Sebuah wacana dominan dikonstruksi oleh banyak pernyataan oleh person-person yang berhak dan diperbolehkan menyatakannya, sehingga akan membentuk sebuah formasi diskursif (Foucault, 2002: 52-58, 72-83; Hall, 1997: 44). Proses pembentukan wacana mensyaratkan proses eksklusi di mana wacana-wacana yang tidak berkaitan atau berpotensi mengancam dilarang, ditolak, dan dinyatakan salah untuk dibicarakan (Foucault, 1981: 52-56).Â
Penyebaran wacana yang melibatkan individu-individu (yang boleh berbicara ataupun yang menulis) dan institusi-institusi yang terkait satu sama lain dalam rentang historis partikular akan membentuk pengetahuan sebagai rezim kebenaran (Hall, 1997: 55-56). Karena mampu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak subjek manusia, kehadiran pengetahuan dikatakan membawa relasi kuasa (Hall, 1997: 49; McHoul & Grace, 1993: 59; Wickman, 2008; Widder 2004: 412).Â
Individu-individu dalam masyarakat, dengan demikian, berada dalam relasi kuasa melalui wacana dan pengetahuan yang menyebar di semua titik—keluarga maupun institusi-institusi lainnya—dengan mengedepankan rasionalitas.Â
Untuk membahas permasalahan dalam tulisan ini, metode pertama yang akan digunakan adalah analisis kritis. Dalam pandangan Foucault (1981: 70), analisis kritis dikerjakan melalui prinsip pembalikan, yakni mencari bentuk-bentuk eksklusi, pembatasan, dan apropriasi, khususnya terkait bagaimana wacana-wacana dibentuk; untuk merespons kebutuhan apa, serta bagaimana mereka dimodifikasi dan diganti atau diubah.Â
Dalam kerangka demikian, saya akan menggunakan data-data primer berupa beberapa referensi terkait tayub sebagai basis untuk mengungkap pembentukan wacana. Analisis akan diarahkan, pertama-tama, kepada bagaimana eksklusi terhadap wacana dan subjek yang bertentangan dengan wacana ideal, hambatan-hambatan untuk mengeksklusi wacana dan subjek tersebut, serta bagaimana ia dimunculkan sebagai praktik yang lebih sesuai.Â
Kedua, melihat bagaimana modifikasi terhadap bentuk-bentuk eksklusi yang disesuaikan atau diubah berdasarkan latar tempat dan waktu serta tingkatan atau peristiwa tertentu di mana mereka dihindarkan, atau tidak harus dilakukan. Ketiga, kebutuhan atau kepentingan apa yang melahirkan praktik diskursif tersebut. Dengan model analisis tersebut, akan diketahui bagaimana kesakralan dan ke-profan-an dibentuk dan dioperasikan dalam wacana tayub sebagai rezim kebenaran.Â
Sementara, untuk menganalisis transformasi dari kesakralan dan ke-profan-an, metode yang akan digunakan adalah analisis genealogis. Menurut Foucault (1981: 70), analisis genealogi diarahkan kepada ranah-ranah tempat wacana dibentuk, norma spesifik yang menyertainya, serta dalam kondisi historis seperti wacana-wacana tersebut muncul, tumbuh, dan bervariasi.Â
Berdasarkan kerangka metode tersebut, analisis akan saya arahkan pada norma-norma spesifik yang dimunculkan dalam masing-masing wacana tersebut serta kondisi historis yang memungkinkan wacana-wacana tersebut hadir/muncul, tumbuh, dan bervariasi dalam pertunjukan tayub dan masyarakat.Â
Untuk analisis genealogis, saya akan membaca transformasi wacana kesakralan dan ke-profan-an dari masing-masing periode historis perkembangan tayub (dari masa kerajaan hingga masa pascareformasi) serta kepentigan kuasa yang melingkupinya. Khusus pada masa pascareformasi, saya juga akan melihat bagaimana transformasi kedua wacana tersebut dalam praktik pertunjukan tayub di tengah-tengah masyarakat yang semakin modern serta tegangan-tegangan kepentingan yang menyertainya.Â
KETIKA TAYUB BELUM (SEPENUHNYA) DIKONSTRUKSI SEBAGAI "YANG SAKRAL"
Selama ini, wacana dominan terkait kelahiran tayub sebagai seni tari-musikal Jawa (Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur) dikatakan berakar dari ritual kesuburan sebagai bentuk penghormatan terhadap Dewi Sri (lihat, Suharto, 1999). Wacana tersebut seakan sudah menjadi kebenaran akademis yang tak terbantahkan.Â