Namun, dalam tradisi lisan, ungkapan analitis seperti itu akan menyulitkan proses mengingat. Penggunaan ekspresi "yang sakti mandraguna" ini tentu saja memberikan kesan bahwa hal itu tidak bisa dipisahkan dari "si pendekar" dan sudah baku. Selain itu juga memberikan kesan 'lebih' sehingga mudah untuk diingat dan lebih patriotis ketika diceritakan kembali kepada anggota masyarakat yang lain.
REDUNDANÂ
Redundan secara sederhana bisa didefinisikan sebagai repetisi dari apa-apa yang baru saja diungkapkan. Hal ini menjadi kondisi penting bagi keberlangsungan transformasi pengetahuan dalam tradisi lisan. Kalau dalam tradisi tulis, untuk melihat kembali apa-apa yang sudah dibaca, kita bisa mengulangi pembacaan pada topik yang disesuaikan dari bacaan sebelumnya, dalam tradisi lisan hal itu tidak mungkin dilakukan karena sebuah topik bahasan berlangsung dengan medium bunyi/suara. Agar proses transfer pengetahuan bisa berlangsung dengan lancar, maka pengulangan dari apa-apa yang baru disampaikan menjadi sangat penting.
Apa yang harus dipahami adalah bahwa proses transformasi pengetahuan, pidato publik ataupun percakapan biasa berlangsung dalam situasi komunikasi langsung, face to face. Agar apa-apa yang disampaikan menjadi gampang diikuti dan dimengerti, maka mengulangi sebagian pembicaraan sebelumnya menjadi pilihan yang harus dilaksanakan.Â
Redundansi juga sangat penting ketika si penyampai/orator takut kalau para pendengarnya kurang mengerti atau lupa apa-apa yang baru disampaikan. Ia bisa saja mengulang sebagian pembicaraan sebelumnya atau dengan menggunakan ungkapan lain yang bermakna sama, semisal "tidak hanya" bisa diganti dengan "tetapi juga".
KONSERVATIF ATAU TRADISIONALISÂ
Realitas bahwa kelisanana pertama mengkonseptualisasikan pengetahuan tidak langsung selesai dalam sekali kesempatan, maka masyarakat lisan harus menginvestasikan energi besar untuk terus mengatakan dan mengungkapkan secara terus-menerus apa-apa yang mereka pelajari sebelumnya. Untuk itulah masyarakat lisan menciptakan sebuah tatanan pemikiran yang tradisionalis atau konservatif yang dengan alasan-alasan tertentu menjadi mengembangkan eksperimen intelektual dengan cara mereka sendiri.
Dengan pola pikir semacam itu, maka masyarakat lisan cenderung menganggap pengetahuan tidak bisa muncul secara tiba-tiba dan sangat berharga. Maka dari itu para sesepuh, baik laki-laki maupun perempuan, yang mempunyai pengetahuan tentang apa-apa yang terjadi pada masa lampau, mendapat posisi terhormat dalam masyarakat.Â
Tidak mengherankan mengapa dalam masyarakat lisan, para pemangku adat menjadi otoritas yang sangat berpengaruh sehingga anggota masyarakat seringkali menganggap apa-apa yang diomongkan menjadi 'dalil' yang harus dijalankan. Mereka juga sering meminta bantuan para pemangku adat ketika menghadapi masalah tertentu. Orang-orang yang bisa menuturkan cerita dan tradisi masa lampau dianggap sebagai orang sakti yang mengerti berbagai persoalan, baik yang nyata maupun yang magis.Â
Tidak hanya dalam hal adat dan tradisi, para pemuka agama yang berada dalam masyarakat bertradisi lisan, juga memperoleh posisi penting. Seorang kyai, misalnya, dalam masyarakat Muslim menempati posisi yang melebihi posisi para tokoh formal, seperti kepala desa atau camat.Â
Bahkan karena menganggap kyai sebagai orang yang banyak tahu tentang agama, adalah hal yang biasa kalau anggota masyarakat di Jember, misalnya, berebut untuk mencium tangannya karena dianggap akan mendatangkan berkah. Ketika kyai berkata 'A', maka anggota masyarakat akan melakukan 'A' pula.Â