaruhi produksi-produksi wacana dan kepentingan di dalam puisi. 

MEMAHAMI PUISI: SEKEDAR CONTOH 

Untuk lebih memahami kerangka konseptual di atas, marilah kita menganalisis sebuah puisi yang ditulis W.S Rendra dari buku Potret Pembangunan dalam Puisi (1993), "Sajak Matahari". Tidak seperti puisi-puisi lain dalam buku tersebut yang menggunakan diksi transparan untuk mengkritisi ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi di era Orde Baru, "Sajak Matahari" menghadirkan diksi yang relatif kompleks, meskipun Rendra masih menghadirkan kata atau ekspresi yang menjadi kata kunci untuk memahami kritiknya. 

Sajak Matahari

Matahari bangkit dari sanubariku.
Menyentuh permukaan samodra raya.
Matahari keluar dari mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun