Masyarakat Tengger melakukan uji-coba pertanian dengan teknik revolusi hijau versi mereka sendiri karena sebelumnya mereka sudah pernah menanam sayur-mayur untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Eropa dan Cina. Keuntungan finansial yang dihasilkan dari praktik pertanian sayur-mayur menjadikan mereka tertarik untuk meniru ketika muncul perkembangan-perkembangan baru terkait dunia pertanian, seperti bibit baru yang lebih menjanjikan ketika panen.Â
Apa yang menarik adalah inisiatif wong Tengger untuk mencari sendiri bibit dan obat yang bisa mendukung pertanian sayur-mayur mereka. Artinya, mereka dengan sadar menjalankan pertanian modern karena dianggap lebih bisa memakmurkan. Pertemuan dengan tradisi pertanian kolonial yang diyakini lebih menguntungkan menjadikan masyarakat melakukan revolusi pola pikir yang menerobos tradisi subsisten yang dijalankan pada masa pra-kolonial.Â
Akibatnya, ketika mesin rezim Orde Baru hadir dengan para penyuluh lapangan yang memperkenalkan bibit baru, pestisida, dan pupuk, dengan cepat pula mereka menerima. Dengan kata lain, endapan dalam benak mereka tentang pertanian sayur-mayur di era kolonial berkontribusi besar bagi penerimaan masyarakat Tengger terhadap revolusi hijau.
Periode Orde Baru memang menjadi masa di mana masyarakat lokal di sebagian besar wilayah Jawa, khususnya, dan Indonesia, pada umumnya, memasuki era pertanian komersial secara massif. Kebijakan Trilogi Pembangunan yang terdiri atas stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan hasil-hasil pembangunan menjadi formula baku untuk merancang kemajuan bangsa.Â
Langkah konkrit bagi pertumbuhan ekonomi adalah memperbanyak investasi dalam bidang perindustrian, baik modal asing maupun swasta nasional, serta melakukan revolusi hijau dalam bidang pertanian. Program pembangunan Orde Baru, pada dasarnya, merupakan perwujudan proyek modernitas yang diintrodusir ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan.Â
Canclini (1995: 12-13) mengidentifikasi empat elemen utama dari poyek modernitas. Pertama, proyek emansipasi, menekankan pada sekulerisasi dan rasionalisasi ranah kultural, pengaturan individu-individu yang siap berkompetisi, dan individualisme. Kedua, proyek ekspansif, memprioritaskan pada perluasan pengetahuan untuk bisa menguasai alam serta peningkatan produksi, sirkulasi, dan konsumsi barang-barang industri.Â
Ketiga, proyek renovasi, melibatkan kedua aspek sebelumnya untuk memenuhi peningkatan secara ajeg, inovasi yang disesuaikan dengan hubungan pada alam, pembebasan masyarakat dari petuah-petuha suci, serta reformulasi terus-menerus tanda-tanda pembeda dalam konsumsi massa. Keempat, proyek demokratisasi, menegaskan bahwa gerakan modernitas yang diajarkan dalam pendidikan, penyebaran seni, dan pengetahuan dikhususkan untuk meraih evolusi rasional dan moral yang bisa dirasakan semua umat manusia.Â
Dalam konteks Indonesia di masa Orde Baru, proyek emansipasi dijalankan melalui pendidikan yang mengadopsi kurikulum Barat dengan orientasi kemajuan nalar/rasionalitas, dari level sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pendidikanlah yang diwacanakan akan mampu menciptakan manusia-manusia unggul yang siap berkompetisi di masa depan.
Efek dari pendidikan adalah kemampuan untuk menggunakan nalar dalam melihat permasalahan serta menggeser pemikiran-pemikiran feodal dan mistis yang dianggap terbelakang. Apa yang paling tampak luar biasa dari rezim Orde Baru adalah pengembangan proyek ekspansi terhadap sumber-sumber kekayaan alam, baik tambang maupun hutan, serta penerapan revolusi hijau dengan alasan peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Terlepas dari keberadaan proyek-proyek lainnya, satu pengaruh terbesar dari pembangunan menuju Indonesia modern adalah penyebaran kapitalisme sebagai rezim kebenaran yang mengkerangkai dan mengarahkan pola pikir dan praktik hidup masyarakat, dari kota hingga desa.Â