Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Warisan Budaya Tak Benda: Bukan Sekadar Dicatat dan Ditetapkan

26 November 2021   06:32 Diperbarui: 26 November 2021   18:54 1270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masyarakat Tengger dan Using sudah membuktikan kemampuan apropriatif dan transformatif masyarakat terhadap masuknya pengaruh budaya global ke dalam kehidupan sehari-hari mereka (Setiawan, 2009; 2012a; 2012b). Para seniman ludruk di Mojokerto dan sekitarnya mampu bertahan dengan memasukkan atraksi-atraksi menarik seperti transvesti show dan naskah-naskah yang kontekstual dengan kondisi sekarang, karena tidak mungkin lagi mempertahankan pertunjukan ludruk seperti pada masa keemasan di era 80-an sampai 90-an awal (Setiawan & Sutarto, 2014).

Meskipun demikian, kita tidak bisa menutup mata bahwa pewarisan WBTB kepada pewaris aktif dan pasif menghadapi banyak kendala karena mereka semakin terbiasa dengan produk-produk kultural global di wilayah lokal. Suka atau tidak, saat ini kita menyaksikan semakin berkurangnya tradisi dan ekspresi lisan sebagai akibat semakin populernya internet, televisi, film, dan lain-lain. 

Budaya yang berbasis pada kelisanan pertama digeser oleh budaya yang berbasis kelisanan kedua yang memediasi aspek kedekatan dan ke-interaktif-an dalam tradisi lisan dalam kecanggihan teknologi simulasi. Orang dibuat seperti masih mengalami kelisanan, tetapi sebenarnya kelisanan yang dikendalikan. Semakin populernya bahasa nasional dan bahasa asing yang 'diwajibkan' dalam sistem pendidikan kita juga berpotensi semakin memarjinalkan bahasa lokal sehingga secara langsung akan menggusur kekayaan tradisi lisan.  

Memang masih ada regenerasi tayub di Nganjuk, Tuban, dan Lamongan, tetapi peminatnya dari waktu ke waktu juga tidak semakin banyak. Selain itu, kearifan-kearifan yang ada dalam tradisi tayub maupun gandrung juga semakin bergeser ke dalam perilaku profan para pewaris pasifnya di mana kegiatan minum bir pabrikan menjadi  semakin biasa dan tidak bisa ditolak. 

Penonton dari kaum remaja dan generasi muda juga semakin sedikit karena sebagian besar dari mereka hanya menonton tayub dan gandrung untuk membeli makanan atau barang-barang lain. Musik made in Jakarta, dangdut koplo, atau, bahkan, hip-hop Amerika lebih menarik bagi mereka. Maka, cerita tentang kekuatan Dewi Sri atau tradisi menghormati bumi sebagai cikal-bakal tayub menjadi hilang dari ruang desa.

Globalisasi diakui oleh UNESCO dan para pakar berkontribusi bagi keseragaman kultural karena pengaruh hegemonik budaya metropolitan yang secara langsung menyebabkan semakin terpinggirkannya dan hilangnya WBTB. Dalam konteks kekayaan kultural, tentu saja kenyataan tersebut bisa memunculkan kekhawatiran global, sehingga dibutuhkan seperangkat aturan untuk mencegah kepunahan "budaya yang masih hidup" di masyarakat. 

Karena, sebagaimana dijelaskan oleh Lenzerini (2011: 101), keseragaman bukan hanya berarti hilangnya warisan kultural (dikonsepsikan sebagai keseluruhan perwujudan yang paling tampak dari kelompok dan komunitas manusia yang berbeda satus sama lain), tetapi juga standarisasi manusia yang berbeda serta identitas sosial dan kultural menjadi cara hidup stereotip, cara berpikir, dan cara mempersepsikan dunia yang sangat terbatas. 

Keberagaman budaya merefleksikan keberagaman manusia yang secara khusus berhubungan dengan WBTB, karena warisan tersebut merepresentasikan ekspresi hidup dari komunitas-komunitas yang berbeda. Menjadi sumber pertukaran, inovasi, dan kreativitas, keragaman kultural sangat penting bagi kemanusiaan serta terhubung erat dengan perlindungan WBTB. Pengakuan dan penghormatan mutual sangat penting untuk mempromosikan harmoni dalam hubungan antarbudaya, melalui penumbuh-kembangan penghargaan dan pemahaman yang lebih baik terhadap perbedaan di antara komunitas manusia.

Selain globalisasi, keberagaman WBTB sebagai pembentuk kekayaan kultural dunia juga mendapatkan ancaman dari ideologi puritanisme serta kegiatan terorisme. Kita tentu sudah sering membaca berita betapa hancurnya situs purbakala yang menjadi warisan budaya bendawi di Irak, Suria, Yaman, Sudan, dan beberapa negara lain di Timur Tengah yang sedang dilanda konflik politik berkelanjutan. 

Puritanisme yang menganggap bahwa hal-hal di luar ajaran agama sebagai kesalahan merupakan ancaman nyata terhadap kekayaan WBTB. Ritual-ritual sebelum masa panen padi mulai ditinggalkan karena dianggap bertentangan dengan prinsip keesaan Tuhan.  Ritual menghormati pohon besar di dusun sudah mulai disepelekan karena dianggap menyembah jin. 

Demikian pula terorisme atas nama agama yang menjadikan ritual atau pengetahuan lokal sebuah masyarakat dianggap syirik sehingga harus dihentikan dan kalau perlu dimusnahkan. Ancaman itulah yang menjadikan banyak pelaku kultural yang menghentikan kegiatan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun