Suripan Sadi Hutomo ((dikutip dalam Widyastutieningrum, 2007: 126), misalnya, sampai membuat karakterisasi tayub sebagai kesenian yang kasar. Kasarnya tayub ditandai oleh tindakan tukang beksa yang minum minuman keras hingga mabuk, mencium pipi ledhek/tandhak di depan umum tanpa malu.
Selain itu, mereka juga memasukkan uang ke dalam kemben ledhek atau memberikan saweran atau uang tombok dengan cara suwelan atau seselan, memasukkan melalui kain penutup payudara. Pengibing memangku tandhak sembari menciuminya. Selain itu, tandhak memberi lirikan mata yang sangat menggairahkan nafsu seks tukang beksa.
Untuk lebih menarik, ledhek memperlihatkan betisnya sedemikian rupa sehingga memancing hawa nafsu seks pengibing dan penonton. Tidak jarang terjadi perkelahian antarpengibing. Dan, yang lebih memprihatinkan, ledhek seringkali merangkap sebagai wanita tuna susila.
Terlepas dari wacana-wacana stereotip yang ditulis para akademisi, pertunjukan tayub pada era 1970-an sangatlah meriah. Khamit, 59 tahun, warga Dusun Sambiroto, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan, yang menyaksikan dan mengalami perkembangan tayub pada era 1970-an sampai 1990-an menuturkan:
“Waktu masih perjaka, saya bekerja menjadi tukang corong (pengeras suara) yang digunakan untuk pertunjukan tandhakan (tayub) dan wayang. Meskipun pertunjukannya diadakan dengan terob yang sangat sederhana (biasanya tuan rumah membuat sendiri dengan bahan bambu dan sesek [anyaman bambu]), tandhakannya sangat ramai.
Warga desa berduyun-duyun menonton, laki-laki maupun perempuan, anak kecil sampai orang dewasa. Maklum, waktu itu hiburan belum banyak. Dandanan para tandhaknya juga sederhana, karena belum ada kosmetik macam-macam kayak sekarang. Mereka mengenakan jarik dan penutup dada.
Kepandaian untuk menari dan nembang menjadi ukuran ketenaran seorang tandhak, di samping kecantikan. Para tukang beksa juga tidak neko-neko, paling-paling menari bersama tandhak dan minum tuwak. Nyawernya juga ndak banyak. Maklum, waktu itu zaman masih susah, mereka bergantung pada hasil panen. Kalau panennya bagus, nyawernya agak banyak.”
Tuturan Khamit di atas menegaskan bahwa hanya dengan menggunakan teknologi pengeras suara sederhana (corong) yang dijalankan dengan tenaga accu, pertunjukan tayub sudah bisa menyedot perhatian penonton. Tayub benar-benar menjadi hiburan warga desa dari semua generasi. Lenggak-lenggok dan suara merdu para tandhak menjadikan warga desa terhibur.
Seringkali terjadi, seorang pengibing atau penonton jatuh hati kepada tandhak yang pandai menari dan nembang serta memiliki wajah lumayan. Demikian pula para pengibing yang dengan saweran seadanya bisa menari bersama para tandhak, menghilangkan sejenak beban hidup, sambil menikmati tuwak Tuban.
Mereka juga bisa memasukkan uang saweran ke dalam kain penutup payudara tandhak. Perihal tradisi menenggak minuman beralkohol dalam pertunjukan tayub sudah dianggap yang lumrah oleh para penggila tayub dan warga masyarakat, asalkan tidak sampai mabuk dan berbuat hal-hal yang anarkis sifatnya.
Keamanan, ketertiban, dan kerukunan merupakan wacana-wacana ideologis yang digerakkan oleh rezim Orba, dari pusat hingga daerah, melalui jalur pendidikan formal maupun informal. Hal itu sejalan dengan semakin gencarnya dakwah Islam yang berusaha memberantas malima, yakni (1) madon (berhubungan badan dengan pelacur atau perempuan lain di luar ikatan pernikahan yang sah); (2) main (judi); (3) maling (mencuri); (4) madhat (mengkonsumsi candhu); dan (5) mabuk (minum minuman beralkohol).
Dari kelima larangan tersebut, tiga di antaranya ada dalam pertunjukan tayub, yakni madon, main, dan mabuk. Apabila aspek-aspek tersebut dibiarkan, tentu saja, rezim negara khawatir akan memancing konflik horisontal dengan para ulama maupun warga yang mulai mengerti ajaran Islam.
Kekhawatiran munculnya disintegrasi antarelemen masyarakat sebagai akibat pembiaran terhadap pertunjukan tayub itulah yang mendorong pemerintah Orba melakukan penataan dan penertiban pertunjukan tayub pada era 1980-an. Wacana-wacana tentang tayub sebagai kesenian yang kasar dan liar (sebagaimana dikonstruksi oleh para akademisi) menjadi landasan diskursif untuk menertibkannya.
Di daerah-daerah basis tayub, seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, pemerintah menyelenggarakan penataran dan pelatihan bagi para seniman tayub, khususnya tandhak, pramugari, dan juragan paguyuban. Tujuan dari penataran dan pelatihan tersebut adalah mengurangi adegan-adegan erotis dalam pertunjukan tayub serta merekonstruksi gerak tari tayub yang bisa menghindarkan kontak langsung antara tandhak dan pengibing.