Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tayub dalam Dua Kutub Wacana: Kesakralan dan Keprofanan

6 Januari 2022   14:37 Diperbarui: 6 Januari 2022   21:46 3848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pengibing dan waranggono di Tuban. Foto: Dok. Dinas Pariwisata Tuban

Ritus lingkaran hidup bagi masyarakat etnis Jawa dan etnis lain di Indonesia merupakan peristiwa penting yang menandai fase-fase baru dalam kehidupan seseorang. Tidak mengherankan bila setiap keluarga selalu berusaha untuk menandai peralihan dari satu fase ke fase yang melain dengan menggelar slametan atau hajatan. 

Dari kelahiran, khitanan (bagi anak laki-laki yang sudah menginjak akhil balik), pernikahan, hingga kematian, masyarakat selalu memosisikan slametan sebagai kewajiban. Tentu, perkembangan syiar agama-agama resmi ikut mengkonstruksi pemahaman masyarakat terhadap ritual tersebut. 

Masuknya doa-doa agama resmi dan tambahan ritual yang lebih agamis menjadi warna slametan dalam tradisi Jawa mengalami pergeseran. Meskipun demikian, inti dari semuanya adalah mendoakan pihak-pihak yang menjadi subjek ritual agar mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup sesuai dengan fase masing-masing. 

Mengikuti tradisi pada masa-masa kesultanan, keluarga kaya akan memberikan sentuhan dan warna berbeda dalam hajatan yang mereka gelar. Biasanya mereka akan menggelar pertunjukan, seperti wayang kulit, tayub, dan lain-lain. Semuanya tergantung kesukaan kultural mereka.

Dalam hajatan perkawinan/pernikahan, pertunjukan tayub tidak bisa dilepaskan dari makna kesuburan, keselamatan, dan kesejahteraan. Saya sendiri tidak menemukan literatur yang bisa menjawab secara memuaskan mengapa pertunjukan tayub dalam hajatan pernikahan dilekatkan dengan ketiga makna ideal tersebut. Apa yang kami dapatkan hanyalah tafsir simbolik yang berakar dari ritus kesuburan. Widyastutieningrum (2007: 162) memaparkan tafsirnya dalam konstruksi diskursif berikut.

Tayub pada upacara hajat perkawinan berperan sangat penting untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan pasangan pengantin. Juga terkandung harapan pasangan pengantin yang melaksanakan perkawinan mendapatkan berkah dan akan segera mendapatkan anak. Oleh karena itu, mereka beranggapan perlu menyajikan tayub pada hajat perkawinan yang diselenggarakan....

Pelaksanaan upacara ritual itu ditandai dengan pengantin pria menari tayub bersama joged (tandhak, pen) pada awal pertunjukan. Pertemuan mempelai laki-laki dengan joged melambangkan pertemuan antara lingga dan yoni atau lambang kesuburan....Pandangan masyarakat terhadap makna simbolis itu menyebabkan mereka merasa perlu menyelenggarakan pertunjukan tayub, walaupun biaya yang dikeluarkan cukup besar.

Pernyataan-pernyataan di atas menegaskan adanya pemindahan makna ideal-komunal dari ritual desa/dusun dengan gelar tayub ke dalam makna ideal-personal/keluarga. “Keselamatan”dan “kesejahteraan” yang tidak bisa dilepaskan dari keterikatannya dengan “kesuburan” merupakan tujuan ideal dari dilaksanakannya ritual desa/dusun. Makna kesuburan yang ditandai oleh pertemuan pengantin laki-laki dan tandhak menjadi gerakan simbolis yang memperkuat makna tersebut. 

Masalahnya adalah kalau memang harapan akan kesuburan yang berujung pada lahirnya keturunan dari keluarga baru menjadi konsensus komunal, ternyata gelaran tayub tidak bisa dilaksanakan oleh setiap keluarga yang sedang punya hajatan perkawinan karena besarnya biaya. Artinya, yang mendapatkan keutamaan dari “harapan akan kesuburan” hanyalah keluarga yang memiliki kecukupan biaya, sedangkan mereka yang miskin tentu akan kesulitan.

Besarnya biaya pertunjukan tayub menjadi kunci untuk menemukan kepentingan yang melampaui makna kesuburan itu sendiri. Dalam budaya masyarakat desa dikenal tradisi buwoh (menghadiri undangan sebuah hajatan yang diselenggarakan oleh warga). Sebagai tradisi yang diwarisi secara turun-temurun, selain sebagai bentuk solidaritas antarwarga, buwoh juga memberi keuntungan ekonomis kepada pihak keluarga yang menyelenggarakan hajatan. 

Mereka yang buwoh akan membawa beras (bagi perempuan) dan sejumlah uang (bagi laki-laki). Tradisi ini berupa relasi timbal-balik. Artinya, seorang keluarga yang menggelar hajatan juga pernah buwoh kepada pihak yang mereka undang. Dengan menggelar pertunjukan tayub, pihak keluarga penanggap berharap agar tamu undangan yang datang semakin banyak. 

Kedatangan mereka tentu akan memberikan keuntungan ekonomis tersendiri. Selain itu, pihak laki-laki yang ikut buwoh juga diharapkan mau ikut menari bersama para tandhak, sehingga tuan rumah juga akan mendapatkan masukan dari talam (wadah yang digunakan untuk menampung uang yang diberikan para penayub sebelum mereka menari bersama tandhak). 

Semakin banyaknya tukang beksa yang ikut meramaikan pagelaran berarti semakin banyak pula pemasukan yang diperoleh tuan rumah. Uang yang terkumpul, paling tidak, bisa membantu untuk menutupi biaya pertunjukan. Kenyataan ini menegaskan bahwa di balik doa dan harapan akan kesuburan, kesejahteraan, dan keselamatan bagi calon keluarga baru, pertunjukan tayub juga menyelipkan kepentingan ekonomis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun