Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masyarakat Tengger: Menanam Sayur-mayur, Merangkul Modernitas

20 November 2021   23:01 Diperbarui: 20 November 2021   23:05 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lanskap gunung di Tengger dalam lukisan era kolonial Belanda. Dok. Collectie Tropenmuseum Belanda

Celakanya, pengalihan tersebut ditambahi dan 'dibumbui' dengan konsep-konsep yang menegaskan masyarakat sebagai entitas yang tidak bergerak dari ketradisionalan dan tidak terhubung dengan budaya luar; subsidi khusus dan kondisi ekstraordiner. Yang terjadi kemudian, membayangkan mereka layaknya hidup di taman impian Disneyland maupun cerita-cerita kartun Walt Disney yang banyak menarasikan dongeng-dongeng legenda. 

Menurut saya, pengalihan artifisial dari kenyataan "menjadi modern" dalam masyarakat lokal lebih disebabkan oleh dua faktor. Pertama, masih bertahannya warisan paradigmatik penelitian budaya dari masa Orde Baru yang memosisikan budaya tradisional secara esensial sebagai kekuatan dahsyat untuk menyaring pengaruh budaya asing-negatif. 

Budaya tradisional lebih banyak dikaji dalam kerangka "beku" dan adiluhung karena menyimpan kekuatan komunal sebagai pembentuk jati diri bangsa. Implikasi akademisnya adalah bahwa budaya tradisional lebih banyak dipahami sebagai ritual, kesenian, bahasa lokal, serta kearifan-kearifan komunitas etnis lainnya. Padahal, di balik itu semua terdapat keinginan rezim negara untuk menertibkan warga negara agar tidak melakukan resistensi terhadap pemerintah. 

Kedua, objek material kajian yang menekankan kepada aspek-aspek tersebut ditambah penjelasan-penjelasan dari pemuka adat yang memang berkepentingan untuk menegosiasikan keunikan dan karakteristik budaya tradisional yang masih berlangsung di masyarakat menjadikan para peneliti berada dalam lingkaran esensialisme sehingga menegasikan kenyataan pergeseran dan perubahan kultural yang berlangsung.  

Menjadi wajar ketika membanjirnya barang-barang industrial ke dalam rumah masyarakat lokal serta praktik hidup sehari-hari ketika mereka sudah bersentuhan dengan modernitas diposisikan sebagai hal remeh-temeh yang tidak berkaitan dengan masyarakat dan budaya lokal serta tidak perlu dijadikan data penelitian.  

Akibatnya, konstruksi wacana ketradisionalan menjadi keutamaan dan seringkali diposisikan sebagai kekuatan masyarakat lokal dalam menghadapi perubahan. Dalam konteks masyarakat Tengger, Sutarto (2006) menerangkan bahwa sejak bergulirnya gelombang reformasi tahun 1998 yang disertai dengan krisis multidimensi, orang Tengger sebagai komunitas yang masih tetap bergaya hidup agraris dan berpikir agraris lebih tahan banting dalam menghadapi krisis dibandingkan dengan komunitas-komunitas lain yang berada di sekitarnya. 

Menurutnya, kenyataan ini dapat digunakan sebagai indikator bahwa orang Tengger masih bersikukuh dengan tradisi yang diwarisi dari para pendahulunya. Di samping itu ada pelajaran yang dapat dipetik dari kasus Tengger, yakni bahwa sikap budaya orang Tengger yang tidak terlalu tergantung kepada kekuatan dari luar komunitasnya, baik itu kekuatan yang berdimensi ekonomi, politik, atau budaya merupakan sikap budaya yang pas dalam periode formatif Indonesia modern. 

Sebagai konstruksi ideal, penggambaran tentang masyarakat Tengger yang "tetap bergaya hidup dan berpikir agraris", "masih bersikukuh dengan tradisi leluhur", dan "tidak bergantung pada kekuatan dari luar komunitasnya", memang bisa menjadi tawaran yang 'cukup menggiurkan' di tengah-tengah krisis multidimensi yang melanda masyarakat Indonesia. Namun, masyarakat Tengger bukan lagi masyarakat agraris secara utuh, mereka juga terhubung dengan kekuatan-kekuatan luar, dan tidak sepenuhnya berpikir secara tradisional. 

Kalau konsep agraris dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pertanian, memang betul masyarakat Tengger adalah petani, tetapi pertanian yang sudah modern dan secara kultural bergerak dinamis; melampaui ketradisionalan mereka. Kalau tradisi dipahami sebagai wejangan maupun ritual, memang benar mereka masih menjalankan beberapa nasehat orang tua dan menjalankan ritual warisan leluhur. Akan tetapi, semua itu harus dibaca dalam konteks yang dinamis karena pelukan modernitas telah menjadikan mereka mentransformasi tradisi tersebut. 

Transformasi dan perubahan kultural benar-benar telah, tengah, dan akan terus berlangsung di mana proses tersebut mengantarkan masyarakat lokal ke dalam ruang modern yang penuh warna. Dalam masyarakat Tengger, hal itu berlangsung hingga saat ini. Kalau kemudian dikatakan bahwa praktik tersebut sekaligus mensubversi wacana modernitas dan kuasa kapitalisme yang dibawa program pembangunan rezim pascakolonial, menurut saya, hal itu tidak bisa dilepaskan dari mekanisme strategis mereka. 

Artinya, masyarakat Tengger bisa memanfaatkan teknologi dan pengetahuan yang dianggap menguntungkan bagi mereka untuk bisa menjalani hidup, termasuk di dalamnya menjalani kearifan lokal dengan bentuk-bentuk baru, di tengah-tengah perubahan yang nyata-nyata terjadi secara massif. Transformasi, menurut saya, semakin menjadikan modernitas warna dominan dalam ruang lokal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun