Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masyarakat Tengger: Menanam Sayur-mayur, Merangkul Modernitas

20 November 2021   23:01 Diperbarui: 20 November 2021   23:05 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lanskap gunung di Tengger dalam lukisan era kolonial Belanda. Dok. Collectie Tropenmuseum Belanda

Pada sebuah pagi berkabut, 5 Agustus, 2009, di tepi jalan Desa Ngadisari, saya berbincang santai dengan seorang pemuda Tengger bernama Handi. Pemuda berumur 27 tahun ini mengenakan jaket ketat yang sedang populer, celana jeans, topi, sembari menyelempangkan sarung di lehernya. 

Ketika saya bertanya tentang kegiatan kaum muda Tengger dalam ranah pertanian, Handi bertutur bahwa sehari-hari kalau sedang musim tanam, ia dan kawan-kawannya biasanya ikut ke ladang, karena dari situlah sumber kehidupan wong Tengger. Beberapa kawannya juga menjadi sopir jeep, mengantar para wisatawan ke Bromo dan Penanjakan. 

Biasanya, Selepas panen, mereka akan mendapatkan uang dari orang tua untuk membeli pakaian. Biasanya Handi dan kawan-kawannya juga membeli pakaian menjelang Hari Raya Karo, semacam lebaran. Mereka harus menerima tamu dan bertamu ke rumah kerabat dan tetangga, makanya harus tampil bagus. Kaum muda di Ngadisari sering mengenakan pakaian-pakaian modis yang dibeli dari kota, dalam kehidupan sehari-hari.

Ucapan Handi tentang "tegal sebagai sumber kehidupan" menegaskan betapa pentingnya pertanian sayur-mayur bagi keberlangsung hidup masyarakat Tengger. Kebiasaan mereka untuk mengenakan pakaian modis, lebih dari itu, membuktikan bahwa pertanian komersil menjadikan masyarakat Tengger terbiasa mengkonsumsi benda-benda modern buatan pabrik serta menghubungkan mereka dengan citra-citra kemajuan, salah satunya melalui pakaian. 

Panorama di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Dok. Dias Fannah, Wikimedia Commons
Panorama di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Dok. Dias Fannah, Wikimedia Commons

Secara historis, proses kultural seperti yang dilakoni oleh Handi dan kawan-kawannya sudah berlangsung lama sebagai akibat pertanian komersial yang dijalani wong Tengger. Sebelum melakukan intensifikasi pertanian dengan tanaman sayur-mayur, masyarakat Tengger adalah petani subsisten yang menanam jagung varietas lokal berusia 9-10 bulan sebagai tanaman utama sekaligus makanan pokok. 

Pertanian subsisten melahirkan cara pandang hidup dan praktik budaya yang mengedepankan kesederhanaan, keharmonisan, dan kebersamaan. Wong Tengger, misalnya, tidak terlalu mengedepankan orientasi pada kemelimpahan duniawi, tetapi lebih mengutamakan capaian sederhana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang bisa diperoleh dari ladang jagung. 

Dalam kerja-kerja pertanian, mereka juga mengedepankan gotong-royong, baik dengan meminta bantuan kepada sesama anggota keluarga dan kerabat maupun tetangga. Artinya, upah pekerjaan diwujudkan dengan membantu kerja pertanian kerabat atau tetangga yang pernah membantu kerja serupa. 

Selain itu, kedekatan mereka dengan alam dan penghormatan terhadap kekuatan dewata, menjadikan warga Tengger selalu mementingkan ritual-ritual sebagai doa kepada penguasa jagat, ruh-ruh nenek moyang, dan alam semesta. Namun demikian, kehadiran pertanian modern yang dibawa kolonialisme Eropa, telah mengantarkan masyarakat Tengger ke dalam "alam antara": antara tradisional dan modern.

Wong Tengger sebenarnya mulai menanam sayur-mayur sejak era kolonial Belanda. Mereka menanam sayur-mayur untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Eropa dan Cina, terutama di kota-kota besar, seperti Surabaya dan sekitarnya. Meskipun demikian, jumlahnya tidak terlalu massif. 

Masyarakat Tengger baru menanam secara massif sayur-mayur pada periode 70-an. Meskipun tanpa diminta oleh pemerintah rezim Soeharto, seperti di wilayah-wilayah dataran rendah, masyarakat Tengger berinisiatif untuk menanam tanaman komersial. Hefner (1999: 15-16) mengatakan: 

...pada tahun 1970-an mereka merasa tergelitik oleh berbagai inovasi revolusi hijau yang berlangsung di dataran rendah. Respons mereka tidak menunjukkan watak konsevatif seperti yang biasanya dituduhkan kepada petani. Sebelum pemerintah mengkampanyekan  pada mereka, para petani gunung itu telah mencari bibit-bibit baru dan obat-obatan dengan usaha sendiri. Mereka melakukan berbagai percobaan teknik tanam. Akhirnya mereka menemukan sejumlah jenis tanaman yang dapat menaikkan produksi mereka. Tanpa petunjuk dari pemerintah, para petani gunung telah melancarkan revolusi hijau sendiri.

Masyarakat Tengger melakukan uji-coba pertanian dengan teknik revolusi hijau versi mereka sendiri karena sebelumnya mereka sudah pernah menanam sayur-mayur untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Eropa dan Cina. Keuntungan finansial yang dihasilkan dari praktik pertanian sayur-mayur menjadikan mereka tertarik untuk meniru ketika muncul perkembangan-perkembangan baru terkait dunia pertanian, seperti bibit baru yang lebih menjanjikan ketika panen. 

Ladang di Ngadisari. Foto: Dok. Pribadi
Ladang di Ngadisari. Foto: Dok. Pribadi

Apa yang menarik adalah inisiatif wong Tengger untuk mencari sendiri bibit dan obat yang bisa mendukung pertanian sayur-mayur mereka. Artinya, mereka dengan sadar menjalankan pertanian modern karena dianggap lebih bisa memakmurkan. Pertemuan dengan tradisi pertanian kolonial yang diyakini lebih menguntungkan menjadikan masyarakat melakukan revolusi pola pikir yang menerobos tradisi subsisten yang dijalankan pada masa pra-kolonial. 

Akibatnya, ketika mesin rezim Orde Baru hadir dengan para penyuluh lapangan yang memperkenalkan bibit baru, pestisida, dan pupuk, dengan cepat pula mereka menerima. Dengan kata lain, endapan dalam benak mereka tentang pertanian sayur-mayur di era kolonial berkontribusi besar bagi penerimaan masyarakat Tengger terhadap revolusi hijau.

Periode Orde Baru memang menjadi masa di mana masyarakat lokal di sebagian besar wilayah Jawa, khususnya, dan Indonesia, pada umumnya, memasuki era pertanian komersial secara massif. Kebijakan Trilogi Pembangunan yang terdiri atas stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan hasil-hasil pembangunan menjadi formula baku untuk merancang kemajuan bangsa. 

Langkah konkrit bagi pertumbuhan ekonomi adalah memperbanyak investasi dalam bidang perindustrian, baik modal asing maupun swasta nasional, serta melakukan revolusi hijau dalam bidang pertanian. Program pembangunan Orde Baru, pada dasarnya, merupakan perwujudan proyek modernitas yang diintrodusir ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan. 

Canclini (1995: 12-13) mengidentifikasi empat elemen utama dari poyek modernitas. Pertama, proyek emansipasi, menekankan pada sekulerisasi dan rasionalisasi ranah kultural, pengaturan individu-individu yang siap berkompetisi, dan individualisme. Kedua, proyek ekspansif, memprioritaskan pada perluasan pengetahuan untuk bisa menguasai alam serta peningkatan produksi, sirkulasi, dan konsumsi barang-barang industri. 

Ketiga, proyek renovasi, melibatkan kedua aspek sebelumnya untuk memenuhi peningkatan secara ajeg, inovasi yang disesuaikan dengan hubungan pada alam, pembebasan masyarakat dari petuah-petuha suci, serta reformulasi terus-menerus tanda-tanda pembeda dalam konsumsi massa. Keempat, proyek demokratisasi, menegaskan bahwa gerakan modernitas yang diajarkan dalam pendidikan, penyebaran seni, dan pengetahuan dikhususkan untuk meraih evolusi rasional dan moral yang bisa dirasakan semua umat manusia. 

Dalam konteks Indonesia di masa Orde Baru, proyek emansipasi dijalankan melalui pendidikan yang mengadopsi kurikulum Barat dengan orientasi kemajuan nalar/rasionalitas, dari level sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pendidikanlah yang diwacanakan akan mampu menciptakan manusia-manusia unggul yang siap berkompetisi di masa depan.

Efek dari pendidikan adalah kemampuan untuk menggunakan nalar dalam melihat permasalahan serta menggeser pemikiran-pemikiran feodal dan mistis yang dianggap terbelakang. Apa yang paling tampak luar biasa dari rezim Orde Baru adalah pengembangan proyek ekspansi terhadap sumber-sumber kekayaan alam, baik tambang maupun hutan, serta penerapan revolusi hijau dengan alasan peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Terlepas dari keberadaan proyek-proyek lainnya, satu pengaruh terbesar dari pembangunan menuju Indonesia modern adalah penyebaran kapitalisme sebagai rezim kebenaran yang mengkerangkai dan mengarahkan pola pikir dan praktik hidup masyarakat, dari kota hingga desa. 

Faruk (1995: 84-85) menjelaskan bahwa kebijakan ekonomi Orde Baru yang terbuka dan kapitalistis telah menyulap dunia masyarakat Indonesia menjadi dunia yang sama sekali baru. Konsep dan kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi telah menempatkan uang di pusat segala aktivitas manusia-manusianya. 

Lembaga-lembaga produksi dan konsumsi menjamur seperti pabrik, pasar, supermarket, bank, ratusan media massa, dan yang lain. Berbagai benda dan berbagai hal diperlakukan sebagai alat tukar: hasil pertanian, jasa pelayanan, suasana kenyamanan, citra-citra tubuh, dan lain-lain.

Untuk memperluas jangkauan ekonomi-politik pembangunanisme ke wilayah pegunungan, termasuk pegunungan Tengger, rezim Orde Baru menggalakkan program pembangunan jalan aspal guna mempermudah akses masyarakat dan mobilitas produk-produk pertanian serta memperlancar alur distribusi produk-produk industrial dari kota ke wilayah atas. 

Hefner (1999: 3) menjelaskan bahwa pada awal era 1970-an dampak dari progam pembangunan mulai terasa di wilayah pegunungan Jawa. Di Pegunungan Tengger, pengaspalan jalan memudahkan transportasi kendaraan bermotor, barang-barang konsumsi, serta semakin banyaknya campur tangan pemerintah. 

Para petani yang mampu membeli pestisida dan pupuk mengubah tanaman pangan jagung dengan tanaman komersial, sayur-mayur. Akibat melimpahnya panen, kendaraan bermotor dan televisi Jepang mulai menggantikan tradisi slametan sebagai simbol kemakmuran dan prestise. 

Bagi Hefner, dalam banyak aspek kehidupan, tampaknya, masyarakat Tengger yang dulu dengan bangga pernah menghindari hirarki dan ketidaksamaan sosial seperti yang terjadi di dataran rendah, kini mendapatkan dirinya sebagai bagian masyarakat Jawa yang lebih luas. 

Berubahnya sistem produksi pertanian dan konsumsi menyebabkan pergeseran dan perubahan pada level ideologis-kultural. Pilihan untuk menjalankan pertanian komersial yang menghubungkan wong Tengger dengan pasar sayur-mayur regional dan nasional, telah memberikan keuntungan finansial melimpah. 

Rezeki finansial tersebut memungkinkan mereka membeli barang-barang konsumsi dari kota serta menghubungkan mereka dengan wilayah bawah yang sedang bergerak menuju modernitas. Batasan tradisional tentang wong gunung yang tidak suka pamer harta, tidak membeda-bedakan sesama, dan hidup dalam kesederhanaan, perlahan mencair. Maka, "sebuah dunia ideal gunung" dengan kekuatan identitas dan otoritas tradisionalnya sedang 'tenggelam' akibat masuknya pertanian komersil dan budaya konsumsi. 

Perubahan menuju pertanian komersial ikut mempengaruhi selera kultural masyarakat lokal, sehingga beberapa aspek budaya lokal, seperti rumah yang dianggap menyatu dengan keyakinan kosmologis tradisional, ikut mengalami perubahan model arsitektur. Dalam ingatan Mujono, Koodinator Dhukun Pandhita (meninggal pada tahun 2014) sejak zaman Bung Karno, meskipun belum massif, mulai muncul usaha memperbaiki hidup melalui pertanian sayur-mayur. 

Meskipun demikian, wong Tengger pada masa itu masih menggantungkan kepada tanaman jagung. Namun, tanaman jagung ternyata tidak membawa perbaikan hidup, sehingga akhirnya masyarakat memutuskan menanam kentang, wortel, kubis, dan bawang pre yang laku di pasar. Dimulai pada era 1970-an akhir. Pada awal 1980-an, masyarakat mulai membangun rumah tembok dengan model kota. 

Memang di sebagian kecil rumah tembok tersebut, masih ada ruang khusus untuk semedi, seperti pada rumah kayu. Namun, sebagian besar sudah tidak ada. Yang tetap dipertahankan memang perapian. Untuk ngobrol sesama anggota keluarga atau tamu kerabat atau sesama warga Ngadas. Adapun tamu dari luar, biasanya dijamu di ruang tamu depan.

Bersama Koordinator Dhukun Pandita, Mujono. Foto: Dok. Pribadi
Bersama Koordinator Dhukun Pandita, Mujono. Foto: Dok. Pribadi
Ideologi kemakmuran yang menjadi orientasi dominan dalam masyarakat di level nasional, nyatanya diikuti oleh masyarakat lokal. Mereka mulai mengubah orientasi dalam memaknai kehidupan; mengusahakan capaian-capaian duniawi melalui pertanian yang "laku di pasar". Jagung sebagai penanda pertanian subsisten Tengger, misalnya, dianggap tidak bisa "membawa perbaikan hidup". 

Dengan demikian, terdapat keterhubungan antara hasrat ekonomi di level lokal dengan perkembangan ekonomi di level regional maupun nasional. Keterhubungan itu mengakibatkan pula keterhubungan selera estetik dalam membangun rumah tembok yang mulai mengikuti arsitektur ala rumah kota.

Pertanian sayur-mayur secara massif, tentu saja, semakin mendekatkan masyarakat Tengger dengan tradisi komersialitas dan ekonomi pasar yang semakin menjadi biasa pada era Reformasi saat ini. Karena mereka terbiasa bertransaksi dengan para pedagang dari kota dan mendapatkan uang dalam jumlah melimpah, utamanya ketika harga sedang baik-baiknya. 

Kemelimpahan ekonomi berpengaruh kepada struktur dan sistem sosial serta kondisi kultural masyarakat Tengger. Seperti dikatakan Mujono, masyarakat Tengger di Probolinggo, misalnya, mulai membangun rumah-rumah tembok dengan model arsitektur kota, menggantikan rumah-rumah tradisional yang terbuat dari kayu cemara. Meskipun ada sebagian ruang yang dipertahankan dalam model rumah tembok, semisal ruang pawon, tetap saja ada perubahan atmosfer dalam rumah karena pergantian unsur-unsur bangunan. 

Suasana yang dimunculkan oleh kayu cemara gunung, tentu tidak akan sama dengan suasana yang muncul dari rumah berbahan bata. Selain itu, ada kekayaan kultural-ekologis yang hilang. Kalau dalam rumah tradisional ada "penyangga batu" pada masing-masing tiang sehingga ketika terjadi gempa karena erupsi Bromo rumah-rumah Tengger hanya begeser dan bergoyang. Dalam rumah modern, tentu yang dibutuhkan fondasi. 

Pilihan untuk menanam wortel, kubis, kentang, maupun bawang pre sebagai komoditas unggulan serta kebiasaan menikmati budaya uang, menyebabkan perubahan pola tenaga kerja agraris sebagaimana yang berlangsung di wilayah-wilayah pertanian lain. Hefner (1999: 187) menjelaskan bahwa sebelum berlangsungnya revolusi hijau, wong Tengger memiliki beberapa pola tenaga kerja dalam hal pengelolaan ladang. 

Pertama, kroyokan, pola kerja yang melibatkan keluarga atau mereka yang tergolong kerabat dekat. Kedua, gentenan, pola tenaga kerja berkelompok yang menuntut balasan setimpal dari kerja yang sudah dilakukan. Maksudnya, ketika ada seorang warga yang dibantu oleh beberapa orang tetangga untuk memanen jagung, maka ia harus membantu mereka yang menolong ketika membutuhkan tenaganya di ladang. 

Ketiga, rewang pola tenaga kerja yang melibatkan kerabat jauh dari generasi yang sama, tanpa menuntut balasan. Berkembangnya pertanian komersil menjadikan wong Tengger lebih memilih tenaga kerja upahan yang kebanyakan berasal dari wilayah-wilayah di bawah dengan alasan lebih mengefektifkan kerja di bandingkan dengan kerja tradisional. Karena ada imbalan upah berupa uang, para tenaga kerja akan giat bekerja sehingga dalam memanen sayur-mayur bisa dilakukan dengan cepat.

 Tentu saja, cara berpikir terkait efektivitas dan maksimalisasi kerja merupakan salah satu prinsip ekonomi modern. Dan, wong Tengger memang melakukan pilihan tepat, karena dengan efektivitas dan maksimalisasi kerja, sayur-mayur akan segera bisa dijual dan diangkut ke wilayah-wilayah kota di Jawa Timur maupun provinsi lainnya.

Apa yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut adalah pandangan umum yang memosisikan kolonialisme Eropa maupun program pertanian rezim negara sebagai faktor utama yang menjadikan masyarakat lokal menerima dan meniru nilai dan praktik modernitas dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Menurut saya, penerimaan secara massif terhadap modernitas dan kapitalisme pertanian tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kearifan-kearifan lokal yang berorientasi duniawi dalam masyarakat itu sendiri, meskipun maknanya tetap mengedepankan kesederhanaan. 

Dalam kearifan sebagian masyarakat Jawa, misalnya, terdapat konsep sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (tempat tinggal) yang menjadi orientasi kultural dan menuntut pemenuhan dengan kerja. Memang pada masa lampau orientasi duniawi tersebut lebih ditekankan kepada kerja-kerja subsisten untuk mewujudkan mereka, perkembangan ekonomi modern telah menghadirkan transformasi kultural dari kearifan-kearifan tersebut dalam wujud-wujud terkini. 

Masyarakat Tengger sebagai masyarakat Jawa pegunungan juga memiliki kearifan serupa yang disebut setya laksana. Setya laksana merupakan komitmen individual yang diyakini sebagai kebenaran komunal untuk mewujudkan walima, empat "wa" dan satu "wis" dalam kehidupan duniawi, yakni wareg (cukup makan), wastra (pakaian), waras (kesehatan), wasis (pengetahuan), dan wisma (rumah/tempat tinggal). 

Saya menyebut kearifan lokal terkait capaian-capaian duniawi sesederhana apapun sebagai titik apropriasi, dari mana masyarakat lokal berusaha menyeleksi, meniru, dan mempraktikkan budaya modern yang mereka terima dari proses kolonialisme yang dilanjutkan dalam program-program pembangunan pascakolonial dengan tetap berpegang kepada nilai-nilai tradisional yang mereka yakini.

Titik apropriasi ini menjadi penting bagi masyarakat lokal untuk transformasi kultural dikarenakan datangnya budaya modern. Aschroft (2001: 1-2) menjelaskan bahwa transformasilah yang memberikan masyarakat-masyarakat tersebut kendali terhadap masa depan mereka. Transformasi mendeskripsikan cara-cara yang di dalamnya masyarakat-masyarakat terjajah mengambil wacana-wacana dominan, mentrasfromasi dan menggunakan wacana-wacana tersebut untuk kepentingan penguatan mereka sendiri. 

Melengkapi cara baca Aschroft dalam memandang kekuatan strategis dan subversif transformasi pascakolonial yang fondasinya sudah dibangun sejak era kolonial, menurut saya, dorongan-dorongan internal dari kearifan tradisional berorientasi duniawi menjadikan masyarakat lokal mengapropriasi wacana-wacana dan praktik kultural dominan, termasuk di dalamnya pengetahuan maupun teknologi, yang dibawa pihak penjajah. 

Dalam terma strategis apropriasi tersebut dilakukan untuk memperkuat subjektivitas mereka di tengah-tengah kuasa dominan; sebuah subversi. Namun demikian, akibat dari transformasi ini adalah bergeser atau berubahnya cara pandang masyarakat lokal terhadap kearifan tradisional mereka yang disesuaikan dengan nalar modern. 

Selain itu, aspek penguatan yang ditekankan Aschroft tidak bisa dikatakan sebagai penguatan mutlak untuk memperkuat budaya lokal mereka, tetapi menyesuaikan budaya tersebut ke dalam praktik yang lebih modern, sehingga diharapkan tetap bisa bertahan dan tidak menjadikan mereka larut sepenuhnya dalam atmosfer modern.

Apropriasi-apropriasi yang dilakukan masyarakat Tengger nyata-nyata mentransformasi pemahaman mereka terhadap konsep walima. Sebelum kehadiran pertanian modern, masyarakat Tengger untuk memenuhi kebutuhan pangan cukup dengan menanam jagung. 

Namun, rezeki ekonomi dari transaksi komersial sayur-mayur dan keinginan untuk meniru tradisi kuliner di masyarakat ngare (masyarakat di wilayah bawah dan kota) dan masyarakat metropolitan, mendorong mereka untuk membeli beras dan mengkonsumsi nasi putih sebagai makanan sehari-hari. 

Nasi jagung berubah menjadi sekedar makanan klangenan. Rumah yang pada masa lampau cukup dibangun dengan kayu cemara gunung, seperti dijelaskan sebelumnya, pada saat ini secara massif berganti dengan rumah-rumah berbahan tembok dengan desain arsitektur berorientasi-kota. 

Di Desa Ngadas, Wonokerto, Jetak, Wonotoro, maupun Ngadisari (semuanya masuk dalam wilayah Kecamatan Sukapura, Probolinggo), jumlah rumah berbahan kayu sudah tidak menjadi mayoritas lagi. Anak-anak, kaum remaja, dan para pemuda sudah terbiasa dengan pakaian-pakaian modis sebagaimana mereka saksikan dalam tayangan televisi-televisi swasta. 

Untuk menyembuhkan penyakit, mereka bisa membeli obat di toko maupun pergi ke dokter dan bidan. Pengetahuan yang dalam konsep tradisional memuat ajaran-ajaran leluhur yang cukup diajarkan oleh orang tua dan para dhukun pandita semakin bertambah dengan hadirnya pendidikan berkurikulum modern sebagaimana diwajibkan oleh pemerintah. 

Para tukang membangun rumah warga Ngadisari. Foto: Dok. Pribadi
Para tukang membangun rumah warga Ngadisari. Foto: Dok. Pribadi
Dengan melimpahnya rezeki ekonomi dari sektor pertanian dan pariwisata, masyarakat Tengger bisa membangun rumah dengan meniru gaya arsitektur rumah-rumah di kota. Rumah bergaya kota, seperti yang sedang dibangun di atas, membutuhkan biaya cukup banyak, baik untuk keperluan material maupun tenaga kerja. 

Tentu saja, masyarakat Tengger sepertihalnya masyarakat-masyarakat lokal lainnya berhak dan bebas untuk meniru dan membangun rumah-rumah modern, sesuai dengan selera mereka. Imajinasi dan orientasi kultural mereka terkait rumah tidak bisa hanya dibatasi oleh konsep-konsep kesederhanaan dalam capaian-capaian duniawi seperti yang diajarkan para leluhur. 

Mereka hidup pada sebuah masa ketika lalu-lintas citra-citra mewah rumah dihadirkan dalam banyak narasi sinetron maupun lanskap kota yang mereka kunjungi ketika ada keperluan belanja atau keperluan yang lain di Probolinggo, Pasuruan, Malang, maupun Lumajang.

Maka, rumah bagi wong Tengger, sekali lagi, bukan semata-mata tempat untuk belindung dari hujan, panas, dan dinginnya hawa gunung ataupun tempat merebahkan badan setelah bekerja seharian di ladang. Rumah bagi mereka adalah sebuah situs untuk mengapropriasi gambaran-gambaran hidup modern seperti yang dinarasikan oleh media sekaligus sebagai situs untuk mentransformasi kearifan lokal mereka dalam ruang kekinian. 

Ruang tamu salah satu rumah di Desa Wonokerto. Foto: Dok. Pribadi
Ruang tamu salah satu rumah di Desa Wonokerto. Foto: Dok. Pribadi
Rumah adalah sebuah identitas kultural yang bergerak di mana masyarakat Tengger memberikan makna-makna baru yang keluar dari bingkai tradisional. Ruang tamu, misalnya, tidak cukup hanya diisi dengan meja dan kursi kayu. Ruang tamu, sebagai ruang depan untuk menyambut tamu dari luar Tengger, menjadi sebuah display yang merepresentasikan kemapanan dan kemewahan, melalui keberadaan sofa mewah, meja kaca, dan lemari yang mereka beli dari kota kecamatan maupun kota kabupaten. 

Kehadiran benda-benda tersebut merupakan kehadiran pola pikir dan praktik modern dalam lingkup domestik rumah sekaligus menunjukkan perubahan kearifan lokal yang tidak cukup dimaknai dalam kesederhanaan ketika rezeki finansial dari pertanian 'menuntut untuk diekspresikan'. 

Ekspresi kemewahan rumah, lebih dari itu, merupakan bentuk nyata bahwa budaya dan masyarakat lokal "tidak utuh lagi". Dan, bagi masyarakat Tengger, konsep keutuhan, kemurnian, maupun ke-tetap-an kultural adalah sebuah kemustahilan karena mereka sudah, sedang, dan akan terhubung dengan kode-kode, narasi-narasi, dan imaji-imaji modernitas.

Lalu, apakah para peneliti masih harus menulis dan menganggit mereka dalam paradigma esensial yang membayangkan masyarakat lokal masih hidup dalam kesederhanaan dan ketradisionalan, sedangkan mereka sendiri 'asyik' dengan kehadiran budaya modern? 

Ada baiknya kita menyimak pendapat Waldron (dikutip dalam Kompridis, 2005: 321) yang dengan tegas mengatakan bahwa manusia kontemporer hidup dalam jagat yang dibentuk oleh teknologi dan perdagangan serta imperialisme ekonomi, dinamika politik dan penyebaran pengaruh kultural. Dalam konteks tersebut, mengikatkan komunitas dalam praktik tradisional bisa menjadi eksperimen antropologis yang menyenangkan, namun hal itu melibatkan pengalihan artifisial dari apa-apa yang sebenarnya terjadi di jagat ini. 

Dalam jagat di mana lalu-lintas kultural antarbangsa maupun antarmasyarakat berjalan dinamis dengan dukungan penuh mekanisme perdagangan, temuan-temuan teknologi informasi-komunikasi, diseminasi makna dan wacana media, serta program-program pemerintah, masyarakat dan budaya lokal adalah realitas kompleks; tidak utuh lagi. Maka, mengkonsepsikan masyarakat dengan praktik tradisional seutuhnya menunjukkan  berlangsungnya proses pengalihan artifisial. 

Celakanya, pengalihan tersebut ditambahi dan 'dibumbui' dengan konsep-konsep yang menegaskan masyarakat sebagai entitas yang tidak bergerak dari ketradisionalan dan tidak terhubung dengan budaya luar; subsidi khusus dan kondisi ekstraordiner. Yang terjadi kemudian, membayangkan mereka layaknya hidup di taman impian Disneyland maupun cerita-cerita kartun Walt Disney yang banyak menarasikan dongeng-dongeng legenda. 

Menurut saya, pengalihan artifisial dari kenyataan "menjadi modern" dalam masyarakat lokal lebih disebabkan oleh dua faktor. Pertama, masih bertahannya warisan paradigmatik penelitian budaya dari masa Orde Baru yang memosisikan budaya tradisional secara esensial sebagai kekuatan dahsyat untuk menyaring pengaruh budaya asing-negatif. 

Budaya tradisional lebih banyak dikaji dalam kerangka "beku" dan adiluhung karena menyimpan kekuatan komunal sebagai pembentuk jati diri bangsa. Implikasi akademisnya adalah bahwa budaya tradisional lebih banyak dipahami sebagai ritual, kesenian, bahasa lokal, serta kearifan-kearifan komunitas etnis lainnya. Padahal, di balik itu semua terdapat keinginan rezim negara untuk menertibkan warga negara agar tidak melakukan resistensi terhadap pemerintah. 

Kedua, objek material kajian yang menekankan kepada aspek-aspek tersebut ditambah penjelasan-penjelasan dari pemuka adat yang memang berkepentingan untuk menegosiasikan keunikan dan karakteristik budaya tradisional yang masih berlangsung di masyarakat menjadikan para peneliti berada dalam lingkaran esensialisme sehingga menegasikan kenyataan pergeseran dan perubahan kultural yang berlangsung.  

Menjadi wajar ketika membanjirnya barang-barang industrial ke dalam rumah masyarakat lokal serta praktik hidup sehari-hari ketika mereka sudah bersentuhan dengan modernitas diposisikan sebagai hal remeh-temeh yang tidak berkaitan dengan masyarakat dan budaya lokal serta tidak perlu dijadikan data penelitian.  

Akibatnya, konstruksi wacana ketradisionalan menjadi keutamaan dan seringkali diposisikan sebagai kekuatan masyarakat lokal dalam menghadapi perubahan. Dalam konteks masyarakat Tengger, Sutarto (2006) menerangkan bahwa sejak bergulirnya gelombang reformasi tahun 1998 yang disertai dengan krisis multidimensi, orang Tengger sebagai komunitas yang masih tetap bergaya hidup agraris dan berpikir agraris lebih tahan banting dalam menghadapi krisis dibandingkan dengan komunitas-komunitas lain yang berada di sekitarnya. 

Menurutnya, kenyataan ini dapat digunakan sebagai indikator bahwa orang Tengger masih bersikukuh dengan tradisi yang diwarisi dari para pendahulunya. Di samping itu ada pelajaran yang dapat dipetik dari kasus Tengger, yakni bahwa sikap budaya orang Tengger yang tidak terlalu tergantung kepada kekuatan dari luar komunitasnya, baik itu kekuatan yang berdimensi ekonomi, politik, atau budaya merupakan sikap budaya yang pas dalam periode formatif Indonesia modern. 

Sebagai konstruksi ideal, penggambaran tentang masyarakat Tengger yang "tetap bergaya hidup dan berpikir agraris", "masih bersikukuh dengan tradisi leluhur", dan "tidak bergantung pada kekuatan dari luar komunitasnya", memang bisa menjadi tawaran yang 'cukup menggiurkan' di tengah-tengah krisis multidimensi yang melanda masyarakat Indonesia. Namun, masyarakat Tengger bukan lagi masyarakat agraris secara utuh, mereka juga terhubung dengan kekuatan-kekuatan luar, dan tidak sepenuhnya berpikir secara tradisional. 

Kalau konsep agraris dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pertanian, memang betul masyarakat Tengger adalah petani, tetapi pertanian yang sudah modern dan secara kultural bergerak dinamis; melampaui ketradisionalan mereka. Kalau tradisi dipahami sebagai wejangan maupun ritual, memang benar mereka masih menjalankan beberapa nasehat orang tua dan menjalankan ritual warisan leluhur. Akan tetapi, semua itu harus dibaca dalam konteks yang dinamis karena pelukan modernitas telah menjadikan mereka mentransformasi tradisi tersebut. 

Transformasi dan perubahan kultural benar-benar telah, tengah, dan akan terus berlangsung di mana proses tersebut mengantarkan masyarakat lokal ke dalam ruang modern yang penuh warna. Dalam masyarakat Tengger, hal itu berlangsung hingga saat ini. Kalau kemudian dikatakan bahwa praktik tersebut sekaligus mensubversi wacana modernitas dan kuasa kapitalisme yang dibawa program pembangunan rezim pascakolonial, menurut saya, hal itu tidak bisa dilepaskan dari mekanisme strategis mereka. 

Artinya, masyarakat Tengger bisa memanfaatkan teknologi dan pengetahuan yang dianggap menguntungkan bagi mereka untuk bisa menjalani hidup, termasuk di dalamnya menjalani kearifan lokal dengan bentuk-bentuk baru, di tengah-tengah perubahan yang nyata-nyata terjadi secara massif. Transformasi, menurut saya, semakin menjadikan modernitas warna dominan dalam ruang lokal. 

Sekali lagi, kondisi tersebut bukan semata-mata disebabkan oleh proyek pembangunan maupun wacana-wacana tentang janji pencerahan, tetapi karena di dalam masyarakat lokal sendiri terdapat kearifan lokal yang mendorong mereka untuk mengapropriasi bentuk-bentuk budaya modern. Pengaruh lain dari apropriasi masyarakat Tengger terhadap modernitas yang didukung kerja-kerja pertanian dan pariwisata adalah berkembangnya budaya konsumsi terhadap benda-benda modern. 

Daftar Bacaan

Ashcroft, Bill. 2001. Post-colonial Future: Transformation of Postcolonial Culture. London: Continuum.

Canclini, Néstor Garcia.1995. Hybrid Cultures: Strategies for Entering and Leaving Modernity (Terj. Inggris Christopher L. Chiappari & Silvia L. López). Minneapolis: University of Minnesota Press.

Faruk.1995. Perlawanan Tak Kunjung Usai: Sastra, Politik, dan Dekonstruksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hefner, Robert. 1999. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (terjemahan A. Wishnuwardana & Imam Ahmad). Yogyakarta: LKis.

Kompridis, Nikolas. 2005. "Normativizing Hibridity/Neutralizing Culture". Journal Political Theory, Vol. 33, No. 3. 

Sutarto. 2006. "Sekilas tentang Masyarakat Tengger". Makalah disampaikan pada acara pembekalan Jelajah Budaya 2006 yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 7 -- 10 Agustus.

Wawancara

Handi, wawancara, 5 Agustus 2009.

Mujono, wawancara, 28 Juli 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun