Sayangnya, sebagai komunitas di luar kampus, Teater Sepuluh tidak bertahan lama karena kesibukan masing-masing penggiatnya dengan tugas akhir yang menjadi penanda bahwa mereka adalah mahasiswa yang terikat secara administratif, sepertihalnya para penggiat teater kampus.
Masih pada tahun 2001, Husnul Anis berkolaborasi dengan Arifah Mayasari, salah satu anggota bidang teater DKK, memulai proyek Akhir Sebuah Makan Malam. Proses pembuatan ini diawali dengan diskusi-diskusi kecil tentang tema populer yang bisa dibingkai dalam semangat kritis sekaligus absurd.Â
Dipilihlah tema "makan malam" dua kekasih yang berakhir tragis karena salah paham dalam menangkap pesan dalam percakapan. Tim produksi berjuang keras untuk memromosikan pertunjukan ini karena relatif baru dalam dunia teater Jember. Publikasi menjadi salah satu kunci untuk menarik perhatian penonton yang pada waktu itu ditargetkan dari mahasiswa dan pelajar SMA.Â
Tim publikasi yang digawangi Gamma Setiawan (kini bekerja di salah satu bank BUMN di Jember) memunculkan kutipan sederhana tetapi mengena, "ketika cemburu tidak membuktikan apa-apa". Akhirnya, tiket yang dijual seharga Rp. 3.000,- terjual lebih dari 200 lembar. Aula FS penuh sesak penonton.Â
Tim produksi juga mengedarkan kuisioner kepada para penonton yang berisi tanggapan mereka terhadap pagelaran tersebut. Kuisioner tersebut menjadi semacam data yang digunakan untuk memetakan kecenderungan pemahaman penonton sekaligus untuk mengikat mereka, sehingga untuk pertunjukan-pertunjukan berikutnya bisa ditawari tiket.
Keinginan untuk menyajikan gaya pertunjukan yang lebih segar mendorong Teater Tiang memroduksi beberapa garapan yang belum pernah ada sebelumnya di Jember. Adalah Rozetta Peron yang menyutradari Opera Jaran Goyang/OJG (2002). Naskah ini diadaptasi dari legenda Baridin Putra Sangkala.Â
Drama ini menjadi wakil Jember untuk Peksiminal Jawa Timur mendapatkan juara I. Sementara, di Peksiminas mendapatkan juara Harapan II. Pilihan naskah ini menunjukkan keinginan eksploratif untuk menggunakan budaya lokal dalam kasanah teater di Jember. Bagaimanapun juga Jember adalah ruang bagi berseminya bermacam budaya, termasuk di dalamnya budaya Sunda yang diadaptasi ke dalam naskah OJG.Â
Masih di tahun yang sama, Tiang melalui sutradara mudanya, Taruna "Cacuk" (kini menjadi guru di salah satu SMK di Jember) menggarap naskah Dajjal bergaya eksperimental. Garapan ini tidak hanya dipentaskan di Jember, tetapi juga di Surabaya dan Jakarta. Keberanian eksploratif seorang Cacuk menjadi capaian tersendiri, baik untuk dirinya sebagai individu maupun sebagai anggota Teater Tiang.Â
Eksplorasi dalam bentuk kedinamisan gerak yang berbasis cerita yang sangat fenomenal di antara kalangan pemeluk agama samawi menjadi karakteristik yang ditawarkan Cacuk. Bagi saya pribadi, capaian Dajjal ini belum tentu muncul 5 tahun sekali dalam kasanah teater di Jember. Kenakalan untuk memasuki tema-tema 'sakral' dalam perspektif dinamis, eksploratif, dan eksperimental, rasa-rasanya, masih sangat kurang untuk jagat teater Jember dari awal 2000-an hingga saat ini.Â
Masih dalam semangat opera, tahun 2003, sutradara muda DKK yang selesai menimba ilmu di Teater Koma melalui program magang Yayasan Kelola, Nanda "Koenyil" Sukmana (kini menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jombang) menggarap Opera Sembelit (Nano Riantiarno).Â
Naskah yang sempat populer di awal Reformasi ini menawarkan kondisi chaos ketika orang-orang susah sembelit. Kekayaan harta menjadi tidak berguna. Kedatangan seorang dokter menjadi harapan. Selain mengkritisi Orde Baru, naskah ini juga mengingatkan bahwa kondisi serupa bisa saja terjadi dalam setiap zaman atau rezim. Kerakusan terhadap sesuatu bisa menimbulkan ketidakberesan yang seringkali menguntungkan pihak-pihak tertentu.Â