Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masyarakat Tengger: Menanam Sayur-mayur, Merangkul Modernitas

20 November 2021   23:01 Diperbarui: 20 November 2021   23:05 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lanskap gunung di Tengger dalam lukisan era kolonial Belanda. Dok. Collectie Tropenmuseum Belanda

Faruk (1995: 84-85) menjelaskan bahwa kebijakan ekonomi Orde Baru yang terbuka dan kapitalistis telah menyulap dunia masyarakat Indonesia menjadi dunia yang sama sekali baru. Konsep dan kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi telah menempatkan uang di pusat segala aktivitas manusia-manusianya. 

Lembaga-lembaga produksi dan konsumsi menjamur seperti pabrik, pasar, supermarket, bank, ratusan media massa, dan yang lain. Berbagai benda dan berbagai hal diperlakukan sebagai alat tukar: hasil pertanian, jasa pelayanan, suasana kenyamanan, citra-citra tubuh, dan lain-lain.

Untuk memperluas jangkauan ekonomi-politik pembangunanisme ke wilayah pegunungan, termasuk pegunungan Tengger, rezim Orde Baru menggalakkan program pembangunan jalan aspal guna mempermudah akses masyarakat dan mobilitas produk-produk pertanian serta memperlancar alur distribusi produk-produk industrial dari kota ke wilayah atas. 

Hefner (1999: 3) menjelaskan bahwa pada awal era 1970-an dampak dari progam pembangunan mulai terasa di wilayah pegunungan Jawa. Di Pegunungan Tengger, pengaspalan jalan memudahkan transportasi kendaraan bermotor, barang-barang konsumsi, serta semakin banyaknya campur tangan pemerintah. 

Para petani yang mampu membeli pestisida dan pupuk mengubah tanaman pangan jagung dengan tanaman komersial, sayur-mayur. Akibat melimpahnya panen, kendaraan bermotor dan televisi Jepang mulai menggantikan tradisi slametan sebagai simbol kemakmuran dan prestise. 

Bagi Hefner, dalam banyak aspek kehidupan, tampaknya, masyarakat Tengger yang dulu dengan bangga pernah menghindari hirarki dan ketidaksamaan sosial seperti yang terjadi di dataran rendah, kini mendapatkan dirinya sebagai bagian masyarakat Jawa yang lebih luas. 

Berubahnya sistem produksi pertanian dan konsumsi menyebabkan pergeseran dan perubahan pada level ideologis-kultural. Pilihan untuk menjalankan pertanian komersial yang menghubungkan wong Tengger dengan pasar sayur-mayur regional dan nasional, telah memberikan keuntungan finansial melimpah. 

Rezeki finansial tersebut memungkinkan mereka membeli barang-barang konsumsi dari kota serta menghubungkan mereka dengan wilayah bawah yang sedang bergerak menuju modernitas. Batasan tradisional tentang wong gunung yang tidak suka pamer harta, tidak membeda-bedakan sesama, dan hidup dalam kesederhanaan, perlahan mencair. Maka, "sebuah dunia ideal gunung" dengan kekuatan identitas dan otoritas tradisionalnya sedang 'tenggelam' akibat masuknya pertanian komersil dan budaya konsumsi. 

Perubahan menuju pertanian komersial ikut mempengaruhi selera kultural masyarakat lokal, sehingga beberapa aspek budaya lokal, seperti rumah yang dianggap menyatu dengan keyakinan kosmologis tradisional, ikut mengalami perubahan model arsitektur. Dalam ingatan Mujono, Koodinator Dhukun Pandhita (meninggal pada tahun 2014) sejak zaman Bung Karno, meskipun belum massif, mulai muncul usaha memperbaiki hidup melalui pertanian sayur-mayur. 

Meskipun demikian, wong Tengger pada masa itu masih menggantungkan kepada tanaman jagung. Namun, tanaman jagung ternyata tidak membawa perbaikan hidup, sehingga akhirnya masyarakat memutuskan menanam kentang, wortel, kubis, dan bawang pre yang laku di pasar. Dimulai pada era 1970-an akhir. Pada awal 1980-an, masyarakat mulai membangun rumah tembok dengan model kota. 

Memang di sebagian kecil rumah tembok tersebut, masih ada ruang khusus untuk semedi, seperti pada rumah kayu. Namun, sebagian besar sudah tidak ada. Yang tetap dipertahankan memang perapian. Untuk ngobrol sesama anggota keluarga atau tamu kerabat atau sesama warga Ngadas. Adapun tamu dari luar, biasanya dijamu di ruang tamu depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun