Meskipun terdapat perbedaan pandangan menyikapi persoalan-persoalan tertentu dalam Empat Mata, di antara mereka tidak sampai terjadi perdebatan sengit. Semua perbedaan pandangan itu kembali lebur ketika mereka kembali tertawa menikmati guyonan Tukul. Ini merefleksikan kehidupan sehari-hari mereka yang sangat akrab satu sama lain, dan sepengetahuan saya tidak pernah terlibat konflik, termasuk dalam urusan-urusan kecil kehidupan kos.
Kesamaan latar belakang kultural dan pilihan akademis, menjadikan mereka bertiga individu-individu yang berorientasi-sosial dengan menghindari konflik-konflik sekecil apapun. Dan betapa Empat Mata mampu menjadi medium dan ritual untuk semakin mempererat relasi sosial di antara mereka setelah seharian bergelut dengan urusan akademis individual di kampus.
C. Proses Akademis Sembari Menonton
Perilaku menonton mereka yang penuh dengan tawa dan relaksasi, ternyata dalam beberapa hal, tidak membuat mereka sepenuhnya lepas dari aktivitas-aktivitas yang masih berkaitan dengan urusan akademis. Pak Parwata dan Pak Wayan dalam beberapa kesempatan masih membawa bacaan (buku maupun jurnal pertanian) dan draft tugas ke depan TV. Sementara, Pak Agung tidak pernah melakukannya ia memang sudah tidak ada kuliah.
Pak Wayan dan Pak Parwata biasanya akan membaca atau mengoreksi draft tugas ketika jedah iklan, itupun kalau tidak ada pembicaraan di antara mereka. Meskipun tidak bisa sepenuhnya berkonsentrasi, mereka tetap melakukan ‘proses akademis’, terutama ketika menjelang ujian kelas ataupun deadline matakuliah tertentu. Tentang kondisi itu, Pak Wayan mengatakan: “Ya, lumayanlah, ngoreksi dikit-dikit. Soalnya, malam ini tugas harus selesai, besok dikumpulkan. Tetapi, enakan nonton Tukul dulu, setelah itu kan lebih fresh baru nglembur memperbaiki draft.”
Hal itu, di satu sisi, menunjukkan betapa dalam kondisi apapun, mereka akan berusaha menonton Empat Mata karena terdapat sisi positif yang mereka harapkan yakni sesuatu yang fresh. Di sisi lain, ‘proses akademis’ yang tengah berlangsung, menyiratkan satu disiplin yang dilakoni kedua kandidat doktor, bahwa dalam kesempatan apapun mereka harus berusaha untuk konsisten dengan dunia akademis yang mereka pilih. Menonton Empat Mata, dengan demikian, telah menjadi ruang negosiasi antara kepentingan akademis dan kepentingan relaksasi.
D. Antara Mentertawakan Diri-Sendiri dan Mentertawakan Tukul
Sebagian besar pengamat media menilai bahwa keberhasilan Empat Mata adalah terletak pada konsep mentertawakan diri sendiri yang direpresentasikan oleh Tukul dan juga para bintang tamu. Artinya konsep tersebut sesuai dengan tradisi lisan yang berkembang, baik dalam masyarakat kota maupun desa yang masih banyak melakukan aktivitas ‘mentertawakan diri sendiri’ atau ‘memperolok diri sendiri’ ketika mereka tidak mampu menyelesaikan suatu persoalan atau sehabis melakukan perbuatan-perbuatan yang konyol. Dengan menonton Empat Mata berarti para pemirsa menemukan representasi diri mereka dalam mentertawakan diri-sendiri.
Dari perilaku menonton ketiga kandidat doktor sekilas terlihat betapa mereka, pada dasarnya, hanya mentertawakan apa-apa yang dilakukan Tukul dan juga para performer lainnya, seperti Vega (pembawa minuman) dan Peppi (penabuh konga dan pembaca kuis) serta para bintang tamu.
Di sini sangat tampak betapa menonton Empat Mata menjadi aktivitas eskapis dari rutinitas sehari-hari, meskipun tidak sepenuhnya karena mereka masih saja membaca buku atau draft serta memberikan komentar-komentar kritis. Namun, di sisi lain, bagi mereka, aktivitas menonton Empat Mata adalah sebuah cara untuk mentertawakan diri sendiri. Ketika saya menanyakan pandangan mereka tentang persoalan itu, Pak Wayan mengatakan: “Sebenarnya ketika saya menonton Tukul, itu kan saya ikut mentertawakan diri sendiri juga.
Cuma, dalam kehidupan sehari-hari saya sering mentertawakan diri sendiri dalam hati, apalagi sehabis melakukan perbuatan-perbuatan lucu yang sekaligus memalukan, seperti sehabis presentasi tugas dimana saya kurang mampu menjawab pertanyaan tetapi saya berusaha ngotot untuk menjawab”.