Namun, dari perspektif lain, usaha-usahanya menandakan sebuah kesadaran akan pentingnya arti pendidikan bagi masyarakat karena ia dan para dhukun pandita tidak menginginkan wong Tengger dianggap terbelakang.
Ketika pemerintah  menggiatkan pendidikan anak usia dini atau yang biasa disingkat PAUD, perangkat desa Tengger tidak mau ketinggalan. Perangkat desa di Ngadisari, misalnya, menjadikan salah satu ruang di Balai Pertemuan Desa sebagai gedung sekolah PAUD.Â
Pembangunan PAUD tersebut menandakan bahwa sebagai warga negara mereka menyambut baik program-program pemerintah yang diidealisasi membawa kemajuan bagi masyarakat. Menariknya, untuk membuat para siswa PAUD tertarik dan betah belajar, kartun Sponge Bob yang sangat populer dilukis di dinding sekolah.Â
Lukisan kartun tersebut sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat Tengger sudah terbiasa dengan narasi media populer dalam kehidupan sehari-hari.Â
Bagi para perangkat desa, popularitas kartun tersebut merupakan sebuah alat untuk mensukseskan program PAUD sekaligus menggerakkan semangat untuk berpendidikan agar anak-anak tidak menjadi manusia-manusia terbelakang.Â
Lebih jauh lagi, kehadiran Sponge Bob merupakan penanda bagaimana sang Barat bukan lagi dianggap penjajah atau musuh yang harus ditakuti. Sebaliknya, ia adalah idola yang didambakan oleh anak-anak Tengger sehingga kehadirannya bisa menarik mereka ke dalam ruang dan praktik modern bernama ruang kelas dan proses pembelajaran sekaligus sebagai sahabat yang menemani mereka untuk berpendidikan.Â
Akibatnya, bukan gambar rekaan Rara Anteng dan Jaka Seger, dua tokoh legenda Tengger yang sangat dikagumi, yang perlu dilukis di tembok bangunan PAUD, karena anak-anak tentu tidak mempunyai rujukan visual populer terkait kedua tokoh tersebut. Cerita tentang mereka berdua cukup di-dongeng-kan oleh guru ataupun orang tua, sedangkan yang dihayati dalam "momen perjumpaan visual" adalah tokoh fiktif dari Barat.
Geliat pendidikan di Tengger sangat terasa saat ini. Pagi hari, 29 Juli 2011, ketika saya masih berusaha bertarung dengan hawa dingin di Desa Wonotoro, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, tampak anak-anak dengan seragam SMP dan SMA bergerombol di pinggir jalan desa.Â
Mereka menunggu "taksi" (sebutan warga Tengger untuk mobil Bison yang menjadi angkutan umum menuju Sukapura dan Probolinggo) di pinggir jalan sembari menahan hawa dingin, sekitar 10 derajat. Ketika taksi datang, anak-anak perempuan masuk terlebih dahulu. Sementara, anak-anak lelaki yang tidak kebagian tempat di duduk di dalam taksi, memilih duduk di atas taksi. Tanpa rasa takut sedikitpun karena sudah terbiasa seperti itu, mereka menuju sekolah di Sukapura.Â
Gambaran singkat tersebut merupakan sebuah bentuk perubahan pola pikir warga Tengger yang dulunya enggan menyekolahkan anak-anak mereka. Anak-anak remaja itu melawan dingin dan kabut; melampaui ketakutan terhadap jalan yang menurun dan penuh tikungan, demi mendapatkan pengetahuan di bangku sekolah.