Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Warisan Budaya Tak Benda: Bukan Sekadar Dicatat dan Ditetapkan

26 November 2021   06:32 Diperbarui: 26 November 2021   18:54 1270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di beberapa negara seperti Jepang, Filipina, Mesir, Brasil, Nigeria, Zimbabwe, dan lain-lain, akademisi aktif menulis dan menyebarluaskan temuan-temuan penting tentang peran komunitas, negara, dan LSM dalam pendefinisian, pencatatanan dan pendokumentasian, promosi, dan pengembangan serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program perlindungan WBTB (Alchanzar, 2007; Bos-Seldenthuis, 2007; Cang, 2008; Agaku, 2008; Borges & Bolteho, 2008; Mataga, 2008). 

Penyebarluasan informasi tentang WBTB sangat dibutuhkan. Selain sebagai bukti keberadaan WBTB di sebuah wilayah yang sekaligus bisa dijadikan dasar untuk pengusulan ke UNESCO, tulisan dalam bentuk jurnal dan buku akan memberian informasi secara luas kepada akademisi global sehingga akan muncul dialog antarnegara terkait pengembangan, pemberdayaan, dan perlindungan kultural. Apa yang perlu diingat adalah bahwa keberadaan akademisi jangan hanya menjadi 'stempel dari pemerintah'. 

Lebih dari itu, akademisi harus mampu membangun wacana tata kelola kepemerintahan melalui kebijakan yang memiliki kontribusi strategis dan praksis bagi pengembangan budaya, meskipun hal itu tidak semudah membalik tangan (Bennet, 2007; McGuigan, 1996). Baik pemerintah, komunitas, maupun LSM bisa memanfaatkan temuan-temuan akademisi berbasis penelitian lapangan untuk mendesain kebijakan dan program yang lebih sesuai bagi perlindungan WBTB. Jangan sampai, temuan akademisi hanya menjadi tumpukan makalah dan artikel yang hanya digunakan sebagai bahan pertanggungjawabkan anggaran yang telah digunakan.

BUKAN (SEKEDAR) CATATAN, BUKAN (SEKEDAR) PENETAPAN: SIMPULAN

Sejatinya, beragam aktivitas perlindungan WBTB merupakan tugas peradaban yang harus dikerjakan oleh semua elemen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tugas peradaban itu menjadi penting karena keberagaman kultural di negeri 'secuil surga' ini memang tengah berada dalam fase yang harus "diwaspadai". 

Globalisasi dan peradaban digital, peradaban internet, dan peradaban android telah menggeser dan menggusur banyak ekspresi kultural yang dulu menjadi kekayaan sebuah komunitas ataupun masyarakat. Selain itu, mulai tumbuhnya fundamentalisme dan radikalisme, serta terorisme berbasis agama menjadi ancaman nyata bagi keberanian para pelaku WBTB untuk terus mengembangkan dan mewariskan kekayaan kultural kepada generasi berikutnya. 

Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah masih kurangnya pemahaman terhadap aktivitas-aktivitas yang diamanahkan dalam Konvensi 2003 menjadikan negara belum bisa menelorkan cetak biru kebijakan budaya yang benar-benar bisa memperkuat keberadaan WBTB dan para pelakunya di tingkat komunitas.

Hal ini tentu menjadi permasalahan tersendiri bagi para pelaku, utamanya dalam usaha pemertahanan dan pewarisan WBTB kepada generasi berikutnya. Kalau kondisi-kondisi tersebut terus berlanjut, bisa jadi kita akan semakin banyak menyaksikan kepunahan WBTB yang, tentu saja, berimplikasi pada semakin miskinnya peradaban dan keragaman kultural dunia. 

Sekali lagi, apa yang harus kita pahami adalah bahwa aktivitas perlindungan bukan sekedar akvitias mencatat dan medokumentasikan kemudian mengusulkannya sebagai warisan WBTB, baik di tingkat regional, nasional, maupun internasioanl. Kalau kita meyakini kegiatan tersebut sebagai kebenaran, tentu kita salah besar. 

Sejatinya, terdapat kegiatan-kegiatan lain berdimensi pengembangan, pewarisan, promosi yang membutuhkan peran dan kehadiran negara, khususnya dalam mendesain, membiayai, dan memantau keberlangsungan perlindungan WBTB. Pemberian keleluasaan terhadap komunitas untuk terlibat secara langsung dalam menentukan, mengembangkan, dan mewariskan WBTB di wilayah mereka tentu tetap membutuhkan peran negara, termasuk akademisi dan LSM, dalam dalam banyak kasus LSM dan akademisi---tanpa bermaksud menjadikan mereka manja dan tergantung. 

Dengan kata lain, kerjasama sinergis antara pemerintah, komunitas, LSM, dan akademisi bisa menjadikan program-program perlindungan bukan lagi menjadi konsumsi dalam seminar, tetapi benar-benar bisa dilaksanakan dan berdaya-guna untuk keberagaman WBTB di Indonesia dan dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun