Sementara, dalam fase lapangan mereka mendapatkan gemblengan fisik dan mental, praktik kolaborasi dalam berkarya, dan kedisiplinan. Fase lapangan dikendalikan oleh tim Komisi Disiplin yang sangat ketat dalam mengarahkan dan membimbing para calon anggota agar mereka tidak main-main dalam berorganisasi dan berksenian.
Pilihan untuk bergabung dengan DKK mengantarkan saya kepada sebuah jagat yang selalu memberikan banyak cerita. Mulai dari bengkerengan (debat saat diskusi) ketika menentukan naskah, beratnya latihan untuk penggarapan, hingga mendesain pamflet dan tiket hingga ke Probolinggo di rumah salah satu anggota karena di Jember waktu itu belum ada rental komputer untuk desain.
Yang tidak bisa saya lupakan adalah perjalanan 'epik' menuju Politeknik Pertanian Jember lewat jalan tembus nan gelap sebelah FMIPA UNEJ untuk menonton pertunjukan Teater Kotak, nongkrong di Warung Cak Kumis Sardan di sudut selatan PKM (Pusat Kegiastan Mahasiswa) UNEJ, hingga kebahagiaan kecil selepas membongkar panggung bersama dua lagu andalan di era pertengahan 90-an, "Malam" dan "Matahariku", karya band Topeng dari Bandung.Â
Apa yang ingin saya tekankan dari cerita di atas adalah bahwa "menonton latihan dan pertunjukan teater" merupakan proses dengan kekhususan dan keunikan tersendiri di mana rasa tertarik bisa berubah menjadi energi kultural yang menggerakkan seseorang untuk membuat pilihan-pilihan strategis dalam kehidupannya.
Tentu saja, masing-masing penonton memiliki pengalaman dan sensasi yang bisa jadi tidak sama. Dalam bentuk yang paling sederhana, proses menonton yang cukup beragam, baik dalam hal lakon, gaya pementasan, model tiket, hingga sangar-nya apresiasi, bisa menjadi tumpukan ingatan yang bisa di-panggil-kembali untuk kepentingan tertentu, termasuk untuk kepentingan tulisan ini; sebuah tulisan tentang pengalaman menonton seperti yang disajikan dalam tulisan ini.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa proses merekonstruksi dan mengkonstruksi ingatan saja tidak cukup untuk membicarakan perjalanan genealogi pertunjukan teater di Jember, dari era 1990-an pertengahan hingga era 2000-an. Mutlak dibutuhkan kajian mendalam yang bisa menggunakan arsif poster, pamflet, foto-foto penggarapan dan pementasan, wawancara dengan penggiat, hingga tulisan-tulisan kritik teater selepas pertunjukan.Â
Namun, paling tidak, pada level paling sederhana, proses mengingat-kembali bisa melengkapi pembacaan yang lebih mendalam. Mengikuti pemikiran Holztman (2006: 363), ingatan akan banyak hal dibingkai dalam penjajaran dengan saudaranya, sejarah. Meskipun sejarah lebih terikat kepada empirisisme, objektivitas, dan dalil tertentu kebenaran.Â
Walaupun demikian, ingatan secara intrinsik mendestabilkan kebenaran melalui perhatian kepada cara-cara subjektif di mana masa lalu dipanggil-kembali, diingat, dan digunakan untuk mengkonstruksi masa kini. Hal ini, tentu saja, berlangsung melalui bermacam tingkatan proses, baik individual maupun sosial, beberapa membentuk kemampuan berbeda dengan mengingat subjek tertentu, sedangkan yang lain lebih menekankan kepada proses sosial yang menandai, menuliskan, atau menafsir masa lalu.Â
Apa yang harus dicatat adalah bahwa ingatan, baik yang bersifat individual maupun komunal, harus selalu dikaitkan dengan konteks sosio-kultural yang melatarinya serta penekanan adanya proses yang saling mempengaruhi dari masa lalu ke masa kini (Erll 2008: 3-5), sehingga apa-apa yang terjadi hari ini bisa dilacak-kembali jejak historis atau genealogisnya di masa lalu; apakah itu terkait perubahan, transformasi, atau, mungkin juga, stagnansi. Â Â
Prinsip rekonstruksi masa lalu dan konstruksi di masa kini akan membantu saya untuk menggunakan ingatan peristiwa menonton dan memroduksi teater sebagai materi untuk menelusuri genealogi pertunjukan teater di Jember, baik terkait gaya pertunjukan, wacana yang disampaikan, dan apresiasi.Â