Mereka memformulasi cerita yang syarat makna-makna ke-islam-an. Artinya, stigmatisasi tayub yang profan dilawan secara diskursif dengan menggunakan kekuatan dan legitimasi ke-islam-an itu sendiri yang sebenarnya melarang keberlangsungan praktik ke-pelacur-an.
MENIKMATI "YANG PROFAN", MERAYAKAN "YANG SAKRAL" DI MASA PASCAKOLONIAL
Kegenitan di Awal Kemerdekaan
Pada masa-masa awal kemerdekaan, sangat sulit dilacak tulisan-tulisan terkait pertunjukan tayub. Namun, saya menemukan catatan singkat Cliffort Geertz tentang pertunjukan tayub dalam bukunya Abangan, Priyayi, Santri. Berikut sengaja saya kutipkan agak panjang catatannya ketika mengamati pertunjukan tayub di Mojokuto (Pare, Kediri) pada tahun 1950-an, agar kita mendapatkan gambaran yang lumayan lengkap tentang pertunjukan tayub di masa awal kemerdekaan.
Biasanya ada seorang kledek (hampir selalu seorang pelacur), tetapi dalam tayuban yang meriah bisa ada dua atau tiga orang. Kledek itu menari sejenak, pada permulaannya. Ketika tayuban itu sendiri hampir mulai, tuan rumah menunjuk seorang pramugari (“pemimpin”) pria.
Sekarang merupakan tugas pramugari untuk menunjuk kledek mana yang ia ingin ajak menari. Ia harus pandai mengukur kedudukan orang sebab urutan orang yang ikut serta di dalamnya adalah sangat penting dan tak boleh salah. Dalam pesta perkawinan maka pengantin prialah yang pertama-tama, dalam khitanan tuan rumah.
(Perempuan disisihkan ke belakang dan mereka sama sekali tak menyukai tayuban itu. Organisasi-organisasi perempuan seperti Perwari, perkumpulan utama perempuan-perempuan priyayi, membenci tayuban dan mati-matian menentangnya)
Setelah ini urutan berikutnya harus menurut kedudukan seseorang. Kalau camat berada di sana, jelas ia harus yang pertama, kemudian kepala desa, dan seterusnya; dan pramugari itu harus berhati-hati agar tak menghina siapa pun juga. Pramugari berada di depan dan mulai menari, gaya joget, menawarkan ke arah para tamu, sedang kledek ini mengikutinya sambil membawa baki berisi selendang untuk menari di tangannya. (Geertz, 1983: 401)
Terdapat beberapa konstruksi wacana yang dimunculkan dalam paparan di atas. Pertama, keberaturan struktur pertunjukan tayub pada fase awal menjadi orientasi komunal yang sekaligus menegaskan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Seorang camat dan kepala desa akan mendahului menari, bukannya tamu biasa. Idealisasi terhadap pemertahanan struktur sosial berbasis relasi tinggi-rendah berusaha dipertahankan dalam tayuban.
Kedua, ketenaran tayub di kalangan masyarakat non-keraton, terutama ketika mereka menggelar hajatan keluarga, seperti mantenan (ritual pernikahan) atau sunat (ritual khitan), menunjukkan bahwa tayub masih dianggap sebagai hiburan dalam ritual yang bermakna penting bagi keberlanjutan generasi penerus.
Ketiga, profesi ganda kledek/tandhak yang selain menjadi penari dan penyanyi/penembang juga sekaligus menjadi pelacur; hampir selalu, meskipun tidak selalu. Profesi ganda inilah yang memunculkan pandangan stigmatik terhadap tayuban, khususnya di mata perempuan priyayi, sehingga mereka menentang pertunjukan ini. Juga, di mata para santri, karena ke-pelacur-an merupakan tindakan yang masuk kategori zina besar.
Keempat, adanya pembagian kerja dalam pertunjukan tayub antara pramugari, kledek, dan penabuh gamelan yang menunjukkan 'profesionalitas' dalam kesenian yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Dalam sebuah acara hajatan, tayuban di siang hari sampai selepas Isya’ masih menampakkan keteraturan, meskipun sudah diwarnai dengan minuman beralkohol seperti jenewer, tuwak, dan arak. Adegan tari yang melibatkan tandhak dan pengibing masih relatif terkendali dan teratur; mengikuti pakem-pakem yang ada, meskipun sesekali ada tandhak yang dipangku penayub.
Ketika malam semakin larut, adegan tari menjadi tidak beraturan dan cenderung mengarah ke hal-hal yang bersifat seksual, seperti mencium kledek (Geertz, 1983: 402). Minuman beralkohol dan adegan erotis tak pelak lagi menjadi salah satu penyebab mulai berubahnya pandangan masyarakat terhadap tayub.
Namun, masih ada penyebab lainnya, yakni tradisi jor-joran, saingan antara pengibing/tukang beksa untuk memberi uang kepada para tandhak. Pada masa revolusi kemerdekaan, setiap pengibing memberi uang dalam jumlah yang sama. Selepas kemerdekaan, para penayub berusaha menunjukkan kehebatan mereka dengan memberi uang kepada tandhak melebihi penayub yang lainnya (Geertz, 1983: 403).