Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tayub dalam Dua Kutub Wacana: Kesakralan dan Keprofanan

6 Januari 2022   14:37 Diperbarui: 6 Januari 2022   21:46 3848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesepuh dusun memberi sambutan sebelum pertunjukan tayub dalam rangka nyadran di Lamongan. Foto: Dok. Pribadi

Dengan demikian, kita akan mengerti bahwa keprofanan bukanlah semata-mata pengaruh negatif produk kebudayaan Barat, tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika budaya Jawa itu sendiri. Hal itu menjadi wajar karena manusia memang menjadi ‘mesin produksi’ berbagai keinginan dan hasrat yang bersifat duniawi, tanpa mengenal batas geografis Barat-Timur. 

Memang, ekspansi industrial produk-produk Barat pada akhirnya ikut mentransformasi keprofanan tayub dalam hal minuman beralkohol; dari tuwak dan arak menjadi bir. Namun, itu semua bisa berlangsung karena dalam tradisi Jawa sendiri juga sudah terbiasa dengan minuman lokal beralkohol.

Apa yang harus dicermati lebih lanjut adalah kenyataan bahwa terdapat kepentingan politiko-ideologis dalam proses pewacanaan kesakralan dan keprofanan dalam pertunjukan tayub. Di masa Mataram Islam dan kolonial, legitimasi terhadap tayub keraton melalui pembedaan gerak tari merupakan alat untuk menempatkan kekuasaan ningrat di atas rakyat jelata yang menikmati tayub dengan karakteristik profan. 

Di masa pascakolonial, keprofanan yang dilahirkan dari pertunjukan tayub sebagaimana yang dituliskan para akademisi menjadi alasan utama rezim negara, khususnya Orde Baru, untuk terus melakukan penertiban tayub, khususnya untuk meminimalisir aspek-aspek seksual dan perjudian serta penekanan kepada aspek-aspek filosofis dan moralitas. 

Target dari pewacanaan “tayub adiluhung” adalah untuk memberikan sentuhan-sentuhan positif yang akan menghindarkan pertunjukan tayub dari stigma sekaligus menjadi ‘agen’ bagi penyemaian budaya bangsa berorientasi integrasi sosial. Itu semua ditujukan bagi terciptanya keamanan dan ketertiban yang menjadi syarat mutlak dari pembangunan nasional sebagai aparatus hegemonik rezim Orde Baru.

DAFTAR BACAAN

Effendy, Bisri & Novi Anoegrajekti. 2004. “Mengangan Dewi Sri Membayang Perempuan”. Dalam Srinthil, Media Perempuan Multikultural, vol. 7.

Foucault, Michel. 2002. Arkeologi Pengetahuan. (Terj. oleh H.M. Mochtar Zoerni). Yogyakarta: Qalam.

Foucault, Michel. 1981. “The Order of Discourse”, Inaugural Lecture at the College de France, 2 Desember 1976, dipublikasikan kembali dalam Robert Young (ed). Untying the Text: A Post-Structuralist Reader. Boston: Routledge & Kegan Paul Ltd.

Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Hall, Stuart. 1997. “The Work of Representation”. Dalam Stuart Hall (ed). Representation, Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun