Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tayub dalam Dua Kutub Wacana: Kesakralan dan Keprofanan

6 Januari 2022   14:37 Diperbarui: 6 Januari 2022   21:46 3848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tukang bekso menikmati bir ditemani para tandhak. Foto: Dok. Pribadi

Mengapa demikian? Saya menduga hal ini untuk memberi pembenaran terkait tradisi tayub yang berkembang dan digemari di keraton, sehingga tradisi ini tidak dimusuhi oleh para pujangga atau ahli agama Islam, khususnya terkait aspek-aspek sekuler dan profan yang berlangsung dalam pertunjukan. 

Dalam sebuah kebudayaan yang dibangun melalui sekat-sekat selera dan estetika, inkorporasi, transformasi, dan modifikasi tayub ke dalam wacana besar ke-islam-an dan ke-jawa-an keraton menjadi penting untuk memperkuat praktik dan orientasi kultural yang berlangsung di keraton. Di tengah-tengah masyarakat, dalam catatan Holt (2000: 140), para tandhak/ronggeng tidak  dipandang rendah karena keberadaan mereka disakralkan oleh sebuah cerita rakyat yang dilegitimasi dengan makna-makna Islam. 

Sementara pujangga memasukkan cerita sejarah terkait perkembangan tayub di lingkungan santri untuk menjadikannya terterima di keraton, cerita rakyat menggunakan legitimasi wacana Islam untuk memberikan citra positif keberadaan tandhak/ronggeng  di tengah-tengah aktivitas profan mereka, seperti melacur. 

Dalam cerita rakyat itu, menurut catatan Holt (2000: 140-141), dikisahkan seorang pemahat kayu mendapatkan perintah dari Tuhan untuk membuat boneka cantik dan menempatkannya di pinggir jalan yang sepi. Setelah melintasinya, seorang tukang jahit merasa iba dan membuatkan busana sederhana; selembar kain, kain penutup dada, dan kebaya. 

Lalu, tukang emas menghiasi boneka itu dengan cincin, gelang, dan kalung. Sesudah itu, ketiga kriyawan tersebut berpuasa dan berdoa agar boneka itu bisa dikaruniai nyawa kehidupan. Setelah genap 40 hari berpuasa, salah satu dari wali songo (Holt tidak menyebutkan namanya) mendatangi boneka itu dan atas kehendak Tuhan ia hidup. Sang wali mengajak wanita itu mendatangi rumah pemahat. Tukang jahit dan pandai emas telah ada di rumah pemahat setelah diberitahu seekor cicak. 

Menyadari kecantikan wanita itu, ketiga kriyawan itu saling mengklaim karena merasa punya andil. Namun, sang wali meminta mereka untuk mengikuti wanita cantik ini di mana ia menari dan menyanyi dari satu tempat ke tempat lain. Pemahat kayu memainkan rebab, tukang jahit memukul kendang, dan tukang emas menabuh gong, krecek, dan kethuk. Mereka berempat berkeliling hingga sampai Majapahit. Perempuan cantik ini adalah milik umum, bukan milik pribadi. 

Sebagai rezim kebenaran yang mulai mendapatkan subjek pengikut di tanah Jawa, khususnya di wilayah pesisir, Islam mendapatkan pemaknaan bukan hanya dari kalangan ningrat, tetapi juga rakyat biasa yang merasa perlu menegosiasikan dan melegitimasi kekuatan estetika yang bercampur dengan ke-profan-an. 

Ketika makna-makna Islam dilekatkan, maka pertunjukan tayub dan tandhak tetap akan bisa diterima meskipun ajaran agama melarang aktivitas ke-pelacur-an. Paling tidak, keberterimaan terhadap profesi ganda seorang tandhak berlanjut sampai masa pascakolonial, tepatnya era 1980-an. Hal ini lebih disebabkan karena syiar agama Islam yang masih belum terlalu massif dan doktriner karena masih kuatnya tradisi ke-Jawa-an di tengah-tengah masyarakat.  

Penjabaran di atas menegaskan bahwa di era Mataram Islam dan kolonial, masih belum ada wacana (baik yang dibuat oleh pujangga keraton maupun rakyat biasa) tentang kesakralan pertunjukan tayub yang dikaitkan dengan ritual kesuburan. Aspek kesakralan ditempatkan kepada konstruksi historis yang berkaitan dengan perkembangan dakwah Islam di era kerajaan Demak sebagai upaya untuk menginkorporasi kesenian rakyat ini ke dalam jagat keraton. 

Selain itu, keprofanan tayub dibatasi (dalam artian tidak banyak dibicarakan) di dalam kitab-kitab pujangga, karena dianggap akan memberikan citra negatif dan akan mengganggu kemapanan kuasa bangsawan. Keprofanan seakan hanya dilekatkan kepada pertunjukan tayub yang cenderung kasar di tengah-tengah masyarakat biasa. 

Dengan pola diskursif demikian, keutamaan dan keunggulan “estetika istana” akan tetap terjaga, meskipun telah menginkorporasi kesenian rakyat biasa. Meskipun bisa menerima praktik-praktik profan yang dilakukan oleh para tandhak/teledhek/ronggeng, masyarakat juga tidak mau sepenuhnya diam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun