Selain itu, DKK juga memutuskan untuk 'menggarap' penonton dari mahasiswa Fakultas Sastra dan sekitarnya di sektor 'selatan', seperti Fakultas Ekonomi, FISIP, dan Fakultas Hukum. Apakah ini sebuah "kompromi"? Pada waktu itu saya lebih memilih istilah "strategi untuk mendekati penonton".Â
Saya dan kawan-kawan di DKK meyakini bahwa penonton teater perlu "dibentuk", dalam artian diperlukan strategi dan siasat yang didesain sedemikian rupa untuk menjadikan penonton umum/awam datang ke pertunjukan teater, melampaui bayangan mereka sebelumnya.Â
Strategi itulah yang kemudian menjadi acuan bagi proses kreatif teater di DKK pada era 1999, setahun setelah gerakan Reformasi menumbangkan kekuasaan otoriter Suharto. Juga, masih diterapkan pada awal era 2000-an. Memang, ada selentingan sinis dari beberapa penggiat teater bahwa apa kompromi itu merupakan bentuk kekalahan atau ketertundukan terhadap kehendak penonton dan bisa membatasi eksplorasi teater.
Kritik tersebut bagi saya merupakan 'teman dialog' untuk semakin memperkuat pilihan kreatif dalam berteater tanpa harus kehilangan nalar kritis yang diwujudkan dalam pertunjukan. Kedewasaan dalam menyikapi kritik merupakan modal untuk terus berkembang.
Tahun 1999, DKK mempersembahkan Wabah, disutradari Gatot "Kuplek" Wijanarko. Menggabungkan anggota baru dan anggota lama DKK, lakon ini mengusung gaya pertunjukan komedi yang bertutur ekspansi makluk planet asing ke sebuah negeri. Semua orang, dari pejabat, jendral, hingga rakyat biasa, kebingungan menghadapi wabah yang disebarkan oleh ketiga makhluk planet tersebut.Â
Ini menjadi gambaran betapa Republik ini, meskipun sudah terbebas dari cengrakaman rezim Orde, masih saja akan mengalami ancaman-ancaman dari pihak eksternal yang setiap saat bisa masuk ke dalam sistem kenegaraan dan ideologi bangsa. Wabah merupakan sesuatu yang bersifat massif sehingga ia bisa dijadikan penanda bagi bermacam ancaman yang kehadirannya bisa mengganggu atau bahkan menghancurkan kekuatan bangsa ini.Â
Jumlah penonton pertunjukan ini pun cukup banyak, Aula Fakultas Sastra UNEJ penuh. Keragaman penonton benar-benar tercipta, bukan hanya mahasiswa Fakultas Sastra, sehingga target untuk membentuk penonton baru yang bukan hanya terdiri dari penggiat teater bisa tercapai.Â
Pada tahun 2000, DKK menghadirkan teater bergaya realis berbalut aspek komedi, Genderang Satu Terompet yang, lagi-lagi, disutradari Gatot "Kuplek" WIjanarko. Pada gelaran ini, pertama kali DKK menjual tiket berupa sticker seharga Rp. 500 dan lebih dari 100 tiket terjual.Â
Genderang bercerita tentang komunitas gelandangan di kota besar yang harus menghadapi pengawasan dan penertiban dari aparat. Mereka berhadapan dengan kuasa negara. Ternyata di dalam komunitas itu sendiri juga terdapat kekuasaan internal. Terdapat pemimpin yang mengatur dan mengendalikan para anggota komunitas gelandang. Kondisi ini mengingatkan bahwa kekuasaan itu menyebar dan ada di mana-mana.Â
Artinya, ketika kekuasaan rezim negara sudah menyebar dan mempengaruhi masyarakat, pada saat itulah akan muncul duplikasi mekanisme dan relasi kuasa di tengah-tengah mereka. Dalam forum apresiasi, para apresiator juga lebih banyak mengupas wacana kekuasaan-kekuasaan yang sangat beragam dalam masyarakat. Jadi, meskipun dalam lingkup yang kita duga hanya dipenuhi kemiskinan, bisa jadi ada operasi kuasa di dalamnya. Â
Teater Tiang FKIP juga menggelar beberapa pertunjukan ragam gaya dan wacana. Kelompok teater yang terkenal dengan militansi para anggota dan seabrek prestasi ini berani membuat pentas 5 hari 5 malam dengan bermacam sajian pada 1999-2000. Salah satu naskah yang sampai sekarang masih saya ingat adalah Ekskusi Suatu Hari Kemudian yang disutradari Rodli TL (saat ini menjadi dosen di sebuah universitas swasta di Lamongan dan mengelola sanggar seni anak-anak di desanya).