Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tayub dalam Dua Kutub Wacana: Kesakralan dan Keprofanan

6 Januari 2022   14:37 Diperbarui: 6 Januari 2022   21:46 3848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tukang bekso menikmati bir ditemani para tandhak. Foto: Dok. Pribadi

Mereka sadar bahwa tayub merupakan pertunjukan populer. Ketika model gerakan tari dibiarkan sama antarkelas sosial, maka muncul ketakutan adanya asumsi kesetaraan antara kelas elit dengan kelas rendahan dalam hal selera kultural. Orang-orang dari kelompok ningrat non-keraton ataupun rakyat biasa tidak diperkenankan memasuki “wilayah estetik” yang menjadi hak dari para ningrat keraton. 

Kategorisasi tayub keraton yang menghadirkan teledhek-sinden dan tayub non-keraton yang menghadirkan teledhek/tandhak/ronggeng, dengan demikian, bisa dibaca sebagai politik kultural pihak keraton agar kemurnian kelas mereka dan hirarki sosial tetap terpelihara.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana bentuk pertunjukan tayub yang diselenggarakan di luar keraton? Bagaimana para pujangga keraton Surakarta mengkonstruksinya dalam kitab-kitab yang mereka tulis? Kondisi-kondisi kontekstual seperti apa yang melatarinya? 

Dalam beberapa bagian Serat Centhini (ditulis pada masa pemerintahan Paku Buwana IV [1788-1820] dan Paku Buwana V [1820-1823]) diceritakan pagelaran tayub yang diselenggarakan di rumah beberapa petinggi di luar keraton. Sebagai tari-musikal yang berporos pada figur tandhak/teledhek, tayub digambarkan sebagai pertunjukan yang sangat profan. 

Para tukang beksa memiliki kebebasan untuk memperlakukan para tandhak sesuai dengan kehendak hati mereka; digendong, dicengkram paha dan panggul, serta payudaranya disentuh ketika pengibing memasukkan uang (Widyastutieningrum, 2007: 101-103). 

Pertunjukan tayub menjadi arena untuk melepaskan hasrat-hasrat kelelakian di mana para perempuan tandhak menjadi objek untuk pelampiasan. Didorong motivasi untuk mendapatkan rezeki ekonomi, para tandhak hanya bisa menerima kuasa patriarki yang liar dan sekuler terhadap tubuh mereka di tengah-tengah kegembiraan menari. 

Segala gambaran kelemah-lembutan dan kesopanan bangsa Jawa dihancurkan dalam tarian tayub. Pertunjukan tayub, dengan demikian, menjadi kanal bagi praktik dan wacana keprofanan dalam peradaban Jawa yang dikatakan adiluhung. Serat Centhini, setidaknya, memberikan gambaran betapa keadiluhungan yang dipelihara melalui tradisi, ritual, dan kesenian keraton tidak sepenuhnya merembes ke dalam kehidupan kultural masyarakat di luar keraton. 

Semua konstruksi terkait ke-jawa-an yang dibalut oleh prinsip-prinsip kehalusan, nyatanya, tidak mampu meniadakan praktik dan wacana sekuler yang berkembang dalam masyarakat patriarkal. Menjadi wajar ketika raja dan para pujangga selalu berusaha memformulasi bentuk-bentuk estetika yang berbeda dari selera rakyat kebanyakan. 

Wacana-wacana tentang keliaran tayub yang jauh dari norma kesopanan keraton, menurut kami, menjadi landasan bagi mereka untuk memosisikannya sebagai kekuatan kultural yang harus ditertibkan atau, paling tidak, diinkorporasi dengan gaya tari baru. Selain itu, beberapa pujangga keraton juga berusaha menemukan legitimasi diskursif terkait ketidak-profan-an tayub melalui rekayasa historis awal kelahiran kesenian ini. 

Dalam Serat Sastramiruda (ditulis pada masa Paku Buwana IX, 1861-1893), misalnya, diceritakan bahwa kesenian tayub pada mulanya dikembangkan oleh para santri di Demak. Widyastutieningrum (2007: 98-99) memahami konstruksi ini sebagai usaha untuk melegitimasi kesenian dari pra-Islam ke masa Islam agar dapat diterima oleh masyarakat, khususnya mereka yang menganut agama ini. 

Hal ini menunjukkan ambivalensi sikap pihak keraton terhadap tayub. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, mereka bisa menerima tayub dengan beberapa penyesuaian koreografis dan menolak model tari yang tidak sesuai dengan selera dan gaya keraton. Untuk melegitimasi penerimaan yang sudah disesuaikan tersebut, maka dikonstruksi wacana bahwa tayub dikembangkan oleh para santri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun