Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masyarakat Tengger: Menanam Sayur-mayur, Merangkul Modernitas

20 November 2021   23:01 Diperbarui: 20 November 2021   23:05 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang tamu salah satu rumah di Desa Wonokerto. Foto: Dok. Pribadi

Bersama Koordinator Dhukun Pandita, Mujono. Foto: Dok. Pribadi
Bersama Koordinator Dhukun Pandita, Mujono. Foto: Dok. Pribadi
Ideologi kemakmuran yang menjadi orientasi dominan dalam masyarakat di level nasional, nyatanya diikuti oleh masyarakat lokal. Mereka mulai mengubah orientasi dalam memaknai kehidupan; mengusahakan capaian-capaian duniawi melalui pertanian yang "laku di pasar". Jagung sebagai penanda pertanian subsisten Tengger, misalnya, dianggap tidak bisa "membawa perbaikan hidup". 

Dengan demikian, terdapat keterhubungan antara hasrat ekonomi di level lokal dengan perkembangan ekonomi di level regional maupun nasional. Keterhubungan itu mengakibatkan pula keterhubungan selera estetik dalam membangun rumah tembok yang mulai mengikuti arsitektur ala rumah kota.

Pertanian sayur-mayur secara massif, tentu saja, semakin mendekatkan masyarakat Tengger dengan tradisi komersialitas dan ekonomi pasar yang semakin menjadi biasa pada era Reformasi saat ini. Karena mereka terbiasa bertransaksi dengan para pedagang dari kota dan mendapatkan uang dalam jumlah melimpah, utamanya ketika harga sedang baik-baiknya. 

Kemelimpahan ekonomi berpengaruh kepada struktur dan sistem sosial serta kondisi kultural masyarakat Tengger. Seperti dikatakan Mujono, masyarakat Tengger di Probolinggo, misalnya, mulai membangun rumah-rumah tembok dengan model arsitektur kota, menggantikan rumah-rumah tradisional yang terbuat dari kayu cemara. Meskipun ada sebagian ruang yang dipertahankan dalam model rumah tembok, semisal ruang pawon, tetap saja ada perubahan atmosfer dalam rumah karena pergantian unsur-unsur bangunan. 

Suasana yang dimunculkan oleh kayu cemara gunung, tentu tidak akan sama dengan suasana yang muncul dari rumah berbahan bata. Selain itu, ada kekayaan kultural-ekologis yang hilang. Kalau dalam rumah tradisional ada "penyangga batu" pada masing-masing tiang sehingga ketika terjadi gempa karena erupsi Bromo rumah-rumah Tengger hanya begeser dan bergoyang. Dalam rumah modern, tentu yang dibutuhkan fondasi. 

Pilihan untuk menanam wortel, kubis, kentang, maupun bawang pre sebagai komoditas unggulan serta kebiasaan menikmati budaya uang, menyebabkan perubahan pola tenaga kerja agraris sebagaimana yang berlangsung di wilayah-wilayah pertanian lain. Hefner (1999: 187) menjelaskan bahwa sebelum berlangsungnya revolusi hijau, wong Tengger memiliki beberapa pola tenaga kerja dalam hal pengelolaan ladang. 

Pertama, kroyokan, pola kerja yang melibatkan keluarga atau mereka yang tergolong kerabat dekat. Kedua, gentenan, pola tenaga kerja berkelompok yang menuntut balasan setimpal dari kerja yang sudah dilakukan. Maksudnya, ketika ada seorang warga yang dibantu oleh beberapa orang tetangga untuk memanen jagung, maka ia harus membantu mereka yang menolong ketika membutuhkan tenaganya di ladang. 

Ketiga, rewang pola tenaga kerja yang melibatkan kerabat jauh dari generasi yang sama, tanpa menuntut balasan. Berkembangnya pertanian komersil menjadikan wong Tengger lebih memilih tenaga kerja upahan yang kebanyakan berasal dari wilayah-wilayah di bawah dengan alasan lebih mengefektifkan kerja di bandingkan dengan kerja tradisional. Karena ada imbalan upah berupa uang, para tenaga kerja akan giat bekerja sehingga dalam memanen sayur-mayur bisa dilakukan dengan cepat.

 Tentu saja, cara berpikir terkait efektivitas dan maksimalisasi kerja merupakan salah satu prinsip ekonomi modern. Dan, wong Tengger memang melakukan pilihan tepat, karena dengan efektivitas dan maksimalisasi kerja, sayur-mayur akan segera bisa dijual dan diangkut ke wilayah-wilayah kota di Jawa Timur maupun provinsi lainnya.

Apa yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut adalah pandangan umum yang memosisikan kolonialisme Eropa maupun program pertanian rezim negara sebagai faktor utama yang menjadikan masyarakat lokal menerima dan meniru nilai dan praktik modernitas dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Menurut saya, penerimaan secara massif terhadap modernitas dan kapitalisme pertanian tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kearifan-kearifan lokal yang berorientasi duniawi dalam masyarakat itu sendiri, meskipun maknanya tetap mengedepankan kesederhanaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun