Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menginvestasi Lokalitas: Narasi dan Wacana Sastrawi di Jawa Timur

11 November 2021   11:20 Diperbarui: 11 November 2021   11:48 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menariknya, ketradisionalan masyarakat secara sengaja dibiarkan hadir secara telanjang. Motivasi dan tujuan di balik pelaksanaan ritual tersebut dikembalikan ke dalam nalar turun-temurun yang mewarisi tradisi animistik dan Hindu-Budha, meskipun sebagian dari mereka sudah menganut agama Islam.

Dalam ruang kultural agraris-animistik, segala pola pikir dan perbuatan menyimpang akan diposisikan sebagai pelanggaran terhadap adat. Semua warga, dari anak-anak hingga orang dewasa, diwajibkan untuk menaati segala norma dan aturan religi karena pelanggaran, sekecil apapun diyakini akan menimbulkan bencana, baik berupa penyakit maupun kegagalan panen. 

Ketika Madun dan kawan-kawan sebayanya mengalami sakit perut setelah mengambil dan memakan makanan sesajen, warga langsung meyakininya sebagai bentuk hukuman dari danyang, arwah leluhur yang dihormati dan diyakini sebagai penjaga dusun (Lathief, 2010: 25). Padahal, dalam pemahaman Madun, sakit perut itu terjadi karena ia dan kawan-kawannya meminum air mentah selepas menyantap makanan sesajen (Lathief, 2010: 123). 

Melalui seorang anak bernama Madun inilah pengarang mencoba untuk membaca-ulang tradisi dengan makna-makna modern, yakni tidak mempercayai kesakralan yang ada dalam ritual. Penghadiran Madun sebagai subjek hibrid dalam narasi bukan tanpa alasan. Kenakalan anak-anak yang menginginkan makanan enak dalam sesajen karena dalam kehidupan sehari-hari mereka jarang makan enak merupakan pintu masuk untuk menegosiasikan gagasan-gagasan modern. 

Seberat apapun pelanggaran yang dilakukan Madun, pemimpin adat akan memakluminya dan tidak akan menghukumnya karena ia tetaplah seorang anak yang belum tahu adat leluhur. Maka, tatkala Madun tersedak setelah memakan paha ayam untuk sesajen ritual tolak-bala karena makanan sesajen harian hilang, ia segera berpura-pura kesurupan untuk menghindari hukuman. Pemimpin adat tidak memberikan hukuman kepadanya dan kedua sahabatnya, Pri dan Qin, tetapi tetap dijadikan contoh agar warga tidak melakukan pelanggaran serupa (Lathief, 2010: 119-120).

Lebih jauh, pemakluman terhadap kenakalan Madun menjadikannya semakin leluasa menawarkan pikiran-pikiran nakal lain yang semakin menggugat kemapanan adat.

"...Adat sudah mengetahui aksi kita dan memaafkan karena dikira kita tidak tahu adat. Tapi kita akan mengubah adat yang sangat menyulitkan kita ini. Adat yang membelenggu kita dan membuat kita terpuruk kemiskinan," terang Madun.

Obrolan ringan di bantaran kali. Seolah Madun adalah sumber semangat bagi Pri dan Qin... Warga yang melintas kadang ikut mendengarkan sekilas. Kadang ikut tersenyum dengan penjelasan Madun. Seolah sangat setuju dengan penjelasan Madun...Sempat terbersit dalam   pikiran warga Desa Woh yang melintas itu bahwa akan ada perubahan yang main baik nantinya. Seorang seperti Madun itulah yang bakal menjadi acuan perubahan (Lathief, 2010: 124)

Tentu saja, realitas naratif ini terkesan tidak masuk akal  mengingat usia Madun yang masih belia. Keinginan mengubah adat yang membelenggu dan memiskinkan merupakan suara pengarang yang membawa ideologi pencerahan; keluar dari tradisi yang hanya diwarisi turun-temurun tanpa mau mengkritisi kelemahan-kelemahannya. 

Melalui penggambaran naratif ini, praktik diskursif modernitas berupa pikiran-pikiran sekuler dinegosiasikan sebagai kebenaran yang akan membawa kemajuan. Respons warga yang mendengarkan omongan Madun, 'sang pencerah', mempertegas kebenaran pikiran-pikiran modern yang akan memunculkan perubahan masyarakat, menuju masa depan yang lebih baik.

Implikasi lanjut dari wacana revolusioner yang digaungkan dan dipraktikkan oleh Madun adalah sebagian besar warga masyarakat mulai berani memakan kue dan makanan sesajen lainnya. Ketakutan-ketakutan akan terjadinya bencana (balak) dengan cepat menghilang dari ruang kultural desa. Meskipun, warga belum mau meninggalkan sepenuhnya ritual adat karena perasaan sungkan terhadap pemimpin adat, kesadaran untuk tidak terlalu menghiraukan hukuman-hukuman dari para danyang penjaga desa menunjukkan keberanian untuk menerobos tabu-tabu tradisi yang mengekang pikiran dan tindakan warga selama ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun