Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Puisi sebagai Teks, Wacana, dan Konstruksi Politis-Ideologis

9 Januari 2022   09:01 Diperbarui: 9 Januari 2022   10:21 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. rumahbaca.wordpress.com

Ideologi hadir secara wajar dalam wacana-wacana spesifik yang dikonstruksi melalui makna dan topik tertentu dari kata, kalimat, dan bait dalam sebuah puisi. Sebuah puisi Romantik yang membawa energi misterius alam dengan kata-kata yang mengalir, bukan berarti hanya bicara keindahan diksional semesta tanpa menghadirkan ideologi. 

Tentu saja, kita tidak harus buru-buru mengatakan bahwa puisi si A ber-ideologi kapitalisme atau sosialisme hanya dengan membaca biografinya. Pengarang bukan lagi menjadi  faktor utama untuk membongkar konstruksi ideologi dalam wacana-wacana puitik. Bahkan,  ketika dalam sosiologi sastra Goldman, analisis pengarang hanya dilekatkan kepada posisi kelasnya. Itu pun pertama-tama yang dianalisis adalah struktur signifikan yang memroduksi makna-makna dalam keseluruhan karya dan kondisi zaman (Faruk, 2010). 

Mengikuti pemikiran Foucault (1984: 107), nama pengarang mewujudkan pemunculan rangkaian diskursif tertentu dan mengindikasikan status wacana tersebut dalam sebuah masyarakat dan budaya. Gugusan teks puitik yang dibuat seorang penyair dalam karya-karyanya mengkonstruksi wacana-wacana ideologis yang selalu terhubung dengan kondisi historis masyarakat dan budaya tempatnya berkarya.

Maka, membaca dan menelaah puisi tidak bisa menghentikan kita hanya kepada proses semiosis di dalam gugusan kata, kalimat, dan bait. Puisi adalah produk ideologis yang membangun skema dan cara berpikir subjek masyarakat pada sebuah zaman. Sebagaimana diyakini oleh para pemikir New Historicism, karya sastra selalu menjadi bagian dari kondisi kultural, politik, sosial, dan ekonomi yang lebih luas, sehingga ia terlibat secara langsung dalam sejarah (Bertens, 2001: 177). 

Puisi menjadi konstruksi verbal-yang-terikat-waktu-dan-tempat yang selalu berada dalam ranah politis. Tentu saja, "politis" di sini tidak selalu harus dimaknai dengan kekuasaan praksis, tetapi kepentingan-kepentingan dan penyebarluasan ideologi pada waktu dan masyarakat tertentu. 

Karya sastra menjadi kekayaan tekstual dan diskursif yang bersama-sama karya tekstual lain bisa digunakan untuk mengkonstruksi sekaligus melacak kekuatan ideologis atau kepentingan politik pada masa tertentu. Karya sastra tidak semata-mata merefleksikan relasi kekuasaan, namun secara aktif berpartisipasi dalam konsolidasi dan/atau konstruksi wacana dan ideologi. Ia berfungsi sebagai instrumen dalam konstruksi identitas, tidak hanya pada level individual tetapi juga pada level kelompok atau bahkan negara.

Apa yang harus diingat adalah kemungkinan terkait bagaimana wacana ideologis diposisikan dalam karya puisi. Dalam sebuah negara di mana banyak kekuatan ekonomi, politik, dan kultural saling berkontestasi untuk meng-ada dalam tatanan dan struktur sosial, ragam kepentingan kuasa dan ideologis juga tidak mungkin menjadi tunggal. 

Artinya, dalam praktik kehidupan sehari-hari dan dalam karya representasional, termasuk sastra di dalamnya, tidak mungkin kita hanya menjumpai satu ideologi. Meskipun demikian, di antara ideologi dan kelompok atau kelas sosial yang ada bisa saling melintasi dan saling bertemu ketika ada aspek-aspek yang bisa didialogkan dan dikonstruksi untuk mewujudkan kepentingan bersama. 

Ideologi patriarki, misalnya, bisa bertemu kapitalisme dalam pembagian kerja berbasis jenis kelamin di mana kaum perempuan menempati posisi kedua dengan upah yang lebih rendah ketimbang laki-laki. Dalam kesempatan tertentu, nilai-nilai agama tertentu bisa di-cumbu-kan secara manis dengan akumulasi modal perusahaan besar melalui tayangan iklan di bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri atau hari-hari besar agama lain. 

Kecuali di negara-negara dengan watak otoriter, ideologi yang digerakkan oleh aparat negara melalui konstitusi juga tidak selamanya bisa steril dari pengaruh ideologi-ideologi lain. Dalam konteks Indonesia, misalnya, aparat negara bolehlah mengatakan bahwa Pancasila adalah ideologi yang mengikat semua warga negara. Namun, dalam praktik kehidupan ekonomi, kita melihat betapa neoliberalisme yang berazaskan pasar bebas semakin menguat di era pasca Reformasi.

Dengan penggambaran di atas, penyair sebagai subjek yang menulis sekaligus anggota dari kelas atau kelompok tertentu di dalam masyarakat atau negara bisa memainkan prinsip inkorporasi dan artikulasi terhadap permasalahan yang sesuai dengan kecenderungan ideologisnya sebagai tahapan menuju hegemoni. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun