"Suwe ora jamu, jamu godhong telo/Suwe ora ketemu, ketemu pisan ning ati gelo." (Lama tidak minum jamu, jamu daun ketela/ Lama tidak bertemu, bertemu sekali membuat hati kecewa)
Pantun seperti itu, dalam masyarakat Jawa tidak pernah disebarkan secara tulis, tetapi dari mulut ke mulut atau melalui tembang yang kemudian didengar banyak orang. Karena karakteristiknya yang cukup formulaik, maka pantun itu sampai sekarang masih diingat dan banyak digubah untuk lagu-lagu tradisional.
Sifat mnemonics dan formulaik, bisa dikatakan merupakan inti kebudayaan dalam masyarakat bertradisi lisan. Itulah mengapa pengulangan sebuah tradisi yang atau cerita dalam bentuk ritual-ritual tertentu masih tetap saja berlangsung hingga saat ini di masyarakat yang masih bertradisi lisan.Â
Dengan ritual yang diulang-ulang itulah para sesepuh bisa melakukan transfer pengetahuan dan tradisi secara lisan kepada anggota masyarakat lainnya. Dalam masyarakat lisan, pengalaman diintelektualkan secara berulang-ulang. Artinya melalui ritual itulah para sesepuh adat bisa mentransfer pengalaman yang mereka peroleh dari para pendahulu kepada generasi yang lebih muda. Melalui pengulangan itulah sebuah kebudayaan bisa tetap terjaga hingga saat ini, meskipun sebagian generasi muda sudah mengenyam pendidikan.
ADITIF ALIH-ALIH SUBORDINATIF
Dengan menyadari sifat mnemonics dari pikiran dan ungkapan berbasis lisan, kita akan bisa memahami secara mendalam beberapa karateristik lain pikiran dan ungkapan berbasis lisan dalam masyarakat bertradisi lisan. Menariknya, sebenarnya beberapa karakteristik yang akan dibahas di sini juga bisa kita temui dalam tradisi tulis, terutama yang berhubungan dengan kitab suci dan karya sastra.
Ong memberikan contoh tentang karakteristik aditif ini berdasarkan struktur cerita tentang penciptaan dunia yang diperoleh dari Genesis. Salah satu unsur dari struktur cerita yang aditif adalah banyak digunakannya kata sambung 'dan' yang menunjukkan penambahan. "Pada awalnya, Tuhan menciptakan surga dan bumi. Dan bumi masih dalam keadaan tak berpenghuni, dan kegelapan melukis dalam kedalaman, dan ruh Tuhan bergerak di atas permukaan air. Dan Tuhan bersabda: Jadilah cahaya. Dan jadilah cahaya...".
Dengan struktur aditif tersebut, cerita bisa mengalir secara kontinyu dan lancar, sambung-menyambung. Dari peristiwa yang satu muncul peristiwa lain. Begitulah seterusnya. Masing-masing kalimat dalam cerita itu mempunyai posisi sejajar dan tidak bersifat subordinatif. Cerita dalam tradisi lisan bersifat natural dan pragmatis sehingga orang yang mendengarkan akan mudah mengikuti, seperti terbawa masuk serta menjadi bagian dari cerita tersebut.
AGREGATIF ALIH-ALIH ANALITIKÂ
Karena tradisi lisan mendasarkan transformasi pengetahuannya berdasarkan ingatan, maka karakteristik lain yang muncul adalah cara berpikir dan berujar secara agregatif. Artinya, tidak seperti budaya tulis yang lebih memilih untuk menuliskan sesuatu apa adanya untuk memenuhi standard ilmiahnya, budaya lisan seringkali menambahkan ungkapan lain ketika hendak mengatakan atau menunjukkan sesuatu.Â
Kalau dalam budaya tulis cukup dikatakan "si pendekar", maka dalam budaya lisan menjadi "si pendekar yang sakti mandraguna". Dalam tradisi tulis mungkin "si pendekar" tidak harus ditambahi penjelasan yang sepertinya terlalu berlebihan, melainkan penjelasan yang masuk kategori analitik, semisal si pendekar mempunyai ilmu beladiri yang bisa digunakan untuk mengalahkan musuh-musuhnya.Â