Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tayub dalam Dua Kutub Wacana: Kesakralan dan Keprofanan

6 Januari 2022   14:37 Diperbarui: 6 Januari 2022   21:46 3848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tukang bekso menikmati bir ditemani para tandhak. Foto: Dok. Pribadi

DARI PERTUNJUKAN MEMAHAMI WACANA

Tayub Jawa Timur-an, meskipun mengalami pasang-surut dalam perkembangannya, masih bisa bertahan sampai saat ini. Sebagai tari pergaulan yang berasal dari ritual kesuburan sebagai penghargaan terhadap Dewi Sri (Suharto, 1999), tayub telah bertransformasi sebagai kesenian rakyat yang populer. 

Meskipun banyak mendapat kritik terkait gerak tari erotis dan konsumsi minuman beralkohol selama pertunjukan, tayub masih sangat digemari di banyak kabupaten di Jawa Timur, seperti Tuban, Lamongan, Bojonegoro, Nganjuk, Tulungagung, Kediri, Blitar, Malang, maupun Lumajang. 

Sebagai kesenian rakyat, tayub tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sosial, ekonomi, dan kultural masyarakat pendukungnya; masyarakat perdesaan. Pada masa awal Orde Baru, pertunjukan tayub masih menggunakan pengeras suara (loudspeaker), tidak seperti sekarang yang menggunakan sound system canggih. 

Para tandak/waranggono seringkali mendapatkan godaan fisik dari para penayub yang tengah mabuk. Tidak ayal lagi, terjadi adegan-adegan erotis seperti ciuman atau memasukkan uang melalui penutup payudara (BH). Seiring perkembangan siar agama Islam, adegan-adegan erotis tayub perlahan mulai dihilangkan, kecuali tradisi menenggak minuman beralkohol. Negara melalui kebijakan-kebijakan yang mereka keluarkan, sedikit banyak, memiliki andil dalam menata tayub sebagai hiburan massa.

Pada era 2000-an, tayub tetap menjadi selera kultural masyarakat desa, dari generasi tua hingga generasi muda. Pada hajatan keluarga, ritual desa, maupun peringatan 17-an, pertunjukan ludruk masih mudah dijumpai pada beberapa kabupaten yang kami sebutkan sebelumnya. 

Artinya, di tengah-tengah perubahan kultural masyarakat desa menuju modern tayub masih memiliki tempat tersendiri di hati mereka. Para tandak/waranggono-nya juga sebagian besar berusia muda. Meskipun banyak stigma masih dilekatkan kepada mereka, para tandak seperti tidak mau menghiraukan karena dari profesi itu mereka bisa mengumpulkan rezeki berlimpah dan mengubah nasib keluarga. 

Pertunjukan tayub menjadi sumber ekonomi kreatif yang memiliki kontribusi penting bagi para seniwati dan senimannya. Meskipun tanpa ditopang oleh campur tangan negara, para tandak/waranggono dan para pengrawit mampu mengeruk rezeki untuk memberdayakan keluarga mereka.

Dalam pertunjukan tayub terdapat pihak-pihak yang cukup berperan. Mereka adalah (1) pramugari/gedhong, (2) tandhak (tledhek, sinden, waranggono, ronggeng), (3) pengrawit (panjak), dan (4) pengibing/tukang bekso. Pramugrari adalah sebutan untuk lelaki yang bertugas mengarahkan pagelaran tayub agar berlangsung secara tertib. Dia pula yang mengatur giliran menari bagi para pengibing. 

Tandhak adalah penari yang sekaligus penyanyi (penembang) dalam pertunjukan tayub yang mendapatkan penghasilan dari keahliannya untuk menari dan nembang menemani para pengibing. Untuk mendapatkan ketrampilan dan keahlian menari dan nembang, para calon tandhak biasanya nyantrik kepada para tandhak senior yang laris (sering tanggapan) dan telah mapan dalam penguasaan etika pertunjukan tayub. 

Pengrawit dalam pertunjukan tayub terdiri dari pemain-pemain gamelan. Jumlah pengrawit dalam pertunjukan tayub disesuaikan dengan jumlah ricikan gamelan yang digunakan. Pengrawit menguasai bermacam gendhing tayuban. Secara umum gendhing tayuban dapat dipilah menjadi dua yaitu, (1) pola gendhing baku dan (2) gendhing kreasi. Pola gendhing baku merupakan gendhing yang secara baku harus dimainkan apa adanya, sedangkan pola gendhing kreasi merupakan variasi yang selalu dimainkan untuk membuat pertunjukan lebih semarak. 

Pengibing dalam pertunjukan tayub adalah tamu undangan yang mana mereka datang untuk menari ataupun duduk-duduk sambil mendengarkan gendhing-gendhing yang dimainkan serta memperhatikan tarian dalam pertunjukan. Pada beberapa daerah di Jawa Timur terutama sekali di Tuban dan Bojonegoro, tayub merupakan klangenan sehingga banyak tamu laki-laki yang datang untuk menyiapkan tip khusus untuk penari atau tip khusus untuk gendhingyang mereka minta.

Meskipun berbeda-beda istilah, dalam pagelaran tayub terdapat beberapa fase. Pertama, pambuko, yakni pembukaan acara yang dipimpin oleh pelandhang/pramugari/MC pertunjukan. Kedua, tari gambyong/gambyongan, sebuah tari yang melambangkan ucapan selamat datang melalui gerak gemulai para tandhak dengan iringan gamelan yang berirama pelan. 

Ketiga, repen tuan rumah di mana penari memberi penghormatan kepada tuan rumah untuk membuka pagelaran. Keempat, repen pamong, yakni tarian penghormatan kepada para perangkat desa. Mereka menari bersama para tandha/sindir dengan gending yang menggugah semangat untuk bekerjasama dan membangun. 

Keempat, sampur tamu, yakni pagelaran tayub yang melibatkan para tamu sebagai pengibing. Pelandhang bertugas mengendalikan tarian dengan membagi sampur kepada para tamu secara berurutan. Dalam adegan ini, sebagian tandhak ada yang menari bersama pengibing, sedangkan salah satu atau dua tandhak akan mengiringi dengan gendhing/tembang sesuai permintaan pengibing. 

Di sela-sela tarian itulah banyak penayub yang menikmati minuman beralkohol. Sembari menikmati alunan tembang diiringi gamelan, para pengibing merasakan sebuah dunia yang dipenuhi aroma pembebasan dari tatanan dan kode moralitas yang mapan, meskipun hanya sejenak. 

Terlepas dari asal-muasalnya yang dikatakan berasal dari ritual kesuburan, tayub telah menjadi tari pergaulan yang maknanya bisa ditafsir dari bermacam aspek. Meskipun kalangan agamis kurang menyukai kesenian rakyat ini, pertunjukan tayub masih saja digelar, bahkan di wilayah-wilayah pedesaan yang semakin agamis. 

Pramugari mengawali pertunjukan tayub. Foto: Dok. Dinas Pariwisata Tuban
Pramugari mengawali pertunjukan tayub. Foto: Dok. Dinas Pariwisata Tuban

Meskipun di-stigma sebagai pertunjukan yang mengumbar erotisme dan membiasakan minuman beralkohol, baik tuak/arak maupun bir, banyak lelaki tua dan muda menggemari kesenian ini. Ini tentu menjadi pertanyaan besar, mengapa tayub yang sudah mendapatkan stigma masih saja digemari di tengah-tengah syiar agama Islam yang semakin massif di wilayah-wilayah pedesaan Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Jawaban hipotetik yang bisa diajukan adalah karena para pelaku pertunjukan ini mampu bersiasat dan bertransformasi dalam dinamika sosio-kultural yang berlangsung dalam masyarakat. Juga terdapat konteks-konteks historis yang menjadikan tayub dibenci oleh sebagian warga, tetapi tetap digemari oleh sebagian yang lain.  

Demikian pula terkait tafsir terhadap eksistensi dan peran tayub dalam kebudayaan Jawa tidak bisa dilepaskan dari konteks historis masing-masing zaman, termasuk di dalamnya kepentingan-kepentingan politik yang berusaha mengendalikan pagelaran tayub. Peristiwa sederhana berikut akan memberikan pintu masuk untuk membahas persoalan-persoalan tersebut.

Di tengah-tengah persiapan dimulainya pagelaran tayub dalam rangka nyadran (sedekah bumi) di Dusun Sambiroto, Kecamatan Sugio, Lamongan (2 Agustus 2014), saya menyempatkan diri bercakap-cakap dengan Herman (38 tahun), ketua panitia. Dalam percakapan tersebut, dia bercerita tentang ‘pertikaian kecil’ yang terjadi antara panitia dengan perangkat dusun, satu bulan menjelang pagelaran.

“Satu bulan sebelum pagelaran, panitia yang terdiri dari kawula muda dikumpulkan di Balai Desa oleh Senden (Kepala Dusun, pen). Kami diminta mengundur acara karena pelaksanaan tayuban mepet dengan Lebaran, satu minggu sesudahnya. Senden bilang itu atas permintaan pemuka agama dari masjid (X). 

Mereka keberatan karena dalam tayuban dianggap ada unsur maksiat-nya. Kami selaku perwakilan panitia langsung protes, karena kegiatan nyadran dan tayuban itu sudah satu paket. Kita itu mau nguri-nguri budaya leluhur, kok mau diundur. Urusan masjid ya masjid, tayuban ya tayuban. 

Ndak usah dicampur-aduk. Kalau memang ada yang minum bir, itu urusan pribadi-pribadi, dosa ditanggung sendiri. Kami tahu kalau bir itu haram, tapi tayub itu tidak. Lagi pula, ini kan untuk melestarikan tradisi, dalam rangka nyadran yang dilaksanakan setiap tahun. Bayangkan kalau kami yang muda-muda ini sudah tidak mau nanggap tayub, pasti akan mati. 

Tahun lalu, kami sudah ngalah, mengundur tayuban karena berbarengan dengan acara pengajian di masjid itu. E, kok sekarang mau diundur. Kami sampai mengancam Senden. Untunglah, dia akhirnya dia tidak berani berhadapan dengan pemuda yang telah mendukungnya dalam pemilian dulu.”

Penjelasan Herman, setidaknya, mengimplikasikan beberapa persoalan. Pertama, wilayah pedesaan sebagai basis penyokong tayub tengah mengalami “ketidaktunggalan” dalam orientasi kultural yang memunculkan pola pikir dan tindakan dikotomis, antara “yang agamis” dan “yang-dianggap-maksiat”. 

Kenyataan sosial ini tidak bisa dilepaskan dari semakin gencarnya syiar agama Islam yang berlangsung di wilayah pedesaan. Kedua, pertunjukan tayub bisa memunculkan tegangan sosial di tingkat warga ketika pemahaman agama semakin meluas. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari tradisi minuman beralkohol yang oleh ajaran agama diharamkan. 

Ketiga, para penggemar tayub memiliki argumen kuat bahwa tayub merupakan budaya tradisional yang harus dilestarikan, diuri-uri. Artinya, alasan untuk melestarikan tradisi bisa diposisikan sebagai wacana tandingan (counter-discourse) terhadap doktrin agama yang memaksiatkan beberapa aktivitias dalam pertunjukan ini.

Kejadian seperti di atas, sebenarnya sudah lama menjadi perhatian para pengkaji. Dua kutub wacana, yakni kesakralan yang dikaitkan dengan kesuburan dan ke-profan-an yang dikaitkan dengan aktivitas-aktivitas bernuansa duniawi, menjadi tema dari beberapa kajian dengan konstruksi diskursif berikut. 

Pertama, wacana tentang ritual kesuburan sebagai akar historis tayub serta eksistensinya di masa kini (Suharto, 1999). Kedua, peristiwa-peristiwa profan yang menyertai pertunjukan tayub, baik di tengah-tengah maupun sesudah pertunjukan, dengan rujukan kepada ritual tantra di zaman kerajaan Singosari dan Majapahit, serta perkembangannya di masa Orde Baru (Rabimin, 2010). 

Ketiga, posisi tayub dalam ruang kultural masyarakat agraris yang bertansformasi menuju modernitas dengan beberapa pembicaraan seputar akar historis, aspek-aspek profan (minuman beralkohol dan seksualitas), kontribusinya dalam ritual dan pengembangan nilai integrasi di masyarakat, peran pemerintah sejak Orde Baru dalam ‘menertibkannya’, tegangan dengan syiar agama Islam, potensi ekonomi, serta tantangan dalam pengembangannya (Widyastutieningrum, 2007; Juwariyah, 2012). 

Meskipun demikian, terdapat beberapa persoalan yang membutuhkan klarifikasi lebih lanjut, yakni: (1) sejak kapan sebenarnya dua kutub—kesakralan dan ke-profan-an—dalam tayuban dikonstruksi secara diskursif?; (2) kondisi historis seperti apa yang menjadikan kedua wacana tersebut dikemukakan?; (3) kepentingan-kepentingan apa dan siapa yang dimainkan dalam usaha untuk memapankan wacana dikotomis tersebut?; dan, (4) bagaimana transformasi kedua wacana itu dalam perubahan zaman. 

Keempat pertanyaan itulah yang mendasari lahirnya tulisan ini. Argumen dasarnya adalah terdapat kondisi historis dan kepentingan politiko-ideologis yang mempengaruhi munculnya wacana ke-profan-an dan ke-sakral-an dalam pertunjukan tayub. Argumen berikutnya adalah bahwa wacana kesakralan dan ke-profan-an yang dilekatkan dalam pagelaran tayub mengalami transformasi sebagai akibat perubahan kondisi zaman. 

Pada tataran minimal, kami berusaha membuka keempat permasalahan tersebut sekaligus menjelaskan bahwa wacana-wacana terkait kesakralan dan keprofanan tayub bukanlah sesuatu yang netral dan tiba-tiba hadir dalam lingkaran akademis dan kehidupan masyarakat. Alih-alih, mereka adalah hasil konstruksi yang ditransformasikan dari awal kelahirannya hingga saat ini di mana terdapat pengaruh dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Wacana merupakan seperangkat pernyataan yang merujuk kepada objek, tema, atau persoalan tertentu dalam periode historis partikular (Foucault, 2002: 177). Keberadaan wacana dalam masyarakat tidak bisa dilepaskan dari kondisi historis zaman—ekonomi, sosial, politik, maupun kultural. 

Sebuah wacana dominan dikonstruksi oleh banyak pernyataan oleh person-person yang berhak dan diperbolehkan menyatakannya, sehingga akan membentuk sebuah formasi diskursif (Foucault, 2002: 52-58, 72-83; Hall, 1997: 44). Proses pembentukan wacana mensyaratkan proses eksklusi di mana wacana-wacana yang tidak berkaitan atau berpotensi mengancam dilarang, ditolak, dan dinyatakan salah untuk dibicarakan (Foucault, 1981: 52-56). 

Penyebaran wacana yang melibatkan individu-individu (yang boleh berbicara ataupun yang menulis) dan institusi-institusi yang terkait satu sama lain dalam rentang historis partikular akan membentuk pengetahuan sebagai rezim kebenaran (Hall, 1997: 55-56). Karena mampu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak subjek manusia, kehadiran pengetahuan dikatakan membawa relasi kuasa (Hall, 1997: 49; McHoul & Grace, 1993: 59; Wickman, 2008; Widder 2004: 412). 

Individu-individu dalam masyarakat, dengan demikian, berada dalam relasi kuasa melalui wacana dan pengetahuan yang menyebar di semua titik—keluarga maupun institusi-institusi lainnya—dengan mengedepankan rasionalitas. 

Untuk membahas permasalahan dalam tulisan ini, metode pertama yang akan digunakan adalah analisis kritis. Dalam pandangan Foucault (1981: 70), analisis kritis dikerjakan melalui prinsip pembalikan, yakni mencari bentuk-bentuk eksklusi, pembatasan, dan apropriasi, khususnya terkait bagaimana wacana-wacana dibentuk; untuk merespons kebutuhan apa, serta bagaimana mereka dimodifikasi dan diganti atau diubah. 

Dalam kerangka demikian, saya akan menggunakan data-data primer berupa beberapa referensi terkait tayub sebagai basis untuk mengungkap pembentukan wacana. Analisis akan diarahkan, pertama-tama, kepada bagaimana eksklusi terhadap wacana dan subjek yang bertentangan dengan wacana ideal, hambatan-hambatan untuk mengeksklusi wacana dan subjek tersebut, serta bagaimana ia dimunculkan sebagai praktik yang lebih sesuai. 

Kedua, melihat bagaimana modifikasi terhadap bentuk-bentuk eksklusi yang disesuaikan atau diubah berdasarkan latar tempat dan waktu serta tingkatan atau peristiwa tertentu di mana mereka dihindarkan, atau tidak harus dilakukan. Ketiga, kebutuhan atau kepentingan apa yang melahirkan praktik diskursif tersebut. Dengan model analisis tersebut, akan diketahui bagaimana kesakralan dan ke-profan-an dibentuk dan dioperasikan dalam wacana tayub sebagai rezim kebenaran. 

Sementara, untuk menganalisis transformasi dari kesakralan dan ke-profan-an, metode yang akan digunakan adalah analisis genealogis. Menurut Foucault (1981: 70), analisis genealogi diarahkan kepada ranah-ranah tempat wacana dibentuk, norma spesifik yang menyertainya, serta dalam kondisi historis seperti wacana-wacana tersebut muncul, tumbuh, dan bervariasi. 

Berdasarkan kerangka metode tersebut, analisis akan saya arahkan pada norma-norma spesifik yang dimunculkan dalam masing-masing wacana tersebut serta kondisi historis yang memungkinkan wacana-wacana tersebut hadir/muncul, tumbuh, dan bervariasi dalam pertunjukan tayub dan masyarakat. 

Untuk analisis genealogis, saya akan membaca transformasi wacana kesakralan dan ke-profan-an dari masing-masing periode historis perkembangan tayub (dari masa kerajaan hingga masa pascareformasi) serta kepentigan kuasa yang melingkupinya. Khusus pada masa pascareformasi, saya juga akan melihat bagaimana transformasi kedua wacana tersebut dalam praktik pertunjukan tayub di tengah-tengah masyarakat yang semakin modern serta tegangan-tegangan kepentingan yang menyertainya. 

KETIKA TAYUB BELUM (SEPENUHNYA) DIKONSTRUKSI SEBAGAI "YANG SAKRAL"

Selama ini, wacana dominan terkait kelahiran tayub sebagai seni tari-musikal Jawa (Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur) dikatakan berakar dari ritual kesuburan sebagai bentuk penghormatan terhadap Dewi Sri (lihat, Suharto, 1999). Wacana tersebut seakan sudah menjadi kebenaran akademis yang tak terbantahkan. 

Gerakan-gerakan berpasangan antara tandhak/teledhek/ronggeng/sindir dengan penari lelaki yang cenderung menggambarkan gerakan seksual menjadi argumen pembenar dari makna simbolik kesuburan, sebagaimana yang dilekatkan pula pada tari gandrung dan gambyong (Effendy & Anoegrajekti, 2004: 17-18). 

Namun, apakah benar tayub berasal dari ritual kesuburan atau sejak awal kelahirannya mengandung makna kesuburan? Alih-alih memilih jawaban “benar” atau “salah”, saya memilih untuk menelusuri-kembali kelahiran tayub dari literatur-literatur terdahulu. Dari lacakannya terhadap salah satu relief di Candi Borobudur Jawa Tengah, Holt (2000: 137-138) menuturkan adanya tari berpasangan yang dimainkan oleh empat pasang penari, masing-masing perempuan dan lelaki. 

Mengikuti lantunan musik yang terdiri gambang (silofon bambu) dan dua alat lainnya, mereka memperagakan tarian yang sangat mirip dengan gerakan tari tayub/tandhakan. Sebagai teks-visual tertua yang bisa dirujuk, gambar tari berpasangan di Borobudur ini oleh Holt sama sekali tidak dikaitkan dengan ritual kesuburan ataupun pemujaan terhadap Dewi Sri. 

Hal itu tidak berarti ia tidak bersepakat dengan wacana umum bahwa tayub berasal dari ritual kesuburan yang sudah berusia sangat lama; sejak ada kehidupan manusia di muka bumi. Ia lebih mendasarkan pada bukti-bukti visual dan komparasinya pada masa kontemporer di mana gerakan tayub mirip dengan gerakan tari dalam relief tersebut. 

Sangat jelas bahwa ia mengedepankan pembacaan terhadap sumber tertua yang bisa dilacak di wilayah Jawa, sehingga tidak gegabah mengkonstruksi wacana asal-muasal hanya berdasarkan dalil umum. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa Holt tidak ingin sekedar mengamini dan mengulangi pembenaran yang dikatakan lazim di kalangan peneliti di mana asal-usul semua tarian sejenis yang ada di muka bumi berasal dari ritual kesuburan.

Ketika pusat kerajaan Jawa berpindah ke Jawa Timur, khususnya Majapahit, pertunjukan (yang menyerupai) tayub pun belum sepenuhnya bermakna sakral. Pertunjukan ini dilakukan untuk menyanjung kebesaran raja seusai masa panen.

Kita memiliki kesaksian dari kehadiran seorang gadis yang sangat mirip dengan teledhek pesinden di istana Majapahit di Jawa Timur dari abad ke-14. Penampilannya digambarkan dalam dua stanza dari Nagarakrtagama. Selama tujuh hari perayaan yang diselenggarakan setelah panen untuk menyanjung kebesaran raja dan istananya sebagai pusat dari kemakmuran negara, seorang penari wanita yang disebut I Angin tampil di atas arena dengan diiringi oleh seorang atau dua orang buyut....

Juru I Angin menyanyi ketika ia menari, rupanya dengan nada humor, karena kata-katanya serta tingkahnya menyebabkan ketawa. Dalam nyanyiannya ia menyinggung untuk memilih pasangan.... Setelah tariannya selesai, Juru I Angin dilimpahi pemberian-pemberian busana, dan setelah itu diundang pada ‘Kehadiran Raja’ untuk minum minuman keras menemani beberapa orang terkemuka. (Holt, 2000: 144)

Kalau penjelasan dalam Negarakrtagama terkait Juru I Angin kita posisikan sebagai wacana, maka tayub dikonstruksi sebagai karya yang berada pada batas antara yang bersifat ritual dan profan. Sebagai kesenian yang terintegrasi dengan “tujuh hari perayaan” pasca-panen, kesenian ini menjadi ekspresi yang mengiringi ritual yang penuh kegembiraan. 

Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari penyanjungan terhadap kebesaran raja sebagai titisan dewa yang diyakini memberikan kemakmuran bagi penduduk Majapahit. Namun, kitab ini juga tidak mengingkari adanya praktik profan berupa undangan raja kepada Juru I Angin untuk menikmati minuman beralkohol bersama para pembesar istana. Praktik ini—minum minuman beralkohol—adalah tradisi yang biasa pada waktu itu. 

Meskipun demikian, posisi sentral Juru I Angin dalam perayaan tersebut oleh Pigeud ditafsir sebagai kehadiran makna kesakralan/kesuburan (Holt, 2000: 144). Ia mungkin diposisikan sebagai seorang dewi setempat yang dekat kepada Dewi Angin-Angin. Ia bisa jadi menjadi lambang dari “angin musim barat” yang mendatangkan hujan, sehingga dimaknai sebagai dewi kesuburan.

Pelekatan makna sakral oleh Piegeud bukanlah dimaksudkan untuk merujuk pada gerakan tari dan tembang yang dilakukan oleh Juru I Angin, tetapi lebih kepada tafsir atas makna simbolik nama “Angin” yang sangat terkenal dalam tradisi lisan Jawa. Tradisi agraris di Majapahit yang mengandalkan datangnya hujan yang dibawa “angin musim barat”, menurut saya, menjadi dasar dari tafsir yang ia buat. 

Dengan mengusung wacana kesuburan tersebut, Pigeud, pada dasarnya, meletakkan fondasi awal dalam memahami tayub maupun seni-seni tari lain dalam masyarakat Jawa. Implikasinya, kesakralan menjadi wacana dominan yang membatasi tafsir terhadap ke-profan-an yang menjadi karakter pertunjukan tayub. 

Apa yang harus kita ingat adalah posisi Pigeud sebagai Javanolog yang memiliki tugas untuk mengkonstruksi wacana ke-Jawa-an tradisional yang berbeda dengan tradisi sekuler Barat, sehingga oposisi biner Barat/penjajah dan Timur/terjajah bisa tetap dimapankan dalam alam kultural kolonialisme. 

Lebih jauh lagi, pada zaman Majapahit, kesenian yang menyerupai tayub menjadi pelengkap dari perayaan hasil panen, sebagai ungkapan rasa syukur dan bukan berasal dari ritual kesuburan itu sendiri. Tradisi perayaan selepas panen dengan beragam bentuknya (dari tarian sampai drama) adalah budaya yang lazim dilakukan oleh sebagian besar penduduk di muka bumi.

Pada masa kesultanan Surakarta, pertunjukan tayub menjadi seni hiburan yang sangat populer di kalangan ningrat maupun rakyat biasa, sampai-sampai beberapa pujangga istana menulisnya dalam kitab. Dalam perkembangan diskursif di masa Surakarta, pemaknaan terhadap tayub belum juga diposisikan berasal atau berperan dalam ritual kesuburan. 

Tayub menjadi tarian yang digelar di istana dengan tatanan yang dibakukan, khususnya terkait status sosial para pengibing yang ditandai perbedaan gerak tari mereka bersama teledhek-sinden. Widyastutieningrum (2007: 105-106) menjelaskan bahwa pada masa pemerintahannya, Paku Buwana III membuat tata cara yang mengatur bagaimana gerak tari yang boleh dilakukan oleh para pengibing berdasarkan status sosial mereka. 

Pertama, para abdi dalem buyut sampai riya pangeran yang bukan pejabat diperbolehkan menari seperti Susuhunan, dengan gerak dasar yang disebut adeg nggrudha (kedua tumit rapat, telapak kaki posisi rotasi keluar), gerak tangan naga rangsang (gerak tangan satu kali), jalan tanjak giyul (menggerakkan dada), setiap sampai di batas lalu berputar arah hadapnya. 

Kedua, tarian untuk patih, pangeran yang menjadi pejabat negara, bupati nayaka, dan adipati manca, termasuk bupati pesisiran menggunakan pola gerak dasar yang disebut angron (kedua telapak kaki berjarak kira-kira satu jengkal), jalannya merak angigel (seperti tarian merak), gerak tangan disebut nglung pakis (seperti daun pakis), bergerak berputar ke luar dan ke dalam, jika sampai pada batas berputar membalik (melangkah satu kali lalu membalik arah hadapnya). 

Ketiga, tarian untuk bupati anon-anon, bupati manca, bupati muda, serta para panewu manti diperbolehkan menari tumenggungan, pola gerak dasar doran tinangi (tubuh seperti tangkai pacul), gerak tangan disebut panahan (gerak kedua tangan bersamaan seperti orang sedang memanah. Sampai di batas bergerak membalik arah hadapnya harus melangkah dua kali baru mengubah arah hadapnya. 

Keempat, tarian untuk lurah, bekel, jajar, serta para rakyat diperbolehkan menari yang disebut kebo menggah (menunduk seperti kerbau), gerak tangan ngepel. Jalannya setiap gong bantheng nggambul (gerak kepala seperti banteng). Setiap sampai batas, ketika akan membalik menapak dua kali baru membalik arah hadapnya. 

Peraturan tersebut tidak boleh dilanggar. Artinya, masing-masing orang dari masing-masing status tidak boleh menari dengan gerakan tari dari status lain. Kalau hal itu dilakukan, raja akan menghukum sesuai dengan kehendaknya.   

Widyastutieningrum menafsir perbedaan tersebut sebagai penegasan bentuk "keadilihungan atau kehalusan tayub" yang berkembang di keraton dibandingkan dengan yang berkembangan di kalangan rakyat biasa yang “kasar” (2007: 107). Menurut saya, ini merupakan cikal-bakal dari ‘penertiban tayub’ sehingga bisa menjadi bagian penting dari institusionalisasi nilai moralitas dan stratifikasi sosial Jawa dalam arena kultural. 

Artinya, tayub menjadi legitimasi bagi “politik pembedaan” status sosial yang mengikat masyarakat sebagai penopang kekuasaan ningrat Jawa. Dengan memobilisasi keadiluhungan melalui pembedaan kategori status sosial, pihak keraton sebenarnya berusaha mengkonstruksi tayub yang ideal. 

Mereka sadar bahwa tayub merupakan pertunjukan populer. Ketika model gerakan tari dibiarkan sama antarkelas sosial, maka muncul ketakutan adanya asumsi kesetaraan antara kelas elit dengan kelas rendahan dalam hal selera kultural. Orang-orang dari kelompok ningrat non-keraton ataupun rakyat biasa tidak diperkenankan memasuki “wilayah estetik” yang menjadi hak dari para ningrat keraton. 

Kategorisasi tayub keraton yang menghadirkan teledhek-sinden dan tayub non-keraton yang menghadirkan teledhek/tandhak/ronggeng, dengan demikian, bisa dibaca sebagai politik kultural pihak keraton agar kemurnian kelas mereka dan hirarki sosial tetap terpelihara.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana bentuk pertunjukan tayub yang diselenggarakan di luar keraton? Bagaimana para pujangga keraton Surakarta mengkonstruksinya dalam kitab-kitab yang mereka tulis? Kondisi-kondisi kontekstual seperti apa yang melatarinya? 

Dalam beberapa bagian Serat Centhini (ditulis pada masa pemerintahan Paku Buwana IV [1788-1820] dan Paku Buwana V [1820-1823]) diceritakan pagelaran tayub yang diselenggarakan di rumah beberapa petinggi di luar keraton. Sebagai tari-musikal yang berporos pada figur tandhak/teledhek, tayub digambarkan sebagai pertunjukan yang sangat profan. 

Para tukang beksa memiliki kebebasan untuk memperlakukan para tandhak sesuai dengan kehendak hati mereka; digendong, dicengkram paha dan panggul, serta payudaranya disentuh ketika pengibing memasukkan uang (Widyastutieningrum, 2007: 101-103). 

Pertunjukan tayub menjadi arena untuk melepaskan hasrat-hasrat kelelakian di mana para perempuan tandhak menjadi objek untuk pelampiasan. Didorong motivasi untuk mendapatkan rezeki ekonomi, para tandhak hanya bisa menerima kuasa patriarki yang liar dan sekuler terhadap tubuh mereka di tengah-tengah kegembiraan menari. 

Segala gambaran kelemah-lembutan dan kesopanan bangsa Jawa dihancurkan dalam tarian tayub. Pertunjukan tayub, dengan demikian, menjadi kanal bagi praktik dan wacana keprofanan dalam peradaban Jawa yang dikatakan adiluhung. Serat Centhini, setidaknya, memberikan gambaran betapa keadiluhungan yang dipelihara melalui tradisi, ritual, dan kesenian keraton tidak sepenuhnya merembes ke dalam kehidupan kultural masyarakat di luar keraton. 

Semua konstruksi terkait ke-jawa-an yang dibalut oleh prinsip-prinsip kehalusan, nyatanya, tidak mampu meniadakan praktik dan wacana sekuler yang berkembang dalam masyarakat patriarkal. Menjadi wajar ketika raja dan para pujangga selalu berusaha memformulasi bentuk-bentuk estetika yang berbeda dari selera rakyat kebanyakan. 

Wacana-wacana tentang keliaran tayub yang jauh dari norma kesopanan keraton, menurut kami, menjadi landasan bagi mereka untuk memosisikannya sebagai kekuatan kultural yang harus ditertibkan atau, paling tidak, diinkorporasi dengan gaya tari baru. Selain itu, beberapa pujangga keraton juga berusaha menemukan legitimasi diskursif terkait ketidak-profan-an tayub melalui rekayasa historis awal kelahiran kesenian ini. 

Dalam Serat Sastramiruda (ditulis pada masa Paku Buwana IX, 1861-1893), misalnya, diceritakan bahwa kesenian tayub pada mulanya dikembangkan oleh para santri di Demak. Widyastutieningrum (2007: 98-99) memahami konstruksi ini sebagai usaha untuk melegitimasi kesenian dari pra-Islam ke masa Islam agar dapat diterima oleh masyarakat, khususnya mereka yang menganut agama ini. 

Hal ini menunjukkan ambivalensi sikap pihak keraton terhadap tayub. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, mereka bisa menerima tayub dengan beberapa penyesuaian koreografis dan menolak model tari yang tidak sesuai dengan selera dan gaya keraton. Untuk melegitimasi penerimaan yang sudah disesuaikan tersebut, maka dikonstruksi wacana bahwa tayub dikembangkan oleh para santri. 

Mengapa demikian? Saya menduga hal ini untuk memberi pembenaran terkait tradisi tayub yang berkembang dan digemari di keraton, sehingga tradisi ini tidak dimusuhi oleh para pujangga atau ahli agama Islam, khususnya terkait aspek-aspek sekuler dan profan yang berlangsung dalam pertunjukan. 

Dalam sebuah kebudayaan yang dibangun melalui sekat-sekat selera dan estetika, inkorporasi, transformasi, dan modifikasi tayub ke dalam wacana besar ke-islam-an dan ke-jawa-an keraton menjadi penting untuk memperkuat praktik dan orientasi kultural yang berlangsung di keraton. Di tengah-tengah masyarakat, dalam catatan Holt (2000: 140), para tandhak/ronggeng tidak  dipandang rendah karena keberadaan mereka disakralkan oleh sebuah cerita rakyat yang dilegitimasi dengan makna-makna Islam. 

Sementara pujangga memasukkan cerita sejarah terkait perkembangan tayub di lingkungan santri untuk menjadikannya terterima di keraton, cerita rakyat menggunakan legitimasi wacana Islam untuk memberikan citra positif keberadaan tandhak/ronggeng  di tengah-tengah aktivitas profan mereka, seperti melacur. 

Dalam cerita rakyat itu, menurut catatan Holt (2000: 140-141), dikisahkan seorang pemahat kayu mendapatkan perintah dari Tuhan untuk membuat boneka cantik dan menempatkannya di pinggir jalan yang sepi. Setelah melintasinya, seorang tukang jahit merasa iba dan membuatkan busana sederhana; selembar kain, kain penutup dada, dan kebaya. 

Lalu, tukang emas menghiasi boneka itu dengan cincin, gelang, dan kalung. Sesudah itu, ketiga kriyawan tersebut berpuasa dan berdoa agar boneka itu bisa dikaruniai nyawa kehidupan. Setelah genap 40 hari berpuasa, salah satu dari wali songo (Holt tidak menyebutkan namanya) mendatangi boneka itu dan atas kehendak Tuhan ia hidup. Sang wali mengajak wanita itu mendatangi rumah pemahat. Tukang jahit dan pandai emas telah ada di rumah pemahat setelah diberitahu seekor cicak. 

Menyadari kecantikan wanita itu, ketiga kriyawan itu saling mengklaim karena merasa punya andil. Namun, sang wali meminta mereka untuk mengikuti wanita cantik ini di mana ia menari dan menyanyi dari satu tempat ke tempat lain. Pemahat kayu memainkan rebab, tukang jahit memukul kendang, dan tukang emas menabuh gong, krecek, dan kethuk. Mereka berempat berkeliling hingga sampai Majapahit. Perempuan cantik ini adalah milik umum, bukan milik pribadi. 

Sebagai rezim kebenaran yang mulai mendapatkan subjek pengikut di tanah Jawa, khususnya di wilayah pesisir, Islam mendapatkan pemaknaan bukan hanya dari kalangan ningrat, tetapi juga rakyat biasa yang merasa perlu menegosiasikan dan melegitimasi kekuatan estetika yang bercampur dengan ke-profan-an. 

Ketika makna-makna Islam dilekatkan, maka pertunjukan tayub dan tandhak tetap akan bisa diterima meskipun ajaran agama melarang aktivitas ke-pelacur-an. Paling tidak, keberterimaan terhadap profesi ganda seorang tandhak berlanjut sampai masa pascakolonial, tepatnya era 1980-an. Hal ini lebih disebabkan karena syiar agama Islam yang masih belum terlalu massif dan doktriner karena masih kuatnya tradisi ke-Jawa-an di tengah-tengah masyarakat.  

Penjabaran di atas menegaskan bahwa di era Mataram Islam dan kolonial, masih belum ada wacana (baik yang dibuat oleh pujangga keraton maupun rakyat biasa) tentang kesakralan pertunjukan tayub yang dikaitkan dengan ritual kesuburan. Aspek kesakralan ditempatkan kepada konstruksi historis yang berkaitan dengan perkembangan dakwah Islam di era kerajaan Demak sebagai upaya untuk menginkorporasi kesenian rakyat ini ke dalam jagat keraton. 

Selain itu, keprofanan tayub dibatasi (dalam artian tidak banyak dibicarakan) di dalam kitab-kitab pujangga, karena dianggap akan memberikan citra negatif dan akan mengganggu kemapanan kuasa bangsawan. Keprofanan seakan hanya dilekatkan kepada pertunjukan tayub yang cenderung kasar di tengah-tengah masyarakat biasa. 

Dengan pola diskursif demikian, keutamaan dan keunggulan “estetika istana” akan tetap terjaga, meskipun telah menginkorporasi kesenian rakyat biasa. Meskipun bisa menerima praktik-praktik profan yang dilakukan oleh para tandhak/teledhek/ronggeng, masyarakat juga tidak mau sepenuhnya diam. 

Mereka memformulasi cerita yang syarat makna-makna ke-islam-an. Artinya, stigmatisasi tayub yang profan dilawan secara diskursif dengan menggunakan kekuatan dan legitimasi ke-islam-an itu sendiri yang sebenarnya melarang keberlangsungan praktik ke-pelacur-an. 

MENIKMATI "YANG PROFAN", MERAYAKAN "YANG SAKRAL" DI MASA PASCAKOLONIAL

Kegenitan di Awal Kemerdekaan

Pada masa-masa awal kemerdekaan, sangat sulit dilacak tulisan-tulisan terkait pertunjukan tayub. Namun, saya menemukan catatan singkat Cliffort Geertz tentang pertunjukan tayub dalam bukunya Abangan, Priyayi, Santri. Berikut sengaja saya kutipkan agak panjang catatannya ketika mengamati pertunjukan tayub di Mojokuto (Pare, Kediri) pada tahun 1950-an, agar kita mendapatkan gambaran yang lumayan lengkap tentang pertunjukan tayub di masa awal kemerdekaan.

Biasanya ada seorang kledek (hampir selalu seorang pelacur), tetapi dalam tayuban yang meriah bisa ada dua atau tiga orang. Kledek itu menari sejenak, pada permulaannya. Ketika tayuban itu sendiri hampir mulai, tuan rumah menunjuk seorang pramugari (“pemimpin”) pria. 

Sekarang merupakan tugas pramugari untuk menunjuk kledek mana yang ia ingin ajak menari. Ia harus pandai mengukur kedudukan orang sebab urutan orang yang ikut serta di dalamnya adalah sangat penting dan tak boleh salah. Dalam pesta perkawinan maka pengantin prialah yang pertama-tama, dalam khitanan tuan rumah. 

(Perempuan disisihkan ke belakang dan mereka sama sekali tak menyukai tayuban itu. Organisasi-organisasi perempuan seperti Perwari, perkumpulan utama perempuan-perempuan priyayi, membenci tayuban dan mati-matian menentangnya)

Setelah ini urutan berikutnya harus menurut kedudukan seseorang. Kalau camat berada di sana, jelas ia harus yang pertama, kemudian kepala desa, dan seterusnya; dan pramugari itu harus berhati-hati agar tak menghina siapa pun juga. Pramugari berada di depan dan mulai menari, gaya joget, menawarkan ke arah para tamu, sedang kledek ini mengikutinya sambil membawa baki berisi selendang untuk menari di tangannya. (Geertz, 1983: 401)

Terdapat beberapa konstruksi wacana yang dimunculkan dalam paparan di atas. Pertama, keberaturan struktur pertunjukan tayub pada fase awal menjadi orientasi komunal yang sekaligus menegaskan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Seorang camat dan kepala desa akan mendahului menari, bukannya tamu biasa. Idealisasi terhadap pemertahanan struktur sosial berbasis relasi tinggi-rendah berusaha dipertahankan dalam tayuban. 

Kedua, ketenaran tayub di kalangan masyarakat non-keraton, terutama ketika mereka menggelar hajatan keluarga, seperti mantenan (ritual pernikahan) atau sunat (ritual khitan), menunjukkan bahwa tayub masih dianggap sebagai hiburan dalam ritual yang bermakna penting bagi keberlanjutan generasi penerus. 

Ketiga, profesi ganda kledek/tandhak yang selain menjadi penari dan penyanyi/penembang juga sekaligus menjadi pelacur; hampir selalu, meskipun tidak selalu. Profesi ganda inilah yang memunculkan pandangan stigmatik terhadap tayuban, khususnya di mata perempuan priyayi, sehingga mereka menentang pertunjukan ini. Juga, di mata para santri, karena ke-pelacur-an merupakan tindakan yang masuk kategori zina besar. 

Para pengibing dalam pertunjukan tayub Lamongan. Foto: Dok. Pribadi
Para pengibing dalam pertunjukan tayub Lamongan. Foto: Dok. Pribadi
Keempat, adanya pembagian kerja dalam pertunjukan tayub antara pramugari, kledek, dan penabuh gamelan yang menunjukkan 'profesionalitas' dalam kesenian yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.  

Dalam sebuah acara hajatan, tayuban di siang hari sampai selepas Isya’ masih menampakkan keteraturan, meskipun sudah diwarnai dengan minuman beralkohol seperti jenewer, tuwak, dan arak. Adegan tari yang melibatkan tandhak dan pengibing masih relatif terkendali dan teratur; mengikuti pakem-pakem yang ada, meskipun sesekali ada tandhak yang dipangku penayub. 

Ketika malam semakin larut, adegan tari menjadi tidak beraturan dan cenderung mengarah ke hal-hal yang bersifat seksual, seperti mencium kledek (Geertz, 1983: 402). Minuman beralkohol dan adegan erotis tak pelak lagi menjadi salah satu penyebab mulai berubahnya pandangan masyarakat terhadap tayub. 

Namun, masih ada penyebab lainnya, yakni tradisi jor-joran, saingan antara pengibing/tukang beksa untuk memberi uang kepada para tandhak. Pada masa revolusi kemerdekaan, setiap pengibing memberi uang dalam jumlah yang sama. Selepas kemerdekaan, para penayub berusaha menunjukkan kehebatan mereka dengan memberi uang kepada tandhak melebihi penayub yang lainnya (Geertz, 1983: 403). 

Pengibing yang tidak bisa memberi banyak akan malu, sehingga enggan untuk datang lagi. Akibatnya, pertunjukan tayub tidak semeriah pada masa sebelum perang karena hanya menjadi arena untuk pamer kekayaan para pengibingnya, bahkan tidak jarang menjurus ke perkelahian fisik. Kondisi ini berlangsung sampai era 1960-an (Widyastutieningrum, 2007: 123).

Selain adegan erotis dalam pertunjukan, tayub juga memiliki sebuah ‘ritual terakhir’ sebelum seorang calon tandhak/ronggeng bisa menjadi tandhak/ronggeng yang sebenarnya. Ritual tersebut dinamakan buka klambu, sebuah persyaratan terakhir dalam serangkaian upacara yang harus dilalui oleh seorang tandhak; berupa sayembara terbuka bagi laki-laki manapun untuk dapat menikmati keperawanan calon ronggeng dengan syarat dapat memberikan uang terbanyak (Rabimin, 2010: 223). 

Sampai tahun 1960-an, ritual ini masih dilangsungkan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Terlepas dari alasan-alasan ritual yang melingkupinya, buka klambu menjadi salah satu bagian profan dari tayub yang berorientasi pada perayaan kesuburan. Tradisi ini, lagi-lagi, menempatkan perempuan dalam posisi subordinat di mana tubuh dan keperawanan mereka bisa dibeli dengan sejumlah uang. 

Kemauan calon ronggeng untuk memberikan keperawanan mereka sebenarnya lebih berorientasi kepada motif ekonomi, meskipun dibungkus dengan alasan tradisi. Bagi kalangan santri, tentu saja, ritual ini menjadi titik-rawan yang menjadikan mereka enggan bersinggungan dengan tayub. 

Artinya, produksi stigma oleh kalangan santri terhadap kesenian tayub juga tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan-kebiasaan yang dianggap menyimpang, sehingga aspek-aspek religi terkait kesuburan ataupun penghormatan terhadap ruh pendiri desa (khususnya dalam ritual bersih desa) menjadi tidak berarti apa-apa.

Ketika Rezim Orde Baru Menertibkan Tayub

Ketakutan akibat dampak tragedi berdarah 1965, nyatanya, tidak mampu membunuh ingatan masyarakat terhadap tayub. Pada awal 1970-an, pertunjukan tayub mulai digelar lagi. Izin dari aparat keamanan harus diperoleh, meskipun pertunjukan tayub digelar pada saat ritual bersih desa.  

Apa yang tidak bisa dihilangkan dalam tayuban adalah sempalan-sempalan (adegan atau kegiatan di luar pakem tayub) yang masih berlanjut. Menurut Rabimin (2010: 221-224) aktivitas sempalan yang berlangsung bisa menjurus kepada tindakan yang oleh ajaran agama dianggap berdosa ataupun amoral. Terdapat beberapa adegan sempalan pada masa-masa itu. 

Pertama, cao glethak, merupakan gending zaman dahulu yang cukup terkenal karena mengesankan sesuatu yang erotis. Bagi para pengibing yang nakal, seringkali waktu jatuh pada bunyi gong, si tandhak di-glethake (dijatuhkan) untuk kemudian di-tumpuki oleh beberapa pengibing. 

Kedua, nglimpe ngesun, yakni adegan ketika tukang beksa sembari menari mencium pipi tandhak saat mereka agak lengah. Ketiga, ngombe lan ngambung, yakni adegan ketika penayub minum tuwak dan tepat pada bunyi gong ia mencium pipi tandhak. Biasanya terjadi di malam hari, ketika pertunjukan semakin panas.

Masih seperti era-era sebelumnya, minuman beralkohol, erotisme, dan tindakan seksual menjadi warna dominan dalam pertunjukan tayub. Kenyataan itulah yang menjadikan tayub oleh akademisi dikonstruksi sebagai “kesenian yang kasar”, “tidak senonoh”, “tidak sesuai dengan agama dan moralitas”, dan lain-lain. 

Suripan Sadi Hutomo ((dikutip dalam Widyastutieningrum, 2007: 126), misalnya, sampai membuat karakterisasi tayub sebagai kesenian yang kasar. Kasarnya tayub ditandai oleh tindakan tukang beksa yang minum minuman keras hingga mabuk, mencium pipi ledhek/tandhak di depan umum tanpa malu. 

Selain itu, mereka juga memasukkan uang ke dalam kemben ledhek atau memberikan saweran atau uang tombok dengan cara suwelan atau seselan, memasukkan melalui kain penutup payudara. Pengibing memangku tandhak sembari menciuminya. Selain itu, tandhak memberi lirikan mata yang sangat menggairahkan nafsu seks tukang beksa. 

Untuk lebih menarik, ledhek memperlihatkan betisnya sedemikian rupa sehingga memancing hawa nafsu seks pengibing dan penonton. Tidak jarang terjadi perkelahian antarpengibing. Dan, yang lebih memprihatinkan, ledhek seringkali merangkap sebagai wanita tuna susila. 

Terlepas dari wacana-wacana stereotip yang ditulis para akademisi, pertunjukan tayub pada era 1970-an sangatlah meriah. Khamit, 59 tahun, warga Dusun Sambiroto, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan, yang menyaksikan dan mengalami perkembangan tayub pada era 1970-an sampai 1990-an menuturkan:

“Waktu masih perjaka, saya bekerja menjadi tukang corong (pengeras suara) yang digunakan untuk pertunjukan tandhakan (tayub) dan wayang. Meskipun pertunjukannya diadakan dengan terob yang sangat sederhana (biasanya tuan rumah membuat sendiri dengan bahan bambu dan sesek [anyaman bambu]), tandhakannya sangat ramai. 

Warga desa berduyun-duyun menonton, laki-laki maupun perempuan, anak kecil sampai orang dewasa. Maklum, waktu itu hiburan belum banyak. Dandanan para tandhaknya juga sederhana, karena belum ada kosmetik macam-macam kayak sekarang. Mereka mengenakan jarik dan penutup dada. 

Kepandaian untuk menari dan nembang menjadi ukuran ketenaran seorang tandhak, di samping kecantikan. Para tukang beksa juga tidak neko-neko, paling-paling menari bersama tandhak dan minum tuwak. Nyawernya juga ndak banyak. Maklum, waktu itu zaman masih susah, mereka bergantung pada hasil panen. Kalau panennya bagus, nyawernya agak banyak.” 

Tuturan Khamit di atas menegaskan bahwa hanya dengan menggunakan teknologi pengeras suara sederhana (corong) yang dijalankan dengan tenaga accu, pertunjukan tayub sudah bisa menyedot perhatian penonton. Tayub benar-benar menjadi hiburan warga desa dari semua generasi. Lenggak-lenggok dan suara merdu para tandhak menjadikan warga desa terhibur. 

Seringkali terjadi, seorang pengibing atau penonton jatuh hati kepada tandhak yang pandai menari dan nembang serta memiliki wajah lumayan. Demikian pula para pengibing yang dengan saweran seadanya bisa menari bersama para tandhak, menghilangkan sejenak beban hidup, sambil menikmati tuwak Tuban. 

Mereka juga bisa memasukkan uang saweran ke dalam kain penutup payudara tandhak. Perihal tradisi menenggak minuman beralkohol dalam pertunjukan tayub sudah dianggap yang lumrah oleh para penggila tayub dan warga masyarakat, asalkan tidak sampai mabuk dan berbuat hal-hal yang anarkis sifatnya.

Keamanan, ketertiban, dan kerukunan merupakan wacana-wacana ideologis yang digerakkan oleh rezim Orba, dari pusat hingga daerah, melalui jalur pendidikan formal maupun informal. Hal itu sejalan dengan semakin gencarnya dakwah Islam yang berusaha memberantas malima, yakni (1) madon (berhubungan badan dengan pelacur atau perempuan lain di luar ikatan pernikahan yang sah); (2) main (judi); (3) maling (mencuri); (4) madhat (mengkonsumsi candhu); dan (5) mabuk (minum minuman beralkohol). 

Dari kelima larangan tersebut, tiga di antaranya ada dalam pertunjukan tayub, yakni madon, main, dan mabuk. Apabila aspek-aspek tersebut dibiarkan, tentu saja, rezim negara khawatir akan memancing konflik horisontal dengan para ulama maupun warga yang mulai mengerti ajaran Islam. 

Kekhawatiran munculnya disintegrasi antarelemen masyarakat sebagai akibat pembiaran terhadap pertunjukan tayub itulah yang mendorong pemerintah Orba melakukan penataan dan penertiban pertunjukan tayub pada era 1980-an. Wacana-wacana tentang tayub sebagai kesenian yang kasar dan liar (sebagaimana dikonstruksi oleh para akademisi) menjadi landasan diskursif untuk menertibkannya.

Di daerah-daerah basis tayub, seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, pemerintah menyelenggarakan penataran dan pelatihan bagi para seniman tayub, khususnya tandhak, pramugari, dan juragan paguyuban. Tujuan dari penataran dan pelatihan tersebut adalah mengurangi adegan-adegan erotis dalam pertunjukan tayub serta merekonstruksi gerak tari tayub yang bisa menghindarkan kontak langsung antara tandhak dan pengibing. 

Meskipun pada awalnya banyak seniman dan pengibing yang menolak karena dianggap akan menghilangkan karakteristik tayub sebagai tari pergaulan beraroma kebebasan, mereka, pada akhirnya, harus mau menuruti peraturan pemerintah. Memang, tidak semua peraturan tersebut ditaati. 

Kebiasaan minum minuman beralkohol tetap berlanjut. Bahkan, di beberapa kabupaten, seperti Lamongan, para pengibing mulai menenggak bir selain tuwak dan arak. Dengan adanya peraturan dan perubahan gerak tari itulah, pertunjukan tayub menjadi lebih tertib; tidak ada lagi adegan-adegan erotis yang melibatkan tandhak dan pengibing di kalangan, arena tempat berlangsungnya pertunjukan.

Kepatuhan para seniman tayub, khususnya para tandhak/sindir (dalam istilah masyarakat Tuban), terhadap aktivitas penertiban ini sekilas memang menampakkan ketidakberdayaan mereka terhadap kehendak dan kekuasaan rezim negara. Paring Waluyo (2012), merefleksikan penertiban tayub yang dilakukan rezim Orde Baru sebagai berikut. 

...di tahun 80-an, pemerintah daerah, seperti Tuban, Nganjuk, Bojonegoro memberlakukan pelarangan bagi para pengibing untuk memasukkan saweran ke pakaian dalam sindir. Bahkan, predikat sindir dihaluskan oleh pemerintah, melalui pembinaan dan penataran yang diberlakukan kepada para sindir. Dinas Pariwisata Kabupaten Tuban mengenalkan istilah waranggono sebagai pengganti istilah sindir. 

Untuk menjadi waranggono, Dinas Pariwisata memberlakukan kewajiban calon waranggono untuk mengikuti penataran, yang ditutup dengan wisuda. Pasca wisuda para waranggono mendapatkan sertifikat lisensi dari pemerintah, bahwa yang bersangkutan berhak untuk menjalani profesi waranggono. Di beberapa daerah, menjadi pemandangan seragam bahwa pemerintah setempat mengatur tubuh sindir di arena tayuban.  

Pelarangan memasukkan uang saweran melalui kemben penutup dada tandhak/sindir, penggantian istilah sindir dengan waranggono, kewajiban mengikuti penataran, dan sertifikat lisensi untuk menjadi waranggono merupakan usaha rezim negara untuk membatasi keliaran atraksi pagelaran tayuban serta melakukan standardisasi kemampuan estetik yang berujung pada kepatuhan dan ketertundukan mereka dalam kuasa negara. 

Penyematan istilah “waranggono” merupakan usaha untuk lebih melekatkan makna positif dibandingkan sindir. Waranggono merupakan istilah yang berasal dari tradisi Mataraman yang merujuk pada penyanyi gending-gending Jawa, khususnya untuk karawitan. 

Sementara, istilah sindir lebih bernuansa Tuban dan merakyat. Sindir sendiri berarti penari sekaligus penembang/penyanyi yang diidentikkan dengan makna kasar. Dengan menggunakan istilah waranggono, pemerintah Kabupaten Tuban berusaha mengkonstruksi makna dan wacana yang lebih bermartabat dan lebih halus. 

Di balik penertiban dan standardisasi estetika tersebut, kita bisa membaca adanya kekhawatiran berlebihan rezim negara terhadap kesenian rakyat paling populer di Tuban. Sekali, ideologi ketertiban dan integrasi sosial mendorong lahirnya penertiban tersebut karena rezim negara di tingkat daerah tidak ingin pertunjukan-pertunjukan rakyat terus berlangsung dalam keliaran. Mengapa? 

Alasan normatifnya, karena rezim tidak ingin melihat kekisruhan yang akan berujung pada kekacauan sosial yang bisa menciptakan ketidakamanan dan mengganggu pembangunan nasional; sebuah alasan yang sangat berlebihan. Menurut kami, masih ada alasan lain, yakni rezim negara berusaha menghindari kritik pedas dari tokoh-tokoh agama, khususnya Islam, yang sudah mulai menanamkan pengaruh mereka secara massif di wilayah pedesaan setelah tragedi 1965. 

Kritik kekuatan Islam sebagai mayoritas yang ikut berkontribusi pada pemberantasan orang-orang PKI atau “yang di-PKI-kan” tentu bisa menjadi wacana untuk mendelegitimasi kekuasaan negara yang tengah membutuhkan dukungan konsensual segala kekuatan ideologis di masyarakat, kecuali kekuatan ideologis Kiri. 

Ketidakberanian para pelaku tayub untuk melawan kebijakan negara memang menunjukkan ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi kuasa represif-militeristik rezim. Namun, dari kacamata masa kini, hal itu juga bisa dibaca sebagai siasat untuk tetap bisa survive

Para pengibing dan waranggono di Tuban. Foto: Dok. Dinas Pariwisata Tuban
Para pengibing dan waranggono di Tuban. Foto: Dok. Dinas Pariwisata Tuban
Menurut Bambang Setyono, budayawan Tuban, regulasi terhadap sindir dipandangnya sebagai negosiasi kalangan sindir. Pengaturan itu seperti menjadi bukti betapa kuat dan dominannya Negara Orde Baru di semua lini kehidupan (Waluyo, 2012). Kalangan kampus yang terdidik saja bisa diatur oleh Orde Baru, apalagi ini kalangan perempuan yang berpendidikan rendah, yang menjadi sindir, dan mencari nafkah hidup di arena tayuban. 

Analisis Bambang Setyono ada benarnya. Jika perlawanan frontal dilakukan sindir, praktis pemerintah orde baru dengan gampang melarang pertunjukan tayub. Sebagai bentuk negosiasinya, mereka “memperkenankan” negara untuk menata ulang tayuban dengan menghilangkan perspektif kasar dan erotisnya. 

Memang, dalam kekuasaan berorientasi hegemonik, selalu muncul negosiasi dari kelas-kelas subordinat di tengah-tengah konsensus yang hendak dibangun oleh rezim pemimpin. Dengan menerima penertiban tersebut, para sindir masih bisa terus mengembangkan kesenian dan kebudayaan mereka, sehingga masyarakat desa akan tetap menggemari pertunjukan tayub. 

Dengan jalan itu pula, tayub tidak akan menjadi sasaran represi negara yang bisa berimplikasi pada pelarangan. Maka, kepasrahan dan kepatuhan kepada perintah negara merupakan keliatan kultural yang sekaligus menjadi strategi politis agar tubuh dan tembang para tandhak/sindir tetap bisa berkontestasi di tengah-tengah eksistensi budaya pop dan syiar Islam yang semakin kentara pengaruhnya di masa Orde Baru.

Memasuki era 1980-an, pertunjukan tayub masih menggunakan teknologi sederhana berupa pengeras suara agar tembang-tembang tayub bisa didengar oleh masyarakat di luar desa tempat pertunjukan berlangsung. Adapun yang berubah adalah adegan sempalan seperti cao glethak sudah mulai menghilang. 

Meskipun demikian aktivitas prostitusi di tempat germo masih berlangsung, tetapi tidak serama masa sebelumnya. Pada masa ini, aktivitas menenggak minuman beralkohol sudah mulai diganti dengan bir. Biasanya penjual bir akan datang ke tempat pertunjukan tayub dengan membawa satu pick up berisi berpuluh-puluh krat bir. Bir terkesan lebih modern dibandingkan tuwak maupun arak, meskipun lebih mahal. 

Penghasilan yang meningkat akibat revolusi hijau di bidang pertanian menjadikan para penggemar tayub tidak mempermasalahkan harga. Maka, semakin sering terdengar suara lantang pramugari memesankan bir "satu krat" ataupun "dua krat" untuk rombongan penayub yang duduk di satu meja. Para pengibing seringkali berdalih bahwa dengan minum bir mereka bisa mempererat persahabatan sekaligus mengusir rasa malu ketika akan menari bersama tandhak.

Tukang bekso menikmati bir ditemani para tandhak. Foto: Dok. Pribadi
Tukang bekso menikmati bir ditemani para tandhak. Foto: Dok. Pribadi
Pada era 1980-an arisan tayub juga cukup semarak. Di Lamongan, misalnya, arisan ini diikuti oleh orang-orang dari kelas menengah-ke-atas alias yang mempunyai kekayaan materi berlebih karena memiliki sawah luas atau usaha wiraswasta seperti tokoh, penggilingan padi, dan lain-lain. 

Setiap anggota wajib membayar uang dalam jumlah tertentu. Setahun sekali akan diundi dan siapa yang mendapatkan undian akan menggelar tayuban. Biasanya dibarengkan dengan acara hajatan khitanan atau pernikahan. Arisan tayub membuat seni pergaulan ini mampu bertahan di tengah-tengah kompetisi dengan televisi, radio, maupun tape player. Selain para anggota, warga umum juga diperbolehkan untuk ikut beksa (menari), asalkan mereka mau membayar.

Salah satu karakteristik dari para pengibing pada periode 1980-an adalah para lelaki yang sudah berkeluarga, biasanya 20 tahun ke atas. Para lelaki remaja ataupun yang berusia muda, sangat jarang ikut menari. Alasannya, mereka belum punya cukup uang untuk ikut beksa, karena uang yang dibutuhkan relatif banyak untuk ukuran pada waktu itu, Rp. 20.000 sampai dengan Rp. 50.000. 

Mereka biasanya hanya menjadi buruh tani dengan penghasilan yang cukup rendah. Kalaupun ada lelaki belum menikah yang ikut beksa, biasanya mereka sudah mempersiapkan uang (menabung) jauh hari sebelum pagelaran tayub. Bagi mereka yang tidak memiliki cukup uang, menjadi penonton adalah pilihan paling masuk akal. 

Setidaknya, mereka bisa menikmati gemulai penari dan atraksi para pengibing di kalangan. Aktivitas menonton ini sekaligus menjadi aktivitas belajar tari tayub, sehingga ketika sudah saatnya generasi muda menjadi pengibing, mereka sudah tidak bingung lagi bagaimana caranya menari bersama para tandhak.

Pada era 1990-an, pertunjukan tayub sudah menggunakan teknologi sound system yang canggih dan mengalami perubahan. Dengan sound system, suara gendhing dan keramaian tayub seakan menghentak seisi desa dan terdengar sampai desa-desa tetangga. Hal yang berubah dalam pertunjukan tayub adalah semakin seringnya adegan jaipongan, sebuah adegan ketika seorang penayub menari bersama seorang atau lebih tandhak dengan diiringi tembang sesuai permintaannya. 

Pada saat jaipongan itulah, pengibing akan membayar uang yang jumlahnya melebihi yang harus mereka bayarkan ketika menari bersama penayub lain. Uang yang harus dibayarkan ke seorang tandhak berkisar Rp. 5.000 sampai Rp. 10.000. Pengibing juga harus membayar uang sejumlah kepada panjak kendang atas jasa untuk mengiringi lagu yang ia pesan serta membayar uang talam (uang untuk tuan rumah). 

Kalau sudah adegan jaipongan, antara pengibing yang satu dengan yang lain akan jor-joran (bersaing) dalam memberi saweran untuk tandhak. Pada masa ini untuk berani “mlebu terob” (masuk terob, istilah untuk ikut beksa), seorang lelaki harus menyiapkan sedikitnya Rp. 100.000. Pada masa ini para kawula muda, meskipun belum berkeluarga, sudah berani unjuk gigi, memamerkan kebolehan mereka beksa. 

Mereka mendapatkan uang dengan menjadi kuli batu (buruh bangunan) di Surabaya atau menjadi buruh di warung soto Lamongan, khususnya di Jakarta. Tentu saja pagelaran tayub semakin semarak dengan kehadiran para tukang beksa muda yang terkenal tidak pelit dalam me-nyawer. 

Konsekuensinya, para tandhak mendapatkan uang semakin banyak dan para panjak pun kecipratan, alias mendapatkan jatah dari para tandhak. Pada era 1990-an pula, praktik-praktik prostitusi yang melibatkan para tandhak di rumah germo sudah mulai menghilang dari ruang desa di Lamongan. 

Kondisi serupa juga terjadi di daerah-daerah lain, seperti Bojonegoro, Tuban, dan Nganjuk. Syiar agama Islam yang semakin kuat dan penertiban yang dilakukan oleh aparat keamanan menjadi salah satu faktor penyebab hilangnya rumah-rumah prostitusi, meskipun secara terselubung masih bisa ditemukan. Meskipun demikian, kegiatan tayub tetap ramai.

MENGKONSTRUKSI MAKNA-MAKNA POSITIF

Dalam kuasa rezim negara Orba, kesenian-kesenian lokal yang masih banyak penggemarnya, tidaklah dilarang. Sebaliknya, para senimannya dirangkul dan diarahkan agar keliaran-keliaran yang berlangsung selama proses pertunjukan tidak sampai menimbulkan ekses-ekses negatif. 

Selain pembenahan estetik yang dilakukan oleh aparat pemerintah bekerjasama dengan para sarjana seni, pemerintah juga mendorong lahirnya penelitian-penelitian berorientasi kearifan lokal, di mana para peneliti didorong untuk mengkaji aspek-aspek adiluhung dari sebuah pertunjukan seni. 

Terdapat usaha untuk meng-investasi makna-makna ideal yang dilekatkan kepada pertunjukan tayub yang nota-bene hanyalah pertunjukan tari-musikal bersifat profan. Beberapa peneliti mulai memetakan dan mendefinisikan fungsi-fungsi pertunjukan tayub bagi kehidupan komunal maupun kehidupan persona para pelakunya. Beberapa warna dominan dalam kajian tayub adalah keterkaitannya dengan ritual, integrasi sosial, dan hiburan.

Tayub dan Makna kesuburan dalam Ritual Desa 

Tayub, sebagaimana saya jelaskan sebelumnya, merupakan kesenian yang berkaitan erat dengan Dewi Kesuburan alias Dewi Sri. Dewi inilah yang mengorbankan kehidupannya demi membuka jalan kesejahteraan bagi umat manusia. Salah satu ritual yang dilakukan secara komunal oleh masyarakat desa untuk menghormati dharma bakti Dewi Sri sekaligus sebagai bentuk ungkapan syukur dan permohonan kepada Tuhan Yang Mahaesa adalah bersih desa. 

Masyarakat Tuban menyebutnya ritual manganan di Tuban, sedangkan masyarakat Lamongan dan Nganjuk menyebutnya sebagai nyadran atau sedekah bumi. Berikut ini saya kutipkan salah satu bentuk konstruksi wacana yang menghubungkan pertunjukan tayub dengan makna kesuburan dalam sebuah ritual bersih desa.

Pelaksanaan upacara bersih desa dengan mempertunjukkan tayub terkait erat dengan mitos yang masih diyakini masyarakat....Mitos yang berlaku adalah bahwa penari perempuan....dalam pertunjukan tayub dianggap sebagai perantara antara masyarakat dan Dewi Sri. Mitos itu masih hidup subur di masyarakat pedesaan khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya... 

Dewi Sri tak ubahnya sebagai lambang etos kerja untuk mengubah nasib, kerja keras menolong diri sendiri, dan kehidupan bersama... .Pertunjukan tayub dalam upacara ritual bersih desa berperan sangat penting bagi masyarakat karena dipercaya sebagai upacara kesuburan yang diharapkan berpengaruh terhadap kesuburan tanah, melimpahnya hasil panen, terhindar dari berbagai hama tanaman, dan keselamatan serta kesejahteraan masyarakat. 

Masyarakat masih percaya perlunya melakukan upacara bersih desa, karena takut mendapatkan musibah atau malapetaka, juga takut menyalahi tradisi yang telah dilakukan oleh nenek moyang secara turun-temurun itu. Masyarakat Jawa yang agraris sangat membutuhkan kesuburan tanah dan alam lingkungan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. (Widyastutieningrum, 2007: 149-150)

Penjelasan panjang-lebar di atas memberikan gambaran relasi pertunjukan tayub dengan makna kesuburan. Tayub diposisikan sebagai “perantara” antara masyarakat dengan Dewi Sri. Apa yang menarik dicermati adalah pada aspek atau adegan apa dari tayub yang menandakan keterkaitan antara kesenian ini dengan Dewi Sri atau kesuburan itu sendiri. Tidak ada penjelasan yang konkrit dan bisa diterima nalar dari pendapat di atas. 

Meskipun, pertunjukan tayub diposisikan sebagai “upacara kesuburan”, makna kesuburan yang berimplikasi kepada kesejahteraan dan keterhindaran dari bala’ (bencana dalam bermacam bentuknya) sebenarnya menjadi fungsi dari keseluruhan rangkaian ritual bersih desa. Artinya, konstruksi diskursif tentang kesuburan, pada dasarnya, belum bisa dirangkai dalam penjelasan yang masuk akal. Hal itu berbeda dari pernyataan Holt maupun Geertz yang tidak pernah memosisikan tayub sebagai simbol dari kesuburan.

Kalau kita cermati lagi, pernyataan di atas mencoba untuk meyakinkan bahwa tayub memang bermakna kesuburan. Tafsir tersebut sah-sah saja, karena tidak harus menggunakan atau merujuk tafsir yang dibuat oleh peneliti asing untuk menemukan makna pertunjukan tayub. 

Sesepuh dusun memberi sambutan sebelum pertunjukan tayub dalam rangka nyadran di Lamongan. Foto: Dok. Pribadi
Sesepuh dusun memberi sambutan sebelum pertunjukan tayub dalam rangka nyadran di Lamongan. Foto: Dok. Pribadi
Yang menjadi masalah adalah pernyataan tersebut mengkonstruksi wacana ideal yang dilekatkan kepada pertunjukan tayub, sepertihalnya wacana para pujangga keraton mengkonstruksi tayub yang tidak bisa dipisahkan dari tradisi Islam. Seolah ingin mengulangi wacana tersebut, di bagian lain, dijelaskan pula relasi tayuban dengan kekuatan alam dan Tuhan karena pertunjukan ini menjadi bagian penting dari ritual yang dilakukan untuk mendapatkan kesejahteraan hidup (Widyastutieningrum, 2007: 149-150). 

Uniknya, wacana lanjutan yang dibangun malah mengkategorikan tayub ke dalam fungsi samanisme di mana tandhak diposisikan sebagai shaman (semacam perantara dalam ritual sakral) ketika mereka menari dengan gending permulaan Sri Boyong di tempat-tempat yang dikeramatkan dengan maksud mendatangkan ruh Dewi Sri (Widyastutieningrum, 2007: 155-156). 

Hal ini tampak hendak mengurangi kesan profan dari tayuban yang sudah diakui berlangsung sejak zaman kerajaan. Makna-makna negatif oleh rezim Orba diyakini hanya akan mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat desa, sehingga perlu ditertibkan dan diberikan makna-makna baru yang lebih positif. Masalahnya adalah dalam rujukan-rujukan yang lebih tua tidak ditemukan fungsi-fungsi tersebut.

Apakah wacana-wacana tersebut menjadi subjek dari makna keadiluhungan yang disebarluaskan oleh rezim negara? Bisa jadi benar karena  rezim negara Orba juga berkepentingan untuk membangun formasi diskursif Jawa-yang-simbolik di mana makna-makna ideal dalam memandang persoalan dunia tidak bisa dilepaskan dari kekuatan adikodrati yang mengarah kepada makna-makna adiluhung. 

Praktik budaya ideal adalah praktik budaya yang mampu menunjukkan relasi harmonis mikro-makrokosmos, di mana manusia membutuhkan jalan untuk berkomunikasi dengan kekuatan adikodrati di luar nalar mereka. Fungsinya adalah untuk menarawarkan rezim kebenaran ke-Jawa-an yang direpresentasikan dalam tayuban sebagai kekuatan komprehensif. 

Meskipun banyak melahirkan aktivitas profan tetap mengedepankan keharmonisan relasi antara manusia, budaya, dan alam semesta. Nyatanya, sampai sekarang makna tersebut dikatakan masih diyakini oleh masyarakat luas, sehingga terjadi transformasi diskursif makna kesuburan dari masa Orba hingga periode Reformasi.

Beban diskursif untuk menunjukkan keterhubungan tayub dengan kesuburan, pada akhirnya, menggiring banyak peneliti kepada gerak berpasangan antara perempuan (tandhak) dengan lelaki (pengibing) yang seringkali diwarnai dengan gerak erotis. Gerakan mereka merupakan metafor dari “hubungan badan” di mana perempuan menjadi lambang kesuburan yang membutuhkan kehadiran lelaki. 

Makna-makna kesuburan itulah yang (dikatakan) diyakini masyarakat petani akan membawa keberuntungan dan kesejahteraan, sehingga dalam ritual bersih desa mereka menghadirkan tayub. Masalahnya, bagaimana dengan desa-desa yang tidak menggelar pertunjukan tayub dan lebih memilih menggelar pertunjukan wayang kulit atau reog, misalnya? Tentu, saja hal itu tergantung keinginan para ruh pedanyangan yang mbaurekso desa (yang menjaga desa). 

Karena pagelaran kesenian berfungsi sebagai perantara, maka pilihan biasanya tergantung ‘bisikan’ yang disampaikan ruh pendanyangan. Kalau mereka lebih menyukai wayang, maka panitia dan pinisepuh desa akan nanggap wayang. Kalau mereka meminta tayub, maka akan digelar tayub. 

Maka, yang memiliki makna kesuburan, pada dasarnya, bukan pertunjukan keseniannya, tetapi rangkaian ritual bersih desa itu sendiri. Kesenian hanya menjadi perantara atau pemancing agar kekuatan spiritual desa berkenan menyampaikan doa warga kepada Tuhan.

Implikasi lanjut dari makna kesuburan yang dilekatkan pada peran tandhak adalah adanya keinginan untuk berhubungan badan dengan tandhak. Untuk melegitimasi normalisasi hubungan seksual dengan ledhek, sebagian lelaki dikatakan meyakini bahwa hubungan tersebut bisa mendatangkan atau menambah rezeki dari kerja-kerja pertanian (Widyastutieningrum, 2007: 211-212). Pertanyaannya adalah apakah benar keyakinan itu bisa dibuktikan dampak langsungnya dalam kehidupan petani? 

Benar atau tidaknya, sangat tergantung pada konteks pemahaman yang berlangsung dalam masyarakat. Bagi mereka yang masih meyakini residu tantrayana (aliran sempalan dalam Hindu dan Budha), yang meyakini bahwa segala hal yang terlarang dalam kehidupan manusia seperti minum minuman beralkohol dan melakukan seks bebas, apabila melakukan hubungan badan dengan tandak bisa menjadi ritual tertinggi yang bisa menyatukan manusia dengan kekuatan adikodrati (Rabimin, 2010: 225-227). 

Faktanya, tidak semua anggota masyarakat menyepakati hubungan seksual tersebut, terutama mereka yang mulai meyakini kebenaran ajaran-ajaran agama. Ataukah, jangan-jangan mobilisasi keyakinan tersebut hanya menjadi pembenar bagi penyaluran hasrat seksual patriarkal? Bagaimanapun juga, ledhek memiliki pesona seksual yang bisa membangkitkan birahi lelaki yang melihat. Keberhasilan hubungan badan dengan mereka tentu akan membawa kepuasan tersendiri.

Sebenarnya, untuk memperkuat argumentasinya tentang relasi antara tayuban dan kesuburan, para peneliti bisa menggunakan pandangan dunia masyarakat pelaku ritual terkait fungsi ideal tayub dalam persepsi dan perspektif mereka. Tidak menjadi masalah, apalagi keyakinan warga tersebut bisa diperluas untuk kepentingan negosiasi identitas ke-Jawa-an di tengah-tengah gelombang perubahan akibat kuatnya pengaruh modernitas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. 

Mereka sangat sadar bahwa sebagai pertunjukan profan, tayub bisa menerima bentuk-bentuk budaya modern, seperti minuman bir, tetapi mereka tidak ingin penanda identitas ke-Jawa-an tersebut sepenuhnya terlepas dari makna-makna ideal. Dari konstruksi makna kesuburan tersebut, dengan kata lain, masyarakat desa masih ingin menempatkan sesuatu yang bersifat adikodrati di tengah-tengah praktik tayuban yang bersifat profan. 

Pemosisian seperti itu juga bisa menjadi siasat kultural di tengah-tengah keberantaraan di mana tidak semua aktivitas dalam tayuban bisa dikuasai oleh pemaknaan profan. Paling tidak, makna tayub masih ditempatkan pada dunia ideal-tradisional yang menjadi penanda komunal. 

Tayub dan Harapan Ideal dalam Ritual Keluarga

Ritus lingkaran hidup bagi masyarakat etnis Jawa dan etnis lain di Indonesia merupakan peristiwa penting yang menandai fase-fase baru dalam kehidupan seseorang. Tidak mengherankan bila setiap keluarga selalu berusaha untuk menandai peralihan dari satu fase ke fase yang melain dengan menggelar slametan atau hajatan. 

Dari kelahiran, khitanan (bagi anak laki-laki yang sudah menginjak akhil balik), pernikahan, hingga kematian, masyarakat selalu memosisikan slametan sebagai kewajiban. Tentu, perkembangan syiar agama-agama resmi ikut mengkonstruksi pemahaman masyarakat terhadap ritual tersebut. 

Masuknya doa-doa agama resmi dan tambahan ritual yang lebih agamis menjadi warna slametan dalam tradisi Jawa mengalami pergeseran. Meskipun demikian, inti dari semuanya adalah mendoakan pihak-pihak yang menjadi subjek ritual agar mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup sesuai dengan fase masing-masing. 

Mengikuti tradisi pada masa-masa kesultanan, keluarga kaya akan memberikan sentuhan dan warna berbeda dalam hajatan yang mereka gelar. Biasanya mereka akan menggelar pertunjukan, seperti wayang kulit, tayub, dan lain-lain. Semuanya tergantung kesukaan kultural mereka.

Dalam hajatan perkawinan/pernikahan, pertunjukan tayub tidak bisa dilepaskan dari makna kesuburan, keselamatan, dan kesejahteraan. Saya sendiri tidak menemukan literatur yang bisa menjawab secara memuaskan mengapa pertunjukan tayub dalam hajatan pernikahan dilekatkan dengan ketiga makna ideal tersebut. Apa yang kami dapatkan hanyalah tafsir simbolik yang berakar dari ritus kesuburan. Widyastutieningrum (2007: 162) memaparkan tafsirnya dalam konstruksi diskursif berikut.

Tayub pada upacara hajat perkawinan berperan sangat penting untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan pasangan pengantin. Juga terkandung harapan pasangan pengantin yang melaksanakan perkawinan mendapatkan berkah dan akan segera mendapatkan anak. Oleh karena itu, mereka beranggapan perlu menyajikan tayub pada hajat perkawinan yang diselenggarakan....

Pelaksanaan upacara ritual itu ditandai dengan pengantin pria menari tayub bersama joged (tandhak, pen) pada awal pertunjukan. Pertemuan mempelai laki-laki dengan joged melambangkan pertemuan antara lingga dan yoni atau lambang kesuburan....Pandangan masyarakat terhadap makna simbolis itu menyebabkan mereka merasa perlu menyelenggarakan pertunjukan tayub, walaupun biaya yang dikeluarkan cukup besar.

Pernyataan-pernyataan di atas menegaskan adanya pemindahan makna ideal-komunal dari ritual desa/dusun dengan gelar tayub ke dalam makna ideal-personal/keluarga. “Keselamatan”dan “kesejahteraan” yang tidak bisa dilepaskan dari keterikatannya dengan “kesuburan” merupakan tujuan ideal dari dilaksanakannya ritual desa/dusun. Makna kesuburan yang ditandai oleh pertemuan pengantin laki-laki dan tandhak menjadi gerakan simbolis yang memperkuat makna tersebut. 

Masalahnya adalah kalau memang harapan akan kesuburan yang berujung pada lahirnya keturunan dari keluarga baru menjadi konsensus komunal, ternyata gelaran tayub tidak bisa dilaksanakan oleh setiap keluarga yang sedang punya hajatan perkawinan karena besarnya biaya. Artinya, yang mendapatkan keutamaan dari “harapan akan kesuburan” hanyalah keluarga yang memiliki kecukupan biaya, sedangkan mereka yang miskin tentu akan kesulitan.

Besarnya biaya pertunjukan tayub menjadi kunci untuk menemukan kepentingan yang melampaui makna kesuburan itu sendiri. Dalam budaya masyarakat desa dikenal tradisi buwoh (menghadiri undangan sebuah hajatan yang diselenggarakan oleh warga). Sebagai tradisi yang diwarisi secara turun-temurun, selain sebagai bentuk solidaritas antarwarga, buwoh juga memberi keuntungan ekonomis kepada pihak keluarga yang menyelenggarakan hajatan. 

Mereka yang buwoh akan membawa beras (bagi perempuan) dan sejumlah uang (bagi laki-laki). Tradisi ini berupa relasi timbal-balik. Artinya, seorang keluarga yang menggelar hajatan juga pernah buwoh kepada pihak yang mereka undang. Dengan menggelar pertunjukan tayub, pihak keluarga penanggap berharap agar tamu undangan yang datang semakin banyak. 

Kedatangan mereka tentu akan memberikan keuntungan ekonomis tersendiri. Selain itu, pihak laki-laki yang ikut buwoh juga diharapkan mau ikut menari bersama para tandhak, sehingga tuan rumah juga akan mendapatkan masukan dari talam (wadah yang digunakan untuk menampung uang yang diberikan para penayub sebelum mereka menari bersama tandhak). 

Semakin banyaknya tukang beksa yang ikut meramaikan pagelaran berarti semakin banyak pula pemasukan yang diperoleh tuan rumah. Uang yang terkumpul, paling tidak, bisa membantu untuk menutupi biaya pertunjukan. Kenyataan ini menegaskan bahwa di balik doa dan harapan akan kesuburan, kesejahteraan, dan keselamatan bagi calon keluarga baru, pertunjukan tayub juga menyelipkan kepentingan ekonomis.

“Ditata Ben Guyub”

Entah, siapa yang pertama kali melontarkan kepanjangan dari “tayub”, ditata ben guyub. Di wilayah Tuban, Lamongan, dan Bojonegoro, istilah tersebut sangat populer. Di tata berarti gerak tayub yang ditata sedemikian rupa, mengikuti pakem yang sudah disepakati oleh penari dan penayub di sebuah wilayah. 

Selain itu, ditata bisa juga berarti gerakan-gerakan tari tayub yang pada masa sebelum Orde Baru menjurus ke unsur-unsur seksualitas ditertibkan sedemikian rupa oleh para ahli tari yang sudah disewa oleh rezim negara. Tujuan dari usaha penataan dan penertiban tersebut adalah terciptanya ke-guyub-an selama berlangsungnya pertunjukan. 

Terciptanya ketertiban dalam pertunjukan tayub juga berarti semakin sopannya gerak tari dan perilaku para penayub yang pada masa sebelumnya cenderung liar. Kondisi ini berimplikasi pada keamanaan dalam masyarakat. Hiburan yang di-stereotipisasi dekat dengan ekspresi kebebasan dan memunculkan banyak varian kegiatan yang dianggap menyimpang (seperti permainan judi pada setiap pagelaran tayub) ditempatkan sebagai perantara kultural yang bisa menjadi contoh bagi masyarakat. 

Bahwa pertunjukan yang diidentikkan dengan bau alkohol ini, nyatanya, mampu menjadi teladan dalam membina kerukunan dan keamanan masyarakat. Ke-guyub-an menjadi modal sosial yang sangat berharga untuk memperkuat integrasi sosial di antara para penikmat tayub juga anggota masyarakat yang hanya menonton. 

Para penayub yang biasanya berasal dari beberapa desa saling bertegur-sapa di kalangan, sembari menikmati hidangan. Mereka biasanya akan ngobrol hal-hal yang ringan. Momen inilah yang dipandang sebagai praktik terkecil integrasi sosial di mana pertunjukan tayub mempertemukan para penggemar dalam satu desa/dusun atau berbeda desa/dusun.

Terlepas dari makna-makna ketertiban yang bisa mendukung ideologi integrasi rezim Orde Baru, keguyuban dalam pertunjukan tayub, paling tidak, bisa menghindarkan dari tindakan destruktif seperti tawuran antarpemuda. Pada masa 1980-an akhir sampai dengan awal 1990-an, para pemuda antardesa di Lamongan seringkali terlibat tawuran karena persoalan sepele, seperti saling ejek. 

Kebiasaan ini biasanya berlangsung dalam setiap keramaian, khususnya pertunjukan dangdut, pertandingan sepakbola tingkat kecamatan, maupun pertunjukan layar tancap. Kebiasaan tawuran tidak berlangsung dalam pagelaran tayub. Meskipun para pengibing berada dalam pengaruh alkohol dan seringkali terlibat saling gojlok—saling mengejek dengan bercanda, terdapat konvensi bahwa mereka tidak boleh tawuran. 

Kalaupun ada salah satu pengibing yang mengarah ke tindakan yang bisa memancing tawuran, biasanya para pengibing yang lain segera ‘mengamankannya’ agar tidak sampai terjadi tawuran. Artinya, terdapat mekanisme terob yang disepakati sebagai konvensi dan menghindarkan pertunjukan tayub dari peristiwa-peristiwa perkelahian.

TAYUB DAN KEPENTINGAN POLITIS-IDEOLOGIS 

Tayub, nyatanya, sejak kelahirannya selalu berada dalam pusaran dua kutub, kesakralan dan keprofanan. Maka, kita harus mulai jujur dalam memproduksi wacana tentang tayub, bukan lagi sekedar meng-adiluhung-kan kesenian ini. Membicarakan keprofanan bukan berarti menghancurkan kesenian ini, tetapi kita membuka kenyataan kultural yang selama ini di-liyan-kan atas nama proyek besar budaya bangsa yang penuh kepentingan politiko-ideologis rezim negara. 

Dengan demikian, kita akan mengerti bahwa keprofanan bukanlah semata-mata pengaruh negatif produk kebudayaan Barat, tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika budaya Jawa itu sendiri. Hal itu menjadi wajar karena manusia memang menjadi ‘mesin produksi’ berbagai keinginan dan hasrat yang bersifat duniawi, tanpa mengenal batas geografis Barat-Timur. 

Memang, ekspansi industrial produk-produk Barat pada akhirnya ikut mentransformasi keprofanan tayub dalam hal minuman beralkohol; dari tuwak dan arak menjadi bir. Namun, itu semua bisa berlangsung karena dalam tradisi Jawa sendiri juga sudah terbiasa dengan minuman lokal beralkohol.

Apa yang harus dicermati lebih lanjut adalah kenyataan bahwa terdapat kepentingan politiko-ideologis dalam proses pewacanaan kesakralan dan keprofanan dalam pertunjukan tayub. Di masa Mataram Islam dan kolonial, legitimasi terhadap tayub keraton melalui pembedaan gerak tari merupakan alat untuk menempatkan kekuasaan ningrat di atas rakyat jelata yang menikmati tayub dengan karakteristik profan. 

Di masa pascakolonial, keprofanan yang dilahirkan dari pertunjukan tayub sebagaimana yang dituliskan para akademisi menjadi alasan utama rezim negara, khususnya Orde Baru, untuk terus melakukan penertiban tayub, khususnya untuk meminimalisir aspek-aspek seksual dan perjudian serta penekanan kepada aspek-aspek filosofis dan moralitas. 

Target dari pewacanaan “tayub adiluhung” adalah untuk memberikan sentuhan-sentuhan positif yang akan menghindarkan pertunjukan tayub dari stigma sekaligus menjadi ‘agen’ bagi penyemaian budaya bangsa berorientasi integrasi sosial. Itu semua ditujukan bagi terciptanya keamanan dan ketertiban yang menjadi syarat mutlak dari pembangunan nasional sebagai aparatus hegemonik rezim Orde Baru.

DAFTAR BACAAN

Effendy, Bisri & Novi Anoegrajekti. 2004. “Mengangan Dewi Sri Membayang Perempuan”. Dalam Srinthil, Media Perempuan Multikultural, vol. 7.

Foucault, Michel. 2002. Arkeologi Pengetahuan. (Terj. oleh H.M. Mochtar Zoerni). Yogyakarta: Qalam.

Foucault, Michel. 1981. “The Order of Discourse”, Inaugural Lecture at the College de France, 2 Desember 1976, dipublikasikan kembali dalam Robert Young (ed). Untying the Text: A Post-Structuralist Reader. Boston: Routledge & Kegan Paul Ltd.

Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Hall, Stuart. 1997. “The Work of Representation”. Dalam Stuart Hall (ed). Representation, Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University.

Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia (Terj. R.M. Soedarsono). Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Juwariyah, Anik. 2012. “Realitas Sosial dan Kultural Langen Tayub Nganjuk dalam Perspektif Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckman”. Disertasi.  Surabaya: Prodi Ilmu Sosial dan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.

Juwariyah, Anik. 2002. “Gembyangan Waranggana: Keberadaannya Masa Kini di Kabupaten Nganjuk”. Tesis S2. Denpasar: Prodi Kajian Budaya Univ. Udayana. 

Rabimin. 2010. “Makna Kesuburan dalam Tayub”. Dalam Gelar Jurnal Seni Budaya, Vol. 8, No. 2.

Soeharto, Ben. 1999. Tayub: Pertunjukan dan Ritus Kesuburan. Jakarta: MSPI.

Waluyo, Paring. 2012. “Tuak, Tayub, dan Siasat Sindir”. Diunduh dari: http://srinthil.org/68/tuak-tayub-dan-siasat-sindir/, 12 Agustus 2013.

Widyastutieningrum, Sri Rochana. 2007. Tayub di Blora Jawa Tengah: Pertunjukan Ritual Kerakyatan. Surakarta: Pascasarjana ISI Surakarta bekerjasama dengan ISI Surakarta Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun