Kalau pada  bagian awal kita disuguhi kekuatan fisik, nalar, dan batin seorang Jakripah, pada bagian ini kita dihadapkan wacana tentang perempuan cerdas, tetapi licik. Apa-apa yang ia syaratkan kepada Paman Idris merupakan bentuk strategi seorang perempuan yang sangat cerdas untuk mengulur waktu dan menjadikan lelaki sakti tidak berkutik.Â
Penggambaran ini, di satu sisi, menegaskan kehebatan perempuan dalam mengembangkan kecerdasan untuk menghadapi subjek luar-dominan. Di sisi lain, menghancurkan stereotip laki-laki superior, karena takluk dan kalah oleh hasrat kelelakiannya. Sekali lagi kita berhadapan dengan narasi pembalikan peran jender. Bahwa, semua kekuatan nalar dan fisik lekaki bisa luluh-lantak ketika mereka diburu nafsu untuk mendapatkan kemolekan tubuh seorang perempuan.
Dalam konteks di atas, subjek perempuan adalah pemenang sejati dari pertempuran dengan lelaki luar-dominan yang hendak menguasai tubuh dan wilayahnya. Kalau kemudian kita perluas tafsir, kecerdasan Jakripah merupakan metafor dari usaha untuk memperhatankan kedaulatan berupa hutan belantara, manusia, dan penghuni lain yang hendak dikuasai oleh pihak luar.Â
Usaha tersebut lebih mengutamakan siasat dan strategi dari masyarakat lokal dengan cara menerima kehadiran subjek luar-dominan dan membiarkannya untuk merasa menang, tetapi mereka tidak diam. Beberapa kali pengingkaran janji untuk menikah merupakan penanda dari siasat mengulur waktu guna menemukan-kembali kekuatan dan strategi yang tepat untuk mengalahkannya.Â
Kemampuan untuk menguraikan rahasia kekuatan lawan melalui pengakuannya sendiri merupakan bentuk kecerdasan lokal lain yang menjadikan subjek luar-dominan secara natural membiarkan subjekvitisnya dimasuki dan dimanfaatkan. Kalau kita baca secara kontekstual, kecerdasan ini merupakan idealisasi dari masyarakat Using untuk bersikap terbuka, adaptif, apropriatif, dan transformatif terhadap kekuatan-kekuatan luar-dominan yang hadir dalam kehidupan mereka, seperti kekuatan Jawa, Eropa, Madura, Islam, Tionghoa, dan lain-lain.Â
Mereka bisa memasukkan kekuatan-kekuatan tersebut ke dalam praktik berkebudayaan secara liat dan hibrid, sehingga akhirnya diakui sebagai produk kultural sendiri serta bisa memperkuat lokalitas mereka. Jakripah lebih memilih meniadakan Paman Iris dalam kehidupan personalnya dan lebih menikmati hidup bersama tiga lelaki bersaudara dan kekuatan Singbarong untuk melanjutkan proses kehidupan komunalnya.
Namun, dengan membiarkan legenda ini mengalir seperti tuturan aslinya, para pembaca awam yang tidak mengerti tentang identitas berperspektif hibriditas akan menerima wacana stereotip tentang mudahnya para perempuan Osing untuk mengkhianati  sebuah hubungan personal. Stereotipisasi pihak luar terhadap perempuan Using yang mudah membuat hubungan personal dengan lelaki luar ataupun sesama warga untuk kemudian mengkhianatinya dengan mencari lelaki lain mendapatkan legitimasi secara diskursif dan kultural melalui kehadiran teks legenda yang diproduksi secara massif ini. Hal itu dibuktikan oleh komentar salah satu editor bahasa Perancis bernama Gaelle de Boisheber berikut.
Satu hal yang tidak saya dapatkan, tetapi mungkin itu terjadi karena jarak kultural antara budaya Anda dan saya... Bagi saya, Jakripah tidak memiliki tabiat yang baik. Dia selalu berdusta kepada Paman Idris untuk mendapatkan apa yang ia mau. Dalam pemahaman seperti apa hal itu bisa menjadi pemikiran dan cara hidup yang benar? Saya memahami kesetiaannya pada Barong, tapi kasihan Paman Iris, ia hanya dimanfaatkan. Itu menurut pandangan saya. (Heryanto, 2013: 63)
Komentar ini menarik untuk dicermati lebih lanjut. Boisheber yang berasal dari Perancis ternyata memahami tindakan Jakripah sebagai ketidakbenaran dari seorang perempuan. Meskipun ia sudah terbiasa dengan pemikiran dan budaya Barat yang liberal, dalam hal persoanal kesetiaan masih menjadi keharusan yang mesti diperjuangkan. Secara lembut ia ingin mengatakan bahwa tindakan Jakripah untuk menggunakan kekuatan Paman Iris demi kepentingannya sendiri merupakan bentuk anti-kemanusiaan seorang perempuan yang tidak bisa diterima dalam nalar universal.Â
Tentu, tafsir tersebut hanya didapatkan oleh para pembaca yang memiliki pandangan tegas dalam memaknai sebuah hubungan personal perempuan-laki-laki. Sementara, bagi mereka yang hanya ingin menikmati eksotika dan tradisi, kehadiran legenda ini, paling tidak, bisa mengobati kerinduan mereka terhadap 'dunia yang tenggelam dan hilang' di tengah-tengah rimba modernitas saat ini.
Sebagai sastra lisan yang dikomodifikasi dalam bentuk tulisan-bergambar, Kemiren menawarkan narasi sederhana yang lugas gaya lisan tentang asal-usul lahirnya Desa Kemiren di Banyuwangi yang saat ini menjadi sejak pertengahan Orde Baru menjadi Desa Wisata Using. Salah satu kesenian khas desa ini adalah Barong Kemiren, yang cerita turun-temurun di balik eksistensinya menjadi bahan utama karya ini.Â