Untuk menyembuhkan penyakit, mereka bisa membeli obat di toko maupun pergi ke dokter dan bidan. Pengetahuan yang dalam konsep tradisional memuat ajaran-ajaran leluhur yang cukup diajarkan oleh orang tua dan para dhukun pandita semakin bertambah dengan hadirnya pendidikan berkurikulum modern sebagaimana diwajibkan oleh pemerintah.Â
Dengan melimpahnya rezeki ekonomi dari sektor pertanian dan pariwisata, masyarakat Tengger bisa membangun rumah dengan meniru gaya arsitektur rumah-rumah di kota. Rumah bergaya kota, seperti yang sedang dibangun di atas, membutuhkan biaya cukup banyak, baik untuk keperluan material maupun tenaga kerja.Â
Tentu saja, masyarakat Tengger sepertihalnya masyarakat-masyarakat lokal lainnya berhak dan bebas untuk meniru dan membangun rumah-rumah modern, sesuai dengan selera mereka. Imajinasi dan orientasi kultural mereka terkait rumah tidak bisa hanya dibatasi oleh konsep-konsep kesederhanaan dalam capaian-capaian duniawi seperti yang diajarkan para leluhur.Â
Mereka hidup pada sebuah masa ketika lalu-lintas citra-citra mewah rumah dihadirkan dalam banyak narasi sinetron maupun lanskap kota yang mereka kunjungi ketika ada keperluan belanja atau keperluan yang lain di Probolinggo, Pasuruan, Malang, maupun Lumajang.
Maka, rumah bagi wong Tengger, sekali lagi, bukan semata-mata tempat untuk belindung dari hujan, panas, dan dinginnya hawa gunung ataupun tempat merebahkan badan setelah bekerja seharian di ladang. Rumah bagi mereka adalah sebuah situs untuk mengapropriasi gambaran-gambaran hidup modern seperti yang dinarasikan oleh media sekaligus sebagai situs untuk mentransformasi kearifan lokal mereka dalam ruang kekinian.Â
Rumah adalah sebuah identitas kultural yang bergerak di mana masyarakat Tengger memberikan makna-makna baru yang keluar dari bingkai tradisional. Ruang tamu, misalnya, tidak cukup hanya diisi dengan meja dan kursi kayu. Ruang tamu, sebagai ruang depan untuk menyambut tamu dari luar Tengger, menjadi sebuah display yang merepresentasikan kemapanan dan kemewahan, melalui keberadaan sofa mewah, meja kaca, dan lemari yang mereka beli dari kota kecamatan maupun kota kabupaten.Â
Kehadiran benda-benda tersebut merupakan kehadiran pola pikir dan praktik modern dalam lingkup domestik rumah sekaligus menunjukkan perubahan kearifan lokal yang tidak cukup dimaknai dalam kesederhanaan ketika rezeki finansial dari pertanian 'menuntut untuk diekspresikan'.Â
Ekspresi kemewahan rumah, lebih dari itu, merupakan bentuk nyata bahwa budaya dan masyarakat lokal "tidak utuh lagi". Dan, bagi masyarakat Tengger, konsep keutuhan, kemurnian, maupun ke-tetap-an kultural adalah sebuah kemustahilan karena mereka sudah, sedang, dan akan terhubung dengan kode-kode, narasi-narasi, dan imaji-imaji modernitas.
Lalu, apakah para peneliti masih harus menulis dan menganggit mereka dalam paradigma esensial yang membayangkan masyarakat lokal masih hidup dalam kesederhanaan dan ketradisionalan, sedangkan mereka sendiri 'asyik' dengan kehadiran budaya modern?Â
Ada baiknya kita menyimak pendapat Waldron (dikutip dalam Kompridis, 2005: 321) yang dengan tegas mengatakan bahwa manusia kontemporer hidup dalam jagat yang dibentuk oleh teknologi dan perdagangan serta imperialisme ekonomi, dinamika politik dan penyebaran pengaruh kultural. Dalam konteks tersebut, mengikatkan komunitas dalam praktik tradisional bisa menjadi eksperimen antropologis yang menyenangkan, namun hal itu melibatkan pengalihan artifisial dari apa-apa yang sebenarnya terjadi di jagat ini.Â
Dalam jagat di mana lalu-lintas kultural antarbangsa maupun antarmasyarakat berjalan dinamis dengan dukungan penuh mekanisme perdagangan, temuan-temuan teknologi informasi-komunikasi, diseminasi makna dan wacana media, serta program-program pemerintah, masyarakat dan budaya lokal adalah realitas kompleks; tidak utuh lagi. Maka, mengkonsepsikan masyarakat dengan praktik tradisional seutuhnya menunjukkan  berlangsungnya proses pengalihan artifisial.Â