Beban diskursif untuk menunjukkan keterhubungan tayub dengan kesuburan, pada akhirnya, menggiring banyak peneliti kepada gerak berpasangan antara perempuan (tandhak) dengan lelaki (pengibing) yang seringkali diwarnai dengan gerak erotis. Gerakan mereka merupakan metafor dari “hubungan badan” di mana perempuan menjadi lambang kesuburan yang membutuhkan kehadiran lelaki.
Makna-makna kesuburan itulah yang (dikatakan) diyakini masyarakat petani akan membawa keberuntungan dan kesejahteraan, sehingga dalam ritual bersih desa mereka menghadirkan tayub. Masalahnya, bagaimana dengan desa-desa yang tidak menggelar pertunjukan tayub dan lebih memilih menggelar pertunjukan wayang kulit atau reog, misalnya? Tentu, saja hal itu tergantung keinginan para ruh pedanyangan yang mbaurekso desa (yang menjaga desa).
Karena pagelaran kesenian berfungsi sebagai perantara, maka pilihan biasanya tergantung ‘bisikan’ yang disampaikan ruh pendanyangan. Kalau mereka lebih menyukai wayang, maka panitia dan pinisepuh desa akan nanggap wayang. Kalau mereka meminta tayub, maka akan digelar tayub.
Maka, yang memiliki makna kesuburan, pada dasarnya, bukan pertunjukan keseniannya, tetapi rangkaian ritual bersih desa itu sendiri. Kesenian hanya menjadi perantara atau pemancing agar kekuatan spiritual desa berkenan menyampaikan doa warga kepada Tuhan.
Implikasi lanjut dari makna kesuburan yang dilekatkan pada peran tandhak adalah adanya keinginan untuk berhubungan badan dengan tandhak. Untuk melegitimasi normalisasi hubungan seksual dengan ledhek, sebagian lelaki dikatakan meyakini bahwa hubungan tersebut bisa mendatangkan atau menambah rezeki dari kerja-kerja pertanian (Widyastutieningrum, 2007: 211-212). Pertanyaannya adalah apakah benar keyakinan itu bisa dibuktikan dampak langsungnya dalam kehidupan petani?
Benar atau tidaknya, sangat tergantung pada konteks pemahaman yang berlangsung dalam masyarakat. Bagi mereka yang masih meyakini residu tantrayana (aliran sempalan dalam Hindu dan Budha), yang meyakini bahwa segala hal yang terlarang dalam kehidupan manusia seperti minum minuman beralkohol dan melakukan seks bebas, apabila melakukan hubungan badan dengan tandak bisa menjadi ritual tertinggi yang bisa menyatukan manusia dengan kekuatan adikodrati (Rabimin, 2010: 225-227).
Faktanya, tidak semua anggota masyarakat menyepakati hubungan seksual tersebut, terutama mereka yang mulai meyakini kebenaran ajaran-ajaran agama. Ataukah, jangan-jangan mobilisasi keyakinan tersebut hanya menjadi pembenar bagi penyaluran hasrat seksual patriarkal? Bagaimanapun juga, ledhek memiliki pesona seksual yang bisa membangkitkan birahi lelaki yang melihat. Keberhasilan hubungan badan dengan mereka tentu akan membawa kepuasan tersendiri.
Sebenarnya, untuk memperkuat argumentasinya tentang relasi antara tayuban dan kesuburan, para peneliti bisa menggunakan pandangan dunia masyarakat pelaku ritual terkait fungsi ideal tayub dalam persepsi dan perspektif mereka. Tidak menjadi masalah, apalagi keyakinan warga tersebut bisa diperluas untuk kepentingan negosiasi identitas ke-Jawa-an di tengah-tengah gelombang perubahan akibat kuatnya pengaruh modernitas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Mereka sangat sadar bahwa sebagai pertunjukan profan, tayub bisa menerima bentuk-bentuk budaya modern, seperti minuman bir, tetapi mereka tidak ingin penanda identitas ke-Jawa-an tersebut sepenuhnya terlepas dari makna-makna ideal. Dari konstruksi makna kesuburan tersebut, dengan kata lain, masyarakat desa masih ingin menempatkan sesuatu yang bersifat adikodrati di tengah-tengah praktik tayuban yang bersifat profan.
Pemosisian seperti itu juga bisa menjadi siasat kultural di tengah-tengah keberantaraan di mana tidak semua aktivitas dalam tayuban bisa dikuasai oleh pemaknaan profan. Paling tidak, makna tayub masih ditempatkan pada dunia ideal-tradisional yang menjadi penanda komunal.
Tayub dan Harapan Ideal dalam Ritual Keluarga