Keterlibatan Komunitas, LSM, dan Akademisi
Komunitas-komunitas kultural serta masyarakat Indonesia sebenarnya memiliki kepedulian yang cukup besar terhadap pengembangan WBTB, karena mereka membutuhkannya untuk memperkuat ikatan solidaritas dan identitas di tengah-tengah kecenderungan seragamisasi kultural akibat globalisasi.Â
Wong Tengger, misalnya, masih merawat dan mengkonstekstualisasikan ajaran religi, ritual, dan pengetahuan kosmologis-ekologis warisan leluhur dalam kehidupan mereka yang semakin modern saat ini. Para seniman Banyuwangi masih berusaha mengembangkan dan mengeksplorasi tari gandrung dalam konteks kekinian dengan cara mendirikan sanggar-sanggar seni demi menegosiasikan budaya lokal di tengah-tengah globalisasi (Subaharianto, Tallapessy, & Pujiati, 2013).Â
Para seniman ludruk dan tayub masih terus melakukan pertunjukan di wilayah pedesaan sebagai basis kultural yang mulai mendamba modernitas sebagai selera dan orientasi kultural (Sutarto, Setiawan, & Tallapessy, 2013). Artinya, karena mereka juga punya kepetingan kultural dan ekonomis. Meskipun tidak semua anggota masyarakat menyukai, mereka tetap berusaha melakukan aktivitas pendidikan, pewarisan, dan melanjutkan pertunjukan yang menjadi aspek-aspek penting dalam perlindungan WBTB.Â
Masalahnya adalah seringkali mereka harus 'berjalan sendirian', tanpa kehadiran negara dalam aktivitas-aktivitas tersebut. Kalaupun ada uluran tangan pemerintah, biasanya diberikan dalam bentuk kucuran dana yang seringkali jatuh ke komunitas atau seniman yang 'dekat' dengan birokrat. Â Tentu saja, hal itu hanya memunculkan konflik baru dalam pemberdayaan WBTB.
Dalam ranah komunitas dan masyarakat secara luas, selain bisa terlibat dalam aktivitas pencatatan dan pendokumentasian, mereka juga bisa terlibat secara aktif dalam aktivitas pendidikan untuk pewarisan. Bisa dilakukan dalam ranah keluarga maupun dalam ranah komunitas melalui pendirian sanggar atau pemberian pelatihan kepada generasi muda tentang WBTB tertentu yang ada dalam komunitas mereka.Â
Di masyarakat Tengger, misalnya, selain dilakukan di Pura desa, aktivitas pewarisan ritual dan pengetahuan kosmologis-ekologis juga dilakukan oleh pihak keluarga dalam suasana informal. Lebih dari itu, dalam sebuah masyarakat yang multi-agama, apa yang perlu dilakukan adalah memberikan pemahaman kepada tokoh atau anggota masyarakat yang kurang sepaham dengan nilai dan praktik tertentu dalam WBTB, agar mereka tidak menjustifikasinya sebagai perbuatan yang melanggar agama. Memberikan informasi yang bersifat kontekstual, dinamis, dan transformatif terkait WBTB bisa menjadi cara untuk mengurangi justifikasi dan stigmatisasi berdasarkan paham agama tertentu.
Sementara, peran LSM bersifat strategis, khususnya dalam usaha untuk memberikan pendampingan bersifat konsultatif dan solutif untuk permasalahan yang dihadapi komunitas. Termasuk, memberikan alternatif pengembangan potensi WBTB yang eksis dalam sebuah komuintas atau masyarakat.Â
Tentu saja, keterlibatan LSM tidak harus memunculkan ketergantungan akut komunitas atau masyarakat terhadap mereka. Sebaliknya, LSM harus mampu mentransformasi mereka ke dalam kesadaran dan perilaku mandiri dalam mengembangkan WBTB di wilayah masing-masing. Dalam pelaksanaannya, LSM bisa melakukan koordinasi strategis dengan pemerintah dan akademisi agar aktivitas pendampingan selaras dan sejalan dengan kebijakan yang ditetapkan negara.
Adapun akademisi  lebih berperan dalam aspek saintifik seperti (a) pemetaan dan penelitian yang melibatkan komunitas, (b) menuliskan dan mendiseminasi temuan-temuan penting terkait potensi, permalasahan, dan dinamika WBTB pada masing-masing negara, (c) memberikan masukan dan evaluasi terhadap pemerintah, komunitas, dan LSM terkait keberlangsungan program perlindungan terhadap WBTB.Â