KETENARAN EMPAT MATA DAN TUKUL: PEMAHAMAN TEKSTUAL & KONTEKSTUAL
Sebagai tayangan talk show komedi, Empat Mata tidak langsung memperoleh popularitas ketika muncul pertama kali pada tahun 2006. Namun dengan perjuangan dari tim kreatif dalam mengonsep tampilan per episode dan ditunjang sosok Tukul yang mampu memunculkan kreativitas komedi, jadilan tayangan ini sebagai produk televisi yang cukup populer.
Paling tidak, terdapat dua faktor yang membuat Empat Mata begitu populer sehingga mampu menarik banyak pengiklan dalam setiap episode. Pertama, faktor talenta komedi Tukul Arwana. Tukul mampu menciptakan ungkapan dan guyonan ala "wong ndeso" dan dipadukan dengan ungkapan bahasa Inggris yang amburadul sehingga menjadi trade mark.
Ungkapan seperti "Puas-puas", "Katrok", "Wong Ndeso", maupun "Tak Sobek-sobek", mampu menjadi penanda eksistensial tayangan ini. "Just kiding, just for laugh" dan ungkapan bahasa Inggris lain yang dilafalkan dengan sekadarnya, seringkali salah, semakin memperkuat kesan komedis.
Ungkapan-ungkapan ala wong ndeso yang semula asing di telinga warga kota, dengan segera mampu menjadi kode-kode kultural yang mampu menyebar dan menembus batas-batas kultural para penonton. Ungkapan-ungkapan itu didukung dengan aksi-aksi spontan Tukul yang cukup khas.
Tukul suatu saat bisa sangat serius, namun pada saat yang lain dia bisa berjalan merangkak ataupun membersihkan sepatu bintang tamu. Tukul juga bisa dengan genit menggoda para bintang tamu. Hal lain yang tidak bisa dilepaskan dari tayangan ini adakah cipika-cipiki dan juga guyonan yang dalam batas-batas tertentu dikatakan 'nyrempet porno'. Kedua adalasan inilah yang menjadikan KPI menegur tim kreatif dan pihak Trans 7.
Kedua, adalah kemampuan tim kreatif dalam menggagas tema-tema keseharian yang sudah biasa dirasakan oleh banyak orang dalam konsep perbincangan yang begitu cair, seperti: (a) romantisme antara pasangan suami- istri, (b) kedekatan anak dan orang tua, (c) keperkasaan, (d) ukuran keseksian, dan lain-lain.
Dalam hal ini, Empat Mata mampu memberikan satu sentuhan baru, tentang sebuah konsep perbincangan dengan selebritas. Artinya, selebritas banyak diperbincangkan secara sepihak oleh media dalam format infotainmen gosip. Beragam acara gosip telah menjadikan acara tersebut sesuatu yang biasa, bahkan cenderung menjenuhkan.
Sementara tim kreatif Empat Mata mampu menampilkan mereka dalam format lain: mereka yang bisa tertawa dengan lepas, bebas dari beban pemberitaan gosip, ketika membicarakan persoalan-persoalan orang kebanyakan. Dengan kata lain, para selebritas mampu mentertawakan diri mereka sendiri ditemani sosok Tukul yang mampu memancing keluarnya ekspresi tawa.
Ketiga, tim kreatif dan Tukul mampu menghadirkan logika pascamodern yang jungkir balik. Selama ini industri media banyak dipenuhi oleh wajah-wajah cantik dan tampan yang lebih berorientasi indo yang memang pada satu masa tertentu menjadi kekuatan hegemonik di layar kaca.
Namun, kuasa hegemonik tersebut tidak pernah berlangsung dalam kepastian karena akan selalu muncul kontra-hegemoni dalam bentuk inovasi kreatif. Konstruksi hegemonik indo segera saja dikacau-balaukan oleh kehadiran sosok Tukul Arwana yang bertampang ndeso dengan ungakapan-ungkapan yang selain konyol, tetapi bisa juga filosofis, semisal "kristalisasi keringat", "giat berjuang dan bekerja", dan lain-lain. Dalam industri media, kebaruan acara dan kecerdasan tematik, merupakan salah satu faktor penentu popularitas.