Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menghadirkan Pendidikan Modern dalam Geliat Kabut Bromo

26 November 2021   13:59 Diperbarui: 28 November 2021   08:26 1179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua siswa SD di Ngadisari. Foto: Dok. Pribadi

MENJADI MODERN

Menjadi modern, dalam makna filosofis, merupakan sebuah proses di mana masyarakat tradisional yang masih mempercayai takhayul dan kuasa dogma religi berubah menjadi masyarakat yang mengedepankan rasionalitas sehingga mereka bisa menemukan capaian-capaian ideal dalam hidup. 

Modernitas merupakan temuan terbesar Eropa yang kemudian menjadi rezim kebenaran di seluruh dunia, terutama setelah proses panjang kolonialisme. 

Fondasi filosofis dari pikiran modern adalah dalil "aku berpikir maka aku ada". Paling tidak, terdapat sepuluh elemen Pencerahan berbasis "aku berpikir maka aku ada" yang melahirkan modernitas, yakni: akal dan rasionalitas, empirisme, pengetahuan, universalisme, kemajuan, individualisme, toleransi, kebebasan, kesamaan umat manusia, dan sekulerisme (McGuigan, 1999: 40-41; Venn, 2006: 55-56, 2000: 17-19). 

Tujuan dari semua konsep tersebut adalah individualisme yang mengedepankan kebebasan individu yang tidak bisa dikekang oleh otoritas kuasa tradisional dan agama, sehingga ia bisa mengembangkan diri berbasis pengetahuan untuk memperoleh kemajuan dan kesejahteraan. Kemajuan individu menjadikan toleransi bisa berkembang, sehingga memunculkan kesamaan antarmanusia, meskipun sulit terwujud.

Modernitas yang menekankan pentingnya kebebasan dan kedaulatan individual, sehingga akan melahirkan usaha-usaha untuk membebaskan diri dari doktrin agama dan keyakinan, tradisi, dan kekuasaan yang dianggap membelenggu dan menghambat kemajuan. 

Meskipun kehadiran modernitas tidak terlepas dari praktik kolonialisme dan kapitalisme, pesona kemajuan bagi semua manusia membuat masyarakat di seluruh belahan dunia menjadikannya orientasi untuk merasakan kemajuan dan kesejahteraan. Pengetahuan tentang modernitas dianggit dan direproduksi terus-menerus dalam praktik pemerintahan, pendidikan, ekonomi-politik, media, dan budaya. 

Inilah yang menjadikan modernitas sebagai pengetahuan yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia di belahan bumi manapun. Modernitas merupakan sebuah konsep, kondisi, dan gerakan yang mampu menampung beragam tanda, cita-cita, impian, harapan, permasalahan, pergeseran, perubahan, kekecewaan, penaklukan, dan hal-hal lain yang terkesan sederhana, tetapi sebenarnya ruwet dalam konteks desa. 

Menjadi sederhana karena semua orang bisa merasakan diri menjadi modern, baik dalam konteks individual maupun komunal; dari usaha untuk mengenyam pendidikan sampai hasrat berbelanja produk-produk industri budaya. Kunci utama untuk menjadikan manusia dan masyarakat modern adalah "pendidikan". 

Pendidikan menjadi penting karena dalam praktiknya bisa mengembangkan dan membebaskan nalar manusia dari kekangan-kekangan tradisi, sehingga mereka bisa memaksimalkan potensi rasional untuk mencapai kesejahteraan hidup.

MENGHADIRKAN DAN MEMPERJUANGKAN PENDIDIKAN MODERN

Kesadaran untuk menempuh pendidikan menjadi penanda penting modernitas masyarakat Tengger, meskipun, sampai tahun 2000, tingkat pendidikan mereka masih sangat rendah. 

Menurut hasil penelitian Thoha yang dikerjakan tahun 2000 (dikutip dalam Sulistyowati, 2003), mayoritas masyarakat Tengger adalah lulusan SD (lebih dari 50 %), sedang yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah lebih dari 25 %. Sementara, yang lulus SMP kurang dari 6 % dan yang lulus SMA sebesar 5 %. Adapun yang lulus perguruan tinggi kurang dari 1 %. 

Data kuantitatif tersebut tentu sangat mengejutkan, karena tahun 2000 sebagian besar penduduk di wilayah bawah sudah lulus SMP ataupun SMA dan sebagian lagi lulus perguruan tinggi. Paling tidak, masih menurut Thoha, kecenderungan untuk memanfaatkan anak-anak usia sekolah dalam kerja-kerja pertanian dan pariwisata menyebabkan rendahnya keinginan orang tua untuk menyekolahkan anaknya.

Keengganan untuk menyekolahkan anak merupakan kelanjutan dari apa-apa yang dialami oleh orang tua mereka. Orang tua yang terlahir pada era 1960-an, misalnya, mengalami masa-masa (era 1970-an) di mana pendidikan bukan hal yang utama bagi masyarakat Tengger. 

Dalam sebuah perbincangan santai di rumahnya pada 22 Juli 2011, Manuto, salah satu lelaki Tengger di Desa Wonokerto, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo menceritakan pengalamannya sebagai berikut:

"Pada tahun 70-an, sebagian besar anak-anak Tengger, seusia saya, baru lulus SD. Waktu itu lulus SD itu sudah luar biasa. Orang tua kami memang lebih mendidik kami sebagai petani ladang. Kata mereka, buat apa sekolah, nanti juga jadi petani. Orang tua saya sudah menyiapkan keranjang dan arit setiap saya habis pulang sekolah. Apalagi kalau hari minggu, wah, kami harus di ladang seharian penuh. Nah, pada periode 80-an mulai berubah. Pada generasi anak saya yang sekarang berusia 25 tahun, anak-anak Tengger sudah mulai sekolah sampai tingkat SMA atau sebagian kecil kuliah."

Tenaga anak-anak jelas sangat membantu bagi kerja-kerja pertanian dan peternakan. Kalau mereka menempuh pendidikan sampai jenjang SMA, tentu saja, keluarga mereka akan kehilangan aset berupa tenaga produktif yang berarti pula harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk membayar pekerja di ladang. 

Artinya, faktor pertanian komersil memang menjadi penentu utama bagi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Tengger. Selain itu, masyarakat Tengger juga memiliki persepsi bahwa sekolah sampai SMA maupun kuliah di perguruan tinggi tidak menjamin seseorang akan mendapatkan pekerjaan dan kemakmuran di kota. 

Apalagi beberapa lulusan perguruan tinggi lebih memilih kembali ke desa, bekerja di ladang meskipun mereka bekerja sebagai guru maupun perangkat desa. Kondisi tersebut semakin memperkuat keengganan masyarakat Tengger untuk meng-kuliah-kan anak-anak mereka. 

Namun, kondisi tersebut perlahan-lahan mulai berubah. Sebagian besar generasi muda Tengger saat ini sudah mengenyam pendidikan SMA. Bahkan, warga berusia 40-an yang dulunya hanya lulus SD atau SMP mulai di-sekolahkan melalui Kejar Paket B maupun Kejar Paket C. 

Di Desa Ngadisari, misalnya, Kepala Desa Supoyo (saat ini menjadi anggota DPRD Kabupaten Probolinggo) dengan persetujuan perangkat desa dan dhukun pandita menyelenggarakan Kejar Paket C untuk warga yang belum lulus SMA. Bahkan, untuk memaksa warga agar mau bersekolah sampai jenjang SMA, Supoyo membuat kebijakan tidak mengizinkan kaum muda menikah sebelum mereka mendapatkan ijazah SMA. 

Dia juga membuat perkuliahan kelas jarak jauh bekerjasama dengan salah satu perguruan tinggi swasta di Probolinggo. Pada tahun 2010, warga Ngadisari yang sudah sarjana berjumlah 25 orang (Sariono, dkk, 2010). Apa yang dilakukan Supoyo memang terkesan memaksa warga. 

Namun, dari perspektif lain, usaha-usahanya menandakan sebuah kesadaran akan pentingnya arti pendidikan bagi masyarakat karena ia dan para dhukun pandita tidak menginginkan wong Tengger dianggap terbelakang.

Ketika pemerintah  menggiatkan pendidikan anak usia dini atau yang biasa disingkat PAUD, perangkat desa Tengger tidak mau ketinggalan. Perangkat desa di Ngadisari, misalnya, menjadikan salah satu ruang di Balai Pertemuan Desa sebagai gedung sekolah PAUD. 

Kartun Sponge Bob menghiasi dinding muka PAUD di Ngadisari. Foto: Dok. Pribadi
Kartun Sponge Bob menghiasi dinding muka PAUD di Ngadisari. Foto: Dok. Pribadi

Pembangunan PAUD tersebut menandakan bahwa sebagai warga negara mereka menyambut baik program-program pemerintah yang diidealisasi membawa kemajuan bagi masyarakat. Menariknya, untuk membuat para siswa PAUD tertarik dan betah belajar, kartun Sponge Bob yang sangat populer dilukis di dinding sekolah. 

Lukisan kartun tersebut sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat Tengger sudah terbiasa dengan narasi media populer dalam kehidupan sehari-hari. 

Bagi para perangkat desa, popularitas kartun tersebut merupakan sebuah alat untuk mensukseskan program PAUD sekaligus menggerakkan semangat untuk berpendidikan agar anak-anak tidak menjadi manusia-manusia terbelakang. 

Lebih jauh lagi, kehadiran Sponge Bob merupakan penanda bagaimana sang Barat bukan lagi dianggap penjajah atau musuh yang harus ditakuti. Sebaliknya, ia adalah idola yang didambakan oleh anak-anak Tengger sehingga kehadirannya bisa menarik mereka ke dalam ruang dan praktik modern bernama ruang kelas dan proses pembelajaran sekaligus sebagai sahabat yang menemani mereka untuk berpendidikan. 

