Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ruang Lokal sebagai Sumber Kreatif Sastrawi

6 November 2021   07:42 Diperbarui: 6 November 2021   08:16 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ruang lokal seperti Banyuwangi tentu sangat kaya akan mitos, sejarah, ritual, legenda, dongeng, dan tradisi lisan lainnya. Semua itu bisa ditafsir-ulang untuk dihadirkan kembali dalam suasana modern. Misalnya, arwah gandrung masa lalu hadir bercakap dengan gandrung masa kini untuk membincang permasalahan-permasalahan tertentu. Para arwah penunggu sumber air masuk ke dalam kehidupan masyarakat desa atau masyarakat kota. Arwah dalam ritual Seblang yang tidak mau masuk ke dalam diri penari tarian karena ada masalah tertentu yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Para pahlawan atau kerajaan masa lalu bisa dibuat ada di masa kini. Foklor yang berkembang di komunitas perkebunