Karena melekat dalam kehidupan manusia, maka dalam masyarakat bertradisi lisan pengetahuan cenderung bernada agonistik. Artinya, pengetahuan ditempatkan dalam konteks perjuangan atau pertarungan hidup. Peribahasa atau pantun tidak secara sederhana digunakan semata-mata untuk menyimpan dan menyampaikan pengetahuan, tetapi untuk mengikat orang lain dalam pertarungan verbal dan intelektual.Â
Ungkapan dari peribahasa atau tebakan yang dilontarkan seseorang menantang pendengar untuk membalasnya dengan peribahasa atau pantun yang lebih baik ataupun bertentangan. Meskipun konteks yang muncul dari peristiwa tersebut cenderung berlangsung damai, namun kita bisa menemukan bagaimana pertarungan mewujud dalam usaha untuk membuat peribahasa atau pantun yang baik.Â
Bahkan dalam makna yang lebih negatif, kita bisa melihat betapa anak-anak saling berolok-olok tentang orang tua ataupun kekurangan mereka masing-masing ketika mereka terlibat sebuah perselisihan. Olok-olok melalui ungkapan verbal yang cenderung kasar ini memperlihatkan betapa prinsip pertarungan dalam masyarakat lisan sangat kental. Â
Konteks perjuangan juga bisa kita temukan dalam mitos kepahlawanan pada tiap-tiap masyarakat di planet ini. Dalam mitos tersebut kita seringkali menemukan cerita tentang perjuangan fisik seorang pahlawan dalam menaklukkan musuh manusianya maupun monster, jin, serta ganasnya alam liar.Â
Dalam dongeng Yunani, misalnya, sosok Hercules maupun Odesius selalu digambarkan manusia super yang mengalahkan musuh-musuhnya dengan kesaktian yang tidak dimiliki setiap orang. Bahkan dalam cerita film laga Hollywood masa kini kita masih mudah menemukan bagaimana seorang Superman, Batman, ataupun Spiderman berhasil mengalahkan musuh dan menyelamatkan masyarakatnya. Sekali lagi, hal itu menunjukkan betapa sifat agonistik selalu mewarnai setiap kebudayaan manusia, baik pada level kelisanan pertama maupun kelisanan kedua (secondary orality) yang sudah bercampur dengan tradisi tulis dan teknologi (film dan tayangan televisi, misalnya).
EMPATIK & PARTISIPATORI Â
Dalam budaya lisan proses belajar ataupun mengetahui berarti menjalani identifikasi yang begitu dekat, empatik, dan komunal. Apa yang perlu diketahui (the known) ada dalam kehidupan bersama. Sementara budaya tulis cenderung memisahkan orang yang mengerti (the knower) dengan yang perlu diketahui sehingga membentuk syarat-syarat bagi 'objektivikasi', dalam hal ketidakterikatan atau keberjarakan personal. Dalam budaya lisan kedetakatan, pengalaman merasakan, serta partisipasi menjadi syarat mutlak bagi mereka yang ingin mendapatkan pengetahuan tertentu.Â
Dalam budaya lisan, antara seorang pendongeng dengan para pemirsanya bisa dikatakan tidak ada jarak. Si pendongeng dengan ungkapan-ungkapan formulaiknya dan mimiknya yang khas bisa dengan berapi-api menceritakan dongeng tentang Kancil, misalnya.Â
Sementara para penontonnya dengan asyik membayangkan diri mereka terlibat di dalamnya. Dalam kesenian-kesenian rakyat, jarakpun menjadi hilang dengan sendirinya. Ketika para pemain Jathilan/Jaranan beratraksi, penonton biasanya mengerumuni mereka dan membentuk lingkaran manusia.Â
Dalam model transfer pengetahuan tradisi, masyarakat tertentu juga mensyaratkan keterlibatan langsung si cantrik (murid) dengan apa-apa yang dilakukan gurunya. Di masyarakat Tengger, misalnya, seseorang yang ingin belajar mantra serta tata cara ritual agar mereka bisa berkesempatan menjadi dukun, ia akan mengikuti kemanapun si dukun pergi sambil membantunya dalam mempersiapkan ritual. Dengan partisipasi seperti ini, si cantrik akan bisa menimba secara langsung kepada si dukun, di samping ia juga bisa mendapatkan pelajaran tentang mantra di rumah si dukun.
HOMEOSTATIK