Sekitar jam 8 pagi, saya menikmati sarapan. Di samping warung yang buka 24 jam itu, terdapat sekolah TK. Tampak puluhan anak-anak TK berlatih baris-berbaris di halaman sekolah, setelah sebelumnya senam bersama. Guru perempuan yang asli Tengger dengan sabar mengajari mereka.Â
Beberapa anak salah dalam menirukan gerakan baris-berbaris. Guru perempuan itu berusaha membenahi gerakan mereka. Tampak wajah ceria anak-anak, meksipun dingin belum juga hilang. Di depan kelas, para ibu muda menunggui  sembari melihat dengan senyum tingkah pola anak-anak mereka. Mereka harus menunda keberangkatan ke ladang sayur karena harus menunggui anak-anak.Â
Waktu mereka agak longgar bersama anak-anak karena ladang juga masih belum bisa ditanami sayur secara maksimal. Baru bawang pre yang bisa ditanam.Â
Perawatan bawang pre memang tidak senjlimet wortel, kentang, maupun kubis. Observasi singkat tersebut memberikan gambaran betapa sejak usia dini, anak-anak Tengger telah disosialisasikan dengan pentingnya pendidikan.
Bahkan, bagi keluarga yang menyadari arti penting pendidikan modern akan menyekolahkan anak-anak mereka ke SMP dan SMA di Probolinggo, jauh dari rumah dan keluarga. Bu Joko, istri dhukun pandita Wonotoro, menuturkan pengalamannya sekolah di Probolinggo sebagai berikut:
"Saya 6 tahun sekolah di SMP dan SMA Katolik di kota Probolinggo. Saya senang karena di sana saya diajarkan kedisiplinan tingkat tinggi, selain mendapatkan ilmu pengetahuan. Sistem pendidikannya seperti anak kuliah, jadi kalau ada tugas harus segera dikerjakan. Meskipun saya sekolah di Katolik, saya secara agama tidak terpengaruh, saya tetap memeluk agama Hindu Tengger. Bagi saya semua agama itu sama, hakekatnya baik semua. Cuma beda lingkungan beda tata caranya. Lihat saja agama Islam, beda aliran dan lingkungan pemeluknya sudah beda tradisinya. Anak saya yang pertama saya sekolahkah SMP di sekolah Katolik juga. Biar mendapat pelajaran tentang kedisiplinan."
Tentu bukan maksud Bu Joko untuk menyepelekan sekolah yang ada di Sukapura. Namun, pilihan untuk bersekolah di SMP dan SMA Katolik di Probolinggo yang dilanjutkan oleh anak perempuan pertamanya menunjukkan sebuah niatan untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat modern, yakni "kedisiplinan tingkat tinggi" dan "ilmu pengetahuan".Â
Pilihan tersebut merupakan bentuk orientasi terhadap aspek modernitas berupa pendidikan. Mereka ingin menatap dunia yang lebih luas; sebuah dunia yang "tidak hanya berkawan kabut", sebuah dunia yang akan menghubungkan mereka dengan wacana-wacana kemajuan dan rasionalitas.Â
Meskipun demikian, dunia baru tersebut tetap tidak bisa merubah subjektivitas mereka sebagai wong Tengger yang masih meyakini Hindu Tengger sebagai agama resmi dan menjalankan ritual-ritual warisan leluhur. Mereka berusaha memahami dunia pendidikan modern dan dunia tradisi sebagai dua kutub yang tidak harus bertentangan, tetapi bisa berjalan bersama-sama.
Ketetapan hati untuk terus memeluk agama Hindu dan menjalankan ritual memang menjadi kecenderungan umum yang berlangsung dalam masyarakat Tengger, baik di Probolinggo, Pasuruan, Malang, maupun Lumajang. Kondisi itu tentu menarik untuk ditelusuri lebih jauh lagi.Â
Karena, seperti berlangsung di wilayah Jawa yang lain, pendidikan umum yang memang cenderung sekuler banyak merubah keyakinan warga, utamanya generasi muda, terhadap tradisi leluhur mereka. Keutamaan akal perlahan menggeser kekuatan dogma tradisi yang seringkali dianggap takhayul.Â
Namun, apa yang terjadi di Tengger tidak demikian. Sutomo, dhukun pandita Ngadisari (sejak tahun 2014 diangkat menjadi Koordinator Dhukun Pandita), menuturkan:
"Mereka itu tetap madep, mantep, terhadap tradisinya sendiri, tradisi Tengger. Sepulang mereka ke sini, mereka tetap tidak membawa budaya kota ke sini. Jadi, meskipun mereka mendapat pengetahuan dan keilmuan modern, mereka tetap madep mantep terhadap ajaran leluhur. Hal itu berlaku di seluruh kawasan Tengger, baik yang berlaku di Probolinggo, Malang, Pasuruan, maupun Lumajang. Mereka takut akan kuwalat.Â
Kalau sampai mereka melanggar petuah orang tua bisa kuwalat beneran. Ya ada saja bentuknya. Biasanya hidupnya susah. Jadi, tidak omong kosong benar-benar terjadi. Bahkan para pendatang yang secara batinnya tidak meyakini dan tidak ikut menjalankan tradisi Tengger dan mereka menampakkan dalam kehidupan keseharian, mereka akan susah dalam hidup, seperti sering sakit-sakitan atau kesulitan secara ekonomi."