AWAL(-AN)
Dalam sebuah percakapan santai di pagi hari bulan Agustus 2015, di ruang tamu rumahnya yang sangat sederhana di Kedaleman (Kemiren, Banyuwangi), Mbok Temu Misti, maestro tari dan tembang gandrung, menuturkan bahwa ia kesulitan untuk mencari penerus gandrung terob. Bukan hanya karena gempuran modernitas, tetapi juga masih kuatnya stigmatisasi penari gandrung serta ketidakjelasan kebijakan dari pemerintah kabupaten terkait masa depan gandrung terob.Â
Dari kasus Mbok Temu tersebut kita bisa mengajukan pertanyaan: apakah pemerintah selama ini serius ingin melindungi dan memperkuat warisan budaya tak benda? Kalau iya, mekanisme seperti apa yang sudah atau yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah serta peran yang bisa dimainkan oleh komunitas? Apakah cukup dengan mencatat dan menetapkan sebuah bentuk atau ekspresi kultural dengan label "warisan budaya tak benda" yang diakui secara nasional oleh pemerintah pusat atau secara internasional oleh UNESCO? Â Â
Tulisan ini akan mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tersebut berdasarkan konsep-konsep yang dimuat dalam the 2003 UNESCO Convention for the Safeguarding of the Intangible Culture (Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda UNESCO 2003, selanjutnya disingkat Konvensi 2003) serta perspektif yang dikembangkan oleh para pakar yang menangani permasalahan "warisan budaya tak benda" (selanjutnya disingkat WBTB).Â
Pertama-tama, saya akan mengupas beberapa pemahaman dasar terkait WBTB dan ranah-ranah kultural yang bisa dimasukkan ke dalamnya sesuai dengan Konvensi 2003. Kedua, signifikansi perlindungan terhadap WBTB dalam konteks lokal, nasional, dan global. Ketiga, peran yang bisa dimainkan pemerintah, komunitas, LSM, dan akademisi dalam perlindungan WBTB.Â
Paling tidak, tulisan singkat ini bisa memberikan pemahaman awal betapa membincang WBTB bukan sekedar membanggakan dan mencatat keunggulan warisan kultural bangsa ini, tetapi membutuhkan kebijakan pemerintah yang jelas serta sinergi antarelemen dalam masyarakat sehingga aktivitas perlindungan sebagaimana diidealisasi oleh UNESCO bukan sekedar menjadi utopia di tengah-tengah semakin kuat dan massifnya pengaruh budaya global yang berpotensi menyeragamkan kekayaan kultural masyarakat lokal.Â
MEMAHAMI DEFINISI
Apakah semua seni pertunjukan, ritual, bahasa lokal, pengetahuan tradisional bisa dikategorikan sebagai warisan budaya tak benda? Konvensi WBTB 2003 menjelaskan warisan budaya tak benda sebagai:
praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, skills, termasuk alat, objek, artifak, dan ruang kultural yang berkaitan dengannya yang diakui sebagai bagian dari warisan budaya mereka oleh komunitas, kelompok, dan, dalam beberapa kasus, individu-individu. WBTB ini, diwariskan dari generasi ke generasi, secara ajeg dicipta-ulang oleh komunitas dan kelompok dalam merespons lingkungan mereka, interaksi mereka dengan alam dan sejarah mereka, serta memberikan mereka makna identitas dan keberlanjutan, sehingga mempromosikan penghormatan terhadap keberagaman kultural dan kreativitas manusia. Â (Pasal 2 Ayat 1)
Definisi tersebut membutuhkan elaborasi mendalam karena bisa memunculkan salah persepsi yang berimplikasi kepada kesalahan dalam penerapan kebijakan. Kurin (2007) menjelaskan beberapa pemahaman terkait definisi WBTB. Pertama, WBTB adalah 'warisan hidup' yang dipraktikkan dan diekspresikan oleh para anggota komunitas kultural seperti dalam bentuk tradisi lisan, tembang/kidung, seni pertunjukan, ritual, keahlian kriya dan seni, dan sistem pengetahuan lokal.Â