Akibatnya, bukan gambar rekaan Rara Anteng dan Jaka Seger, dua tokoh legenda Tengger yang sangat dikagumi, yang perlu dilukis di tembok bangunan PAUD, karena anak-anak tentu tidak mempunyai rujukan visual populer terkait kedua tokoh tersebut. Cerita tentang mereka berdua cukup di-dongeng-kan oleh guru ataupun orang tua, sedangkan yang dihayati dalam "momen perjumpaan visual" adalah tokoh fiktif dari Barat.

Geliat pendidikan di Tengger sangat terasa saat ini. Pagi hari, 29 Juli 2011, ketika saya masih berusaha bertarung dengan hawa dingin di Desa Wonotoro, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, tampak anak-anak dengan seragam SMP dan SMA bergerombol di pinggir jalan desa. 

Mereka menunggu "taksi" (sebutan warga Tengger untuk mobil Bison yang menjadi angkutan umum menuju Sukapura dan Probolinggo) di pinggir jalan sembari menahan hawa dingin, sekitar 10 derajat. Ketika taksi datang, anak-anak perempuan masuk terlebih dahulu. Sementara, anak-anak lelaki yang tidak kebagian tempat di duduk di dalam taksi, memilih duduk di atas taksi. Tanpa rasa takut sedikitpun karena sudah terbiasa seperti itu, mereka menuju sekolah di Sukapura. 

Gambaran singkat tersebut merupakan sebuah bentuk perubahan pola pikir warga Tengger yang dulunya enggan menyekolahkan anak-anak mereka. Anak-anak remaja itu melawan dingin dan kabut; melampaui ketakutan terhadap jalan yang menurun dan penuh tikungan, demi mendapatkan pengetahuan di bangku sekolah.

Sekitar jam 8 pagi, saya menikmati sarapan. Di samping warung yang buka 24 jam itu, terdapat sekolah TK. Tampak puluhan anak-anak TK berlatih baris-berbaris di halaman sekolah, setelah sebelumnya senam bersama. Guru perempuan yang asli Tengger dengan sabar mengajari mereka. 

Beberapa anak salah dalam menirukan gerakan baris-berbaris. Guru perempuan itu berusaha membenahi gerakan mereka. Tampak wajah ceria anak-anak, meksipun dingin belum juga hilang. Di depan kelas, para ibu muda menunggui  sembari melihat dengan senyum tingkah pola anak-anak mereka. Mereka harus menunda keberangkatan ke ladang sayur karena harus menunggui anak-anak. 

Waktu mereka agak longgar bersama anak-anak karena ladang juga masih belum bisa ditanami sayur secara maksimal. Baru bawang pre yang bisa ditanam. 

Perawatan bawang pre memang tidak senjlimet wortel, kentang, maupun kubis. Observasi singkat tersebut memberikan gambaran betapa sejak usia dini, anak-anak Tengger telah disosialisasikan dengan pentingnya pendidikan.

Bahkan, bagi keluarga yang menyadari arti penting pendidikan modern akan menyekolahkan anak-anak mereka ke SMP dan SMA di Probolinggo, jauh dari rumah dan keluarga. Bu Joko, istri dhukun pandita Wonotoro, menuturkan pengalamannya sekolah di Probolinggo sebagai berikut:

"Saya 6 tahun sekolah di SMP dan SMA Katolik di kota Probolinggo. Saya senang karena di sana saya diajarkan kedisiplinan tingkat tinggi, selain mendapatkan ilmu pengetahuan. Sistem pendidikannya seperti anak kuliah, jadi kalau ada tugas harus segera dikerjakan. Meskipun saya sekolah di Katolik, saya secara agama tidak terpengaruh, saya tetap memeluk agama Hindu Tengger. Bagi saya semua agama itu sama, hakekatnya baik semua. Cuma beda lingkungan beda tata caranya. Lihat saja agama Islam, beda aliran dan lingkungan pemeluknya sudah beda tradisinya. Anak saya yang pertama saya sekolahkah SMP di sekolah Katolik juga. Biar mendapat pelajaran tentang kedisiplinan."

Tentu bukan maksud Bu Joko untuk menyepelekan sekolah yang ada di Sukapura. Namun, pilihan untuk bersekolah di SMP dan SMA Katolik di Probolinggo yang dilanjutkan oleh anak perempuan pertamanya menunjukkan sebuah niatan untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat modern, yakni "kedisiplinan tingkat tinggi" dan "ilmu pengetahuan". 

Pilihan tersebut merupakan bentuk orientasi terhadap aspek modernitas berupa pendidikan. Mereka ingin menatap dunia yang lebih luas; sebuah dunia yang "tidak hanya berkawan kabut", sebuah dunia yang akan menghubungkan mereka dengan wacana-wacana kemajuan dan rasionalitas. 

