Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tayub dalam Dua Kutub Wacana: Kesakralan dan Keprofanan

6 Januari 2022   14:37 Diperbarui: 6 Januari 2022   21:46 3848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pengibing dan waranggono di Tuban. Foto: Dok. Dinas Pariwisata Tuban

Gerakan-gerakan berpasangan antara tandhak/teledhek/ronggeng/sindir dengan penari lelaki yang cenderung menggambarkan gerakan seksual menjadi argumen pembenar dari makna simbolik kesuburan, sebagaimana yang dilekatkan pula pada tari gandrung dan gambyong (Effendy & Anoegrajekti, 2004: 17-18). 

Namun, apakah benar tayub berasal dari ritual kesuburan atau sejak awal kelahirannya mengandung makna kesuburan? Alih-alih memilih jawaban “benar” atau “salah”, saya memilih untuk menelusuri-kembali kelahiran tayub dari literatur-literatur terdahulu. Dari lacakannya terhadap salah satu relief di Candi Borobudur Jawa Tengah, Holt (2000: 137-138) menuturkan adanya tari berpasangan yang dimainkan oleh empat pasang penari, masing-masing perempuan dan lelaki. 

Mengikuti lantunan musik yang terdiri gambang (silofon bambu) dan dua alat lainnya, mereka memperagakan tarian yang sangat mirip dengan gerakan tari tayub/tandhakan. Sebagai teks-visual tertua yang bisa dirujuk, gambar tari berpasangan di Borobudur ini oleh Holt sama sekali tidak dikaitkan dengan ritual kesuburan ataupun pemujaan terhadap Dewi Sri. 

Hal itu tidak berarti ia tidak bersepakat dengan wacana umum bahwa tayub berasal dari ritual kesuburan yang sudah berusia sangat lama; sejak ada kehidupan manusia di muka bumi. Ia lebih mendasarkan pada bukti-bukti visual dan komparasinya pada masa kontemporer di mana gerakan tayub mirip dengan gerakan tari dalam relief tersebut. 

Sangat jelas bahwa ia mengedepankan pembacaan terhadap sumber tertua yang bisa dilacak di wilayah Jawa, sehingga tidak gegabah mengkonstruksi wacana asal-muasal hanya berdasarkan dalil umum. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa Holt tidak ingin sekedar mengamini dan mengulangi pembenaran yang dikatakan lazim di kalangan peneliti di mana asal-usul semua tarian sejenis yang ada di muka bumi berasal dari ritual kesuburan.

Ketika pusat kerajaan Jawa berpindah ke Jawa Timur, khususnya Majapahit, pertunjukan (yang menyerupai) tayub pun belum sepenuhnya bermakna sakral. Pertunjukan ini dilakukan untuk menyanjung kebesaran raja seusai masa panen.

Kita memiliki kesaksian dari kehadiran seorang gadis yang sangat mirip dengan teledhek pesinden di istana Majapahit di Jawa Timur dari abad ke-14. Penampilannya digambarkan dalam dua stanza dari Nagarakrtagama. Selama tujuh hari perayaan yang diselenggarakan setelah panen untuk menyanjung kebesaran raja dan istananya sebagai pusat dari kemakmuran negara, seorang penari wanita yang disebut I Angin tampil di atas arena dengan diiringi oleh seorang atau dua orang buyut....

Juru I Angin menyanyi ketika ia menari, rupanya dengan nada humor, karena kata-katanya serta tingkahnya menyebabkan ketawa. Dalam nyanyiannya ia menyinggung untuk memilih pasangan.... Setelah tariannya selesai, Juru I Angin dilimpahi pemberian-pemberian busana, dan setelah itu diundang pada ‘Kehadiran Raja’ untuk minum minuman keras menemani beberapa orang terkemuka. (Holt, 2000: 144)

Kalau penjelasan dalam Negarakrtagama terkait Juru I Angin kita posisikan sebagai wacana, maka tayub dikonstruksi sebagai karya yang berada pada batas antara yang bersifat ritual dan profan. Sebagai kesenian yang terintegrasi dengan “tujuh hari perayaan” pasca-panen, kesenian ini menjadi ekspresi yang mengiringi ritual yang penuh kegembiraan. 

Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari penyanjungan terhadap kebesaran raja sebagai titisan dewa yang diyakini memberikan kemakmuran bagi penduduk Majapahit. Namun, kitab ini juga tidak mengingkari adanya praktik profan berupa undangan raja kepada Juru I Angin untuk menikmati minuman beralkohol bersama para pembesar istana. Praktik ini—minum minuman beralkohol—adalah tradisi yang biasa pada waktu itu. 

Meskipun demikian, posisi sentral Juru I Angin dalam perayaan tersebut oleh Pigeud ditafsir sebagai kehadiran makna kesakralan/kesuburan (Holt, 2000: 144). Ia mungkin diposisikan sebagai seorang dewi setempat yang dekat kepada Dewi Angin-Angin. Ia bisa jadi menjadi lambang dari “angin musim barat” yang mendatangkan hujan, sehingga dimaknai sebagai dewi kesuburan.

Pelekatan makna sakral oleh Piegeud bukanlah dimaksudkan untuk merujuk pada gerakan tari dan tembang yang dilakukan oleh Juru I Angin, tetapi lebih kepada tafsir atas makna simbolik nama “Angin” yang sangat terkenal dalam tradisi lisan Jawa. Tradisi agraris di Majapahit yang mengandalkan datangnya hujan yang dibawa “angin musim barat”, menurut saya, menjadi dasar dari tafsir yang ia buat. 

Dengan mengusung wacana kesuburan tersebut, Pigeud, pada dasarnya, meletakkan fondasi awal dalam memahami tayub maupun seni-seni tari lain dalam masyarakat Jawa. Implikasinya, kesakralan menjadi wacana dominan yang membatasi tafsir terhadap ke-profan-an yang menjadi karakter pertunjukan tayub. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun