Apa yang tidak bisa ditolak adalah masyarakat lokal bukan lagi masyarakat yang sepenuhnya tradisional, demikian pula dengan tradisinya. Mereka sudah terbiasa dengan pola pikir modern dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian besar mereka sudah mengenyam pendidikan modern dan mengendapkan idealisasi-idealisasi untuk menjadi manusia rasional yang mengedepankan kesamaan hak dan sekulerisasi terhadap dogma-dogma yang mengekang.Â
Meskipun, bukan berarti mereka meninggalkan sepenuhnya ikatan tradisional, seperti keluarga. Kondisi inilah yang menghasilkan keberantaraan, ambivalensi, dan hibriditas kultural; meniru dan mengapropriasi modernitas, tetapi tidak sepenuhnya meninggalkan aspek-aspek komunal sebagai pembeda subjek pascakolonial dengan subjek Barat.Â
Hibriditas menjadi ruang-antara atau ruang ketiga di mana mereka bisa menemukan dan menemukan strategi subjektivitas baru di tengah-tengah kekuatan modernitas dengan tetap menimbang dan menegosiasikan sebagian lokalitas yang ditransformasi dalam praktik kekinian (Bhabha, 1994; Young, 2009; Lopez, 2001; Huggan, 2008; Khrisna, 2009).Â
Proses kultural yang jarang dibicarakan dalam cara pandang hibriditas adalah usaha subjek lokal-tercerahkan untuk mengevaluasi dan mendekonstruksi kebenaran-kebenaran tradisional yang dianggap menyisakan kompleksitas masalah, utamanya terkait ketidaksamaan sosial yang dipelihara dalam struktur dan praktik tradisi dalam masyarakat. Akibatnya, hibriditas dalam masyarakat lokal di Indonesia menjadi lebih kompleks.
Mengkonstruksi-kembali (sekaligus Meninggalkan) KetradisionalanÂ
Salah satu aspek eksotis yang masih menjadi daya-tarik tersendiri dalam kerja-kerja sastrawi adalah ketradisionalan masyarakat dan budaya. Tentu saja, sebagaimana saya singgung sebelumnya, ketradisionalan di Jawa Timur sangatlah beragam. Apa yang saya maksud dengan ketradisionalan adalah cara hidup sosial serta nilai dan praktik budaya yang mengedepankan tatanan keberimbangan makro-mikrokosmos, sebagai antitesis modernitas yang mengedepankan rasionalitas, sekulerisasi, dan ekspansi.Â
Bagaimana sastrawan Jawa Timur memaknai ketradisionalan yang oleh sebagian masyarakat masih dianggap penting di tengah-tengah geliat menjadi modern mereka? Tentu saja, tidak ada ketunggalan jawaban karena cara pandang dan keterlibatan pengarang dalam kehidupan masyarakat juga beragam. Belum lagi ketradisionalan sendiri juga bisa dibingkai dari beberapa akar, baik akar agama maupun akar ritual nenek moyang.
Cara pandang yang biasa digunakan oleh sastrawan dalam menuliskan ketradisionalan adalah nostalgia masa lalu yang njlimet (kompleks) dan terkesan tidak masuk akal karena pengaruh ideologi dan budaya modern yang mereka terima. Biasanya, mereka akan menarasikan hal-hal yang bersifat aneh tetapi nyata adanya dalam kehidupan masyarakat.Â
Mengingatnya sebagai masa lalu yang perlu ditutur-kembali dalam struktur naratif merupakan pilihan yang mempertemukan hasrat pembaca terhadap ke-masa-lampau-an nan eksotis dan kepentingan untuk memaknainya kembali. Suppat I. Lathief, penulis kelahiran Lamongan, dalam Delusi (2010), misalnya, menarasikan masa lalu eksotis sebagai bagian pembuka dari novelnya.
Aroma-aroma segar dari semilir angin membawa sejuk dan ketentraman; dicampur dengan riang anak-anak bermain di kali atau membantu bapak mereka di sawah. Berganti dengan aroma kembang dan kemenyan. Ramai dan riang pun berganti dengan suara bisik-bisik mantra. Kembang-kembang ditaruh di depan rumah-rumah, di perempatan, di pinggir kali, dan dibawa ke sawah. Di atas batu besar atau di tengah sawah-sawah, mereka menaruh kembang-kembang dan segala macam panganan mentah ataupun yang sudah matang. Ditaruh dengan hati-hati dan khidmat. (Lathief, 2010: 11)
Narator dengan detil menggambarkan bagaimana ritual di sebuah desa, Desa Woh, di pagi hari ketika para petani hendak menjalankan aktivitas pertanian. Ruang kultural desa yang masih dipenuhi aroma kembang, suara mantra, semilir angin, anak-anak yang bermain di kali, dan bentangan sawah, direkam dan dituturkan-kembali secara antropologis. Ritual harian lengkap dengan sesajen dan mantra dihadirkan-kembali untuk membangun atmosfer nostalgik, karena saat ini para petani di Lamongan sudah semakin jarang menjalankan ritual itu karena pengaruh revolusi hijau di masa Orde Baru dan berlanjut hingga saat ini.Â