Meskipun demikian, dunia baru tersebut tetap tidak bisa merubah subjektivitas mereka sebagai wong Tengger yang masih meyakini Hindu Tengger sebagai agama resmi dan menjalankan ritual-ritual warisan leluhur. Mereka berusaha memahami dunia pendidikan modern dan dunia tradisi sebagai dua kutub yang tidak harus bertentangan, tetapi bisa berjalan bersama-sama.

Berbincang dengan Dhukun Pandita Sutomo di perapian rumahnya. Foto: Dok. Pribadi
Berbincang dengan Dhukun Pandita Sutomo di perapian rumahnya. Foto: Dok. Pribadi
Ketetapan hati untuk terus memeluk agama Hindu dan menjalankan ritual memang menjadi kecenderungan umum yang berlangsung dalam masyarakat Tengger, baik di Probolinggo, Pasuruan, Malang, maupun Lumajang. Kondisi itu tentu menarik untuk ditelusuri lebih jauh lagi. 

Karena, seperti berlangsung di wilayah Jawa yang lain, pendidikan umum yang memang cenderung sekuler banyak merubah keyakinan warga, utamanya generasi muda, terhadap tradisi leluhur mereka. Keutamaan akal perlahan menggeser kekuatan dogma tradisi yang seringkali dianggap takhayul. 

Namun, apa yang terjadi di Tengger tidak demikian. Sutomo, dhukun pandita Ngadisari (sejak tahun 2014 diangkat menjadi Koordinator Dhukun Pandita), menuturkan:

"Mereka itu tetap madep, mantep, terhadap tradisinya sendiri, tradisi Tengger. Sepulang mereka ke sini, mereka tetap tidak membawa budaya kota ke sini. Jadi, meskipun mereka mendapat pengetahuan dan keilmuan modern, mereka tetap madep mantep terhadap ajaran leluhur. Hal itu berlaku di seluruh kawasan Tengger, baik yang berlaku di Probolinggo, Malang, Pasuruan, maupun Lumajang. Mereka takut akan kuwalat. 

Kalau sampai mereka melanggar petuah orang tua bisa kuwalat beneran. Ya ada saja bentuknya. Biasanya hidupnya susah. Jadi, tidak omong kosong benar-benar terjadi. Bahkan para pendatang yang secara batinnya tidak meyakini dan tidak ikut menjalankan tradisi Tengger dan mereka menampakkan dalam kehidupan keseharian, mereka akan susah dalam hidup, seperti sering sakit-sakitan atau kesulitan secara ekonomi."

Tingginya kesadaran pendidikan warga Tengger dan masih kuatnya keyakinan terhadap tradisi leluhur memang dua kutub yang dari pemikiran modern tidak masuk akal. Namun, pola pikir modern yang mengatakan bahwa pendidikan akan merubah pola pikir tradisional masyarakat, tentu tidak bisa diterapkan secara mentah-mentah untuk melihat kondisi masyarakat lokal. 

Dua siswa SD di Ngadisari. Foto: Dok. Pribadi
Dua siswa SD di Ngadisari. Foto: Dok. Pribadi
Mekanisme hukuman kultural berupa kuwalat merupakan jawaban dari kondisi dualisme orientasi tersebut. Bagi masyarakat yang hidup dan mencari nafkah dari tanah Tengger, kuwalat merupakan dogma yang menakutkan. Karena begitu mereka melanggar adat, hukuman kultural sudah menunggu. 

"Kesulitan hidup" dan "sakit-sakitan" adalah dua contoh konkrit yang menanti para penyimpang. Bukankah mereka sudah modern dengan pendidikan? Kenapa masih percaya kuwalat yang berbau takhayul? Sekali lagi perlu dijelaskan warga Tengger sejak usia dini sudah dikenalkan dengan aturan, kearifan, ritual, dan agama. 

Mereka diperkenalkan secara langsung, mulai dari ruang keluarga, sekolah, dan pura. Bukti-bukti tentang sulitnya hidup bagi para penyimpang tradisi tentu akan menjadi empiri yang melekat dalam batin mereka. Akibatnya, daripada kuwalat, lebih baik mengikuti aturan tradisi. 

MENYIASATI DUALISME PENGETAHUAN & MENEGOSIASIKAN KEPENTINGAN

Apa yang menarik dikaji lebih lanjut adalah dualisme pengetahuan yang berlangsung dalam pikiran masyarakat Tengger. Pendidikan berbasis kurikulum modern, di satu sisi, telah mengantarkan mereka, utamanya kaum remaja dan generasi muda, ke dalam cakrawala wacana modern di mana kebebasan, rasionalitas, dan sekulerisme (pemisahan nilai agama dan tradisionalisme dari pikiran praktik pengetahuan) menjadi warna utama. 

Di sisi lain, mereka juga terbiasa dengan pengetahuan tradisional terkait religi dan kekuatan-kekuatan adikodrati yang bertentangan dengan nalar sekuler. 

Dalam nalar modern, dua konsep pengetahuan tersebut tentu tidak akan bisa bertemu. Namun, menurut kami, pertemuan dua pengetahuan tersebut dalam orientasi dan praktik hidup masyarakat Tengger terjadi karena mereka sebenarnya memiliki formula khusus dalam memaknai kehadiran pendidikan modern, selain keajegan dalam proses sosialisasi hukuman kultural berupa walat. 

Formula khusus yang saya maksud adalah mereka mengambil aspek-aspek pengetahuan modern yang menjadikan masyarakat Tengger tidak terbelakang dan bermanfaat bagi esksistensi mereka di tengah-tengah gelombang modernisasi saat ini, tanpa harus mengambil aspek-aspek kebebasan, rasionalisme, dan sekulerisme yang bisa mengganggu warisan religi dari nenek moyang. 

Artinya, ada kepentingan-kepentingan pragmatis di balik proses pendidikan di Tengger. Mereka belajar ilmu matematika dan ekonomi, misalnya, agar bisa mengerti dan memahami seluk-beluk angka dan hitungan uang, sehingga bisa membantu mereka dalam bertransaksi finansilan; menjual hasil-hasil pertanian ataupun menentukan harga untuk penginapan atau penyewaan jeep untuk wisatawan. 

Pelajaran bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris akan memudahkan mereka berkomunikasi dengan wisatawan. Para dhukun pandhita juga sangat terbantu dengan kemampuan Bahasa Indonesia, utamanya ketika mereka harus berkomunikasi dengan pejabat, menghadiri undangan seminar di kota, maupun melayani wawancara para peneliti.

Bahkan, pendidikan bagi warga Tengger juga dimaknai secara ekonomis dan politis. Keterangan Mujono berikut akan membantu menjelaskan persoalan tersebut.

"Masyarakat Desa Ngadas saat ini sudah sadar pendidikan, paling tidak sampai SMA. Adapun yang kuliah biasanya mengambil kuliah di Malang atau di Institut Hindu Dharma (IHD) di Bali. Yang di IHD biasanya mereka mengejar supaya bisa diangkat sebagai guru agama Hindu, karena saingannya sedikit. Sementara, yang kuliah di universitas umum ada yang bekerja di bank swasta di Probolinggo. 

Tapi, kebanyakan kembali ke desa, menjadi petani atau berdagang. Selain itu, pendidikan paling tidak sampai SMA, juga untuk menyiasati aturan-aturan birokrasi. Kan sekarang aturannya yang menjabat kepala desa dan perangkat-perangkat lainnya itu harus SMA. Nanti kalau jarang yang lulus SMA, kan bisa-bisa diisi oleh orang-orang dari luar Tengger, kan bisa berakibat tidak baik buat masyarakat Tengger."

Motivasi untuk diangkat menjadi guru agama Hindu bagi mereka yang kuliah di IHD Bali merupakan contoh betapa kepentingan ekonomis tidak bisa dilepaskan dari pendidikan warga Tengger, seperti halnya di masyarakat lain. Para sarjana agama Hindu sangat sadar besarnya potensi ekonomi profesi guru, apalagi saat ini ada sertifikasi guru. 

Selain itu, pengakuan Mujono tentang motivasi politik untuk mengisi jabatan perangkat desa menarik untuk dicermati. Dhukun pandhita sangat menyadari betapa penting posisi perangkat desa bagi keberlangsungan agama dan budaya Tengger. Ketika warga Tengger tidak ada yang berijasah minimal SMA, maka jabatan kepala desa dan perangkatnya bisa diisi oleh orang luar Tengger yang nota-bene bergama selain Hindu. 

Kondisi ini dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi budaya Tengger. Kejadian tersebut pernah berlangsung di salah satu desa Tengger di wilayah Malang di mana kepala desa dijabat oleh orang non-Tengger. Dengan mengambil fungsi-fungsi pragmatis, ekonomis, dan politis, pendidikan bagi warga Tengger tetap berada dalam kepentingan tradisi dan eksistensi masyarakat Tengger.

Kekhawatiran utama para dhukun pandhita dan perangkat desa adalah syiar agama-agama besar yang dilakukan oleh organisasi Islam maupun Nasrani (Kristen dan Katolik) ke wilayah-wilayah Tengger. Secara historis, praktik tersebut sudah berlangsung lama, sejak era kolonial. 

Beberapa desa Tengger di empat kabupaten berubah menjadi desa non-Tengger karena warganya berpindah agama menjadi Islam ataupun Nasrani. Bahkan, di era Orde Baru dan Reformasi praktik syiar agama, khususnya Islam, semakin sering dilaksanakan. Akibatnya, beberapa perangkat desa maupun masyarakat di beberapa desa Tengger berpindah agama, bahkan ikut mendirikan bangunan ibadah baru di wilayah mereka. 

Menurut catatan sebuah lembaga syiar Islam, sejak tahun 2007 hingga 2011, sudah 700 warga Tengger yang beragama Hindu mengkonversi agamanya menjadi Islam (Purwadi, 2011). Tentu saja, perpindahan agama ini berimplikasi pada berubahnya keyakinan dan ritual yang mereka jalani. 

Meskipun masih ada warga Tengger non-Hindu yang menjalankan sebagian slametan warisan leluhur, secara keyakinan dan praktik ibadah mereka sudah berubah. Menjadi wajar kalau para tokoh adat berusaha mempertahankan eksistensi ke-Tengger-an dengan cara mengisi pos-pos penting dalam birokrasi desa dengan warga Tengger yang sudah berpendidikan.  

MENCIPTAKAN RITUAL "MAYU ILMU" UNTUK PENDIDIKAN MODERN

Menariknya, untuk memperkuat program pendidikan di Tengger secara kultural, perangkat desa berkolaborasi dengan dhukun pandhita menciptakan ritual baru yang bertujuan mensukseskan program tersebut. Hal itu terjadi di Desa Ngadisari. Ritual tersebut bernama Mayu Ilmu. Tentang ritual tersebut, Kades Supoyo menjelaskan:

"Para sarjana dari Ngadisari saya slameti juga. Jadi di sini ada ritual yang namanya Mayu Ilmu, nylameti sarjana asli Tengger, setiap lima tahunan. Saya kumpulkan mereka. Saya minta ke Pak Tomo [pen, dukun pandhito Ngadisari]. Kan Tengger itu kan ada Mayu Desa, setelah pemilihan kepala desa, Mayu Bumi, Unan-unan lima tahunan. Saya tambahi, Mayu Ilmu. Pak Tomo mendukung. Dimulai tahun ini [2010]. Jadi hari Rabu Pahing. Nanti lima tahun yang akan datang Mayu Ilmu, Rabu Pahing lagi. Itu ide saya dan didukung Pak Bupati...Sekarang di Ngadisari ada 25 sarjana."

Penciptaan ritual Mayu Ilmu, meskipun baru berlangsung di wilayah Tengger Ngadisari, menjadi penanda betapa masyarakat Tengger di desa ini telah siap mentransformasikan dan menjalankan nilai-nilai modern berupa aspek kemajuan dan pengetahuan yang bermanfaat dalam kehidupan mereka. 

Modernisme bukan sekedar benda-benda industrial di dalam rumah, tetapi lebih dari itu, sebuah orientasi dan laku hidup yang harus dihormati, dilakoni, dan diyakini. Tugas dhukun pandhita bukanlah menolak kehadiran nilai-nilai modernitas. Sebaliknya, ia harus berkenan mengakomodasinya dalam ritual yang menjadi tradisi baru bagi masyarakat Tengger. 

Berbincang dengan Kades Supoyo di rumahnya di Ngadisari. Foto: Dok. Pribadi
Berbincang dengan Kades Supoyo di rumahnya di Ngadisari. Foto: Dok. Pribadi
Lebih jauh lagi, kemauan Sutomo untuk menyelenggarakan ritual Mayu Ilmu dengan rujukan ritual Mayu Desa dan Mayu Bumi menegaskan sebuah "penghormatan" sekaligus bentuk internalisasi dan transformasi kekuatan modernitas ke dalam alam pikir tradisional masyarakat. 

Dalam kerangka hibriditas yang demikian, budaya modern dan tradisional bukanlah dua kutub biner yang harus selalu dihadapkan sebagai musuh. Sebaliknya, dua konsepsi tersebut bisa dipertemukan dan disandingkan sebagai keyakinan dan ritual baru bernuansa hibrid yang menjadi konsensus bagi masyarakat Tengger untuk hidup di tengah-tengah keberantaraan kultural.

Hibriditas orientasi pengetahuan dalam masyarakat Tengger menjadi bukti bahwa masyarakat lokal tidak mengambil sepenuhnya nilai-nilai ideologis yang dibawa pendidikan modern, seperti sekulerisme, rasionalitas, dan individualisme. Sebagai subjek-subjek hibrid, mereka memang mengambil aspek-aspek yang membawa kemajuan dari pendidikan modern, tetapi membatasi masuknya pengaruh kebebasan mutlak yang bisa membawa sekulersisme di tengah-tengah kehidupan generasi muda. 

Kehadiran sekulerisme tentu bisa memunculkan ketidakpercayaan terhadap kebenaran religi dan ritual yang diwarisi secara turun-temurun dari para leluhur mereka. 

Dengan menjadi subjek hibrid yang berorientasi dualistik, masyarakat lokal bisa terus mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek kemajuan tanpa harus dikuasai sepenuhnya oleh paham-paham kebebasan mutlak, sehingga keyakinan terhadap tradisi akan tetap terjaga. 

Selain itu, dengan mendapatkan pendidikan modern, mereka bisa mengisi pos-pos penting dalam pemerintahan desa yang akan memberi kesempatan lebih kepada legalisasi pelestarian tradisi, tanpa intervensi dari pihak-pihak luar. 

Artinya, hibriditas orientasi pengetahuan, memungkinkan mereka untuk mendapatkan keuntungan politiko-ideologis dalam hal penguatan tradisi lokal, sehingga kuasa hegemonik modernitas tidak bisa berlangsung sepenuhnya.

Prinsip apropriasi menjadi kunci utama bagi masyarakat lokal untuk menerima dan menyerap nilai-nilai positif dari pendidikan atau ilmu modern. Sutomo, dhukun pandita Ngadisari, menegaskan:

"Sampai sekarang tidak ada ritual, baik besar maupun kecil, yang kami tinggalkan. Kami memang menerima kemajuan teknologi dan zaman, tapi kami harus dapat menyaring mana yang baik dan tidak bagi kehidupan masyarakat dan budaya Tengger. Ilmu-ilmu modern yang hadir harus melengkapi apa-apa yang sudah berlangsung dalam masyarakat dan budaya kami. Pun tentang agama, kami tetap ingin menjadi Hindu Tengger, bukan Hindu Bali."

Pendapat Sutomo menegaskan adanya kesadaran penuh terhadap pengaruh positif budaya modern, utamanya ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi tanda perubahan zaman. 

Kesiapan dan kemauan untuk menerima ilmu dan teknologi modern merupakan bentuk apropriasi yang dilakukan masyarakat lokal terhadap elemen-elemen kultural baru dari luar. Apropriasi tersebut mengarah kepada praktik transformasi berupa penerimaan budaya modern untuk melengkapi, memperkuat, dan memberdayakan budaya lokal yang masih dipertahankan hingga saat ini.

Selain untuk kepentingan pemertahanan budaya, pendidikan modern juga dimaksudkan sebagai sarana untuk bisa mendapatkan keuntungan ekonomis dari sektor pariwisata Bromo, yang selama ini memang lebih banyak melibatkan tenaga-tenaga muda dari wilayah bawah. 

Didasari atas motivasi untuk ikut menikmati rezeki pariwisata, terutama dari aspek perhotelan dan jasa-jasa wisata lainnya, para guru asal Tengger bekerjasama dengan perangkat desa dan dhukun pandita menggagas ide untuk mendirikan SMK Pariwisata. Drs. Suprapto, Kepala Sekolah SMK Pariwisata Sukapura di Ngadisari, menjelaskan:

"Saya yang awalnya punya ide pendirian SMKN Pariwisata. Ketika mendapatkan sinyal positif dari warga, saya bergerak, mengumpulkan Pak Mujo, Pak Poyo, juga Pak Yoyok, pemilik Hotel Yoschi. Ide itu muncul 2010. Ternyata mereka semua memberikan tanggapan yang sangat baik dan mendukung ide itu. Kami langsung berembug untuk membuat proposal dan mengajukannya ke Bupati. 

Beliau menyambut dengan baik pula dan meminta kami untuk membuka SMK Pariwisata. Beliau pula yang meresmikan secara langsung. Saya diserahi tugas untuk mengelola. Karena belum ada gedungnya, kami disuruh menggunakan gedung pariwisata yang berada di pendopo Ngadisari. Tahun pertama yang mendaftar banyak, 36 siswa. Karena dikira kejar Paket C. Angkatan kedua, 2012 dapat 32. 

Yang kami ajarkan adalah teknik-teknik pengelolaan hotel, dari urusan tamu sampai food and beverage, juga menjadi guide wisatawan mancanegara. Saat ini saya sudah punya kebanggaan, karena pada hari libur ketika ada momen-momen tertentu, seperti kemarin Jazz Gunung di Java Banana Cafe, pihak hotel sudah menelpon saya minta anak-anak untuk membantu. Saya ngirim 15 anak. Ya, mereka dapat bayaran. Di SMKN Pariwisata secara khusus juga diajarkan budaya Tengger. Misalnya, cara membuat kalender, sejarah dan tokoh-tokoh Tengger."

Kerjasama sinergis antara pemuka adat, pendidik, dan pemimpin formal di wilayah Tengger untuk mendirikan SMK Pariwisata menegaskan sebuah pola pikir yang sangat modern, terkait pendidikan dan hubungannya dengan peluang untuk mendapatkan keuntungan ekonomis dari pariwisata Bromo. 

Artinya, mereka tidak mau hanya menjadi penonton dari ramainya pariwisata Bromo dengan segala keuntungan finansial yang selama ini dinikmati para pemodal dan tenaga kerja non-Tengger. Mereka juga tidak hanya mau menjadi sopir jeep dan ojek kuda. Mereka juga ingin bekerja dengan cara mengikuti pendidikan kejuruan yang memang didesain untuk menjadi tenaga-tenaga profesional dalam pengelolaan pariwisata. 

Maka, selain menjadi strategi untuk terus menegosiasikan ketradisionalan, hibriditas kultural juga menjadikan masyarakat lokal tidak bisa keluar dari pengaruh diskursif modernitas, termasuk orientasi finansial.

Kesadaran untuk mengeruk rezeki dari wisata Bromo melalui jalur sekolah kejuruan memang sudah agak terlambat, melihat geliat industri pariwisata yang sudah berlangsung lama di wilayah ini. Ironisnya, semenjak Orde Baru, sektor pariwisata digerakkan oleh para pemodal dari luar Tengger; Probolinggo maupun Surabaya. 

Mereka mendirikan hotel yang melayani wisatawan mancanegara maupun domestik yang ingin menikmati indahnya matahari terbit ataupun pesona kawah Bromo. Meskipun sebagian kecil warga Tengger menyewakan rumah mereka untuk home stay para wisatawan, usaha tersebut masih kalah jauh dengan pengelola hotel yang memberikan fasilitas lebih lengkap. Sebagian kecil warga juga menyewakan jeep dan ojek kuda. 

Maka, usaha untuk mencetak tenaga-tenaga terampil yang bisa disalurkan ke hotel sebagai pramusaji maupun pemandu wisata bisa dibaca sebagai usaha untuk berpartisipasi sekaligus mendapatkan keuntungan finansial di luar penyediaan jasa home stay maupun penyewaan jeep dan ojek kuda. 

Dengan usaha ini, mereka yang terlibat dalam industri pariwisata bukan hanya warga yang berkecukupan secara ekonomi, tetapi juga generasi muda kurang mampu yang memiliki keterampilan khusus. Meskipun demikian, mereka tetap saja berada dalam posisi subordinat terhadap para pemilik hotel.

Belajar dari kasus SMK Pariwisata, apropriasi masyarakat lokal terhadap praktik dan institusi modern memang memunculkan kompleksitas tersendiri. Kompleksitas tersebut bisa dibaca dalam beberapa kerangka. Pertama, siasat untuk menjalankan mekanisme modern memang mengantarkan masyarakat ke dalam capaian-capaian ideal berupa rezeki finansial dari praktik yang dilakukan oleh para pemodal besar dari luar wilayah mereka. 

Dengan mekanisme itu pula, keuntungan finansial bukan hanya menjadi monopoli pemodal, khususnya pemilik hotel, tetapi bisa mengalir pula ke tenaga-tenaga terdidik dari wilayah lokal.

Realitas ini berkesesuaian dengan idealisasi industri pariwisata yang bisa memberdayakan komunitas. Kedua, para pemodal akan memperoleh keuntungan ekonomi-ideologis karena kehadiran mereka bisa terterima oleh cara pandang dan kekuasaan adat yang memegang peranan penting dalam mengendalikan masyarakat. 

Dengan cara merekrut tenaga-tenaga terdidik para pemodal hotel akan tetap mendapatkan "nama baik" dari tokoh adat maupun perangkat desa sehingga aktivitas mereka tetap aman. Ketiga, masyarakat Tengger senyatanya sudah tidak bisa lagi keluar dari hegemoni orientasi dan pola pikir modern, sehingga untuk mengeruk rezeki dari praktik pariwisata mereka juga perlu menjalankan siasat berwarna modern; mendirikan SMK Pariwisata. 

Dari hadirnya pendidikan modern di kawasan Bromo, kita bisa melihat betapa masyarakat Tengger tidak mungkin lagi mengelak dari modernitas dalam hal orientasi pengetahuan. Namun, mereka memiliki keliatan kultural dalam menyerap dan menjalankan apa-apa yang dianggap baik dari pendidikan modern ke dalam kehidupan mereka. Mereka juga berhasil melakukan transformasi kearifan lokal dalam wacana dan praksis yang lebih modern. 

Transformasi subjektivitas kultural dari tradisionalisme menuju hibrid mampu memberi mereka kekuatan untuk terus bersiasat secara liat menghadapi pengaruh modernitas yang setiap saat ‘menghampiri’ dan ‘bertamu’ ke dalam benak dan praktik hidup mereka. Salah satu keuntungan dari subjektivitas kultural hibrid adalah kekuatan masyarakat lokal untuk melakukan negosiasi secara ajeg tradisi yang diyakini sebagai identitas kultural warisan leluhur.

DAFTAR BACAAN 

McGuigan, Jim. (1999). Modernity and Postmodern Culture. Sage Publications.

Purwadi, Didi. (2 Agustus 2011). Muslim Tengger Galang Persatuan. www.republika.co.id.

Sulistyowati, Tutik. (2003). "Proses Institutionalization Nilai-nilai Sosial Budaya Masyarakat Tengger". Dalam Nurudin, Vina Salviana DS, & Deden Faturrohman (Ed). Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. LKiS bekerjasama dengan FISIP UMM.

Venn, Couze. (2006). The Postcolonial Challenge: Toward Alternatif Worlds. Sage Publications.

Venn, Couze. (2000). Occidentalism: Modernity and Subjectivity. Sage Publications.

WAWANCARA

Manuto, wawancara, 28 Juli 2011.

Bu Joko, wawancara, 29 Juli 2011.

Sutomo, wawancara, 23 Juli, 29 Juli, 3 Agustus 2011.

Mujono, wawancara, 28 Juli, 2 Agustus 2011. 

Supoyo, wawancara, 22 Juli, 6 Agustus 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun