Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tayub dalam Dua Kutub Wacana: Kesakralan dan Keprofanan

6 Januari 2022   14:37 Diperbarui: 6 Januari 2022   21:46 3848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesepuh dusun memberi sambutan sebelum pertunjukan tayub dalam rangka nyadran di Lamongan. Foto: Dok. Pribadi

Meskipun pada awalnya banyak seniman dan pengibing yang menolak karena dianggap akan menghilangkan karakteristik tayub sebagai tari pergaulan beraroma kebebasan, mereka, pada akhirnya, harus mau menuruti peraturan pemerintah. Memang, tidak semua peraturan tersebut ditaati. 

Kebiasaan minum minuman beralkohol tetap berlanjut. Bahkan, di beberapa kabupaten, seperti Lamongan, para pengibing mulai menenggak bir selain tuwak dan arak. Dengan adanya peraturan dan perubahan gerak tari itulah, pertunjukan tayub menjadi lebih tertib; tidak ada lagi adegan-adegan erotis yang melibatkan tandhak dan pengibing di kalangan, arena tempat berlangsungnya pertunjukan.

Kepatuhan para seniman tayub, khususnya para tandhak/sindir (dalam istilah masyarakat Tuban), terhadap aktivitas penertiban ini sekilas memang menampakkan ketidakberdayaan mereka terhadap kehendak dan kekuasaan rezim negara. Paring Waluyo (2012), merefleksikan penertiban tayub yang dilakukan rezim Orde Baru sebagai berikut. 

...di tahun 80-an, pemerintah daerah, seperti Tuban, Nganjuk, Bojonegoro memberlakukan pelarangan bagi para pengibing untuk memasukkan saweran ke pakaian dalam sindir. Bahkan, predikat sindir dihaluskan oleh pemerintah, melalui pembinaan dan penataran yang diberlakukan kepada para sindir. Dinas Pariwisata Kabupaten Tuban mengenalkan istilah waranggono sebagai pengganti istilah sindir. 

Untuk menjadi waranggono, Dinas Pariwisata memberlakukan kewajiban calon waranggono untuk mengikuti penataran, yang ditutup dengan wisuda. Pasca wisuda para waranggono mendapatkan sertifikat lisensi dari pemerintah, bahwa yang bersangkutan berhak untuk menjalani profesi waranggono. Di beberapa daerah, menjadi pemandangan seragam bahwa pemerintah setempat mengatur tubuh sindir di arena tayuban.  

Pelarangan memasukkan uang saweran melalui kemben penutup dada tandhak/sindir, penggantian istilah sindir dengan waranggono, kewajiban mengikuti penataran, dan sertifikat lisensi untuk menjadi waranggono merupakan usaha rezim negara untuk membatasi keliaran atraksi pagelaran tayuban serta melakukan standardisasi kemampuan estetik yang berujung pada kepatuhan dan ketertundukan mereka dalam kuasa negara. 

Penyematan istilah “waranggono” merupakan usaha untuk lebih melekatkan makna positif dibandingkan sindir. Waranggono merupakan istilah yang berasal dari tradisi Mataraman yang merujuk pada penyanyi gending-gending Jawa, khususnya untuk karawitan. 

Sementara, istilah sindir lebih bernuansa Tuban dan merakyat. Sindir sendiri berarti penari sekaligus penembang/penyanyi yang diidentikkan dengan makna kasar. Dengan menggunakan istilah waranggono, pemerintah Kabupaten Tuban berusaha mengkonstruksi makna dan wacana yang lebih bermartabat dan lebih halus. 

Di balik penertiban dan standardisasi estetika tersebut, kita bisa membaca adanya kekhawatiran berlebihan rezim negara terhadap kesenian rakyat paling populer di Tuban. Sekali, ideologi ketertiban dan integrasi sosial mendorong lahirnya penertiban tersebut karena rezim negara di tingkat daerah tidak ingin pertunjukan-pertunjukan rakyat terus berlangsung dalam keliaran. Mengapa? 

Alasan normatifnya, karena rezim tidak ingin melihat kekisruhan yang akan berujung pada kekacauan sosial yang bisa menciptakan ketidakamanan dan mengganggu pembangunan nasional; sebuah alasan yang sangat berlebihan. Menurut kami, masih ada alasan lain, yakni rezim negara berusaha menghindari kritik pedas dari tokoh-tokoh agama, khususnya Islam, yang sudah mulai menanamkan pengaruh mereka secara massif di wilayah pedesaan setelah tragedi 1965. 

Kritik kekuatan Islam sebagai mayoritas yang ikut berkontribusi pada pemberantasan orang-orang PKI atau “yang di-PKI-kan” tentu bisa menjadi wacana untuk mendelegitimasi kekuasaan negara yang tengah membutuhkan dukungan konsensual segala kekuatan ideologis di masyarakat, kecuali kekuatan ideologis Kiri. 

Ketidakberanian para pelaku tayub untuk melawan kebijakan negara memang menunjukkan ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi kuasa represif-militeristik rezim. Namun, dari kacamata masa kini, hal itu juga bisa dibaca sebagai siasat untuk tetap bisa survive

Para pengibing dan waranggono di Tuban. Foto: Dok. Dinas Pariwisata Tuban
Para pengibing dan waranggono di Tuban. Foto: Dok. Dinas Pariwisata Tuban
Menurut Bambang Setyono, budayawan Tuban, regulasi terhadap sindir dipandangnya sebagai negosiasi kalangan sindir. Pengaturan itu seperti menjadi bukti betapa kuat dan dominannya Negara Orde Baru di semua lini kehidupan (Waluyo, 2012). Kalangan kampus yang terdidik saja bisa diatur oleh Orde Baru, apalagi ini kalangan perempuan yang berpendidikan rendah, yang menjadi sindir, dan mencari nafkah hidup di arena tayuban. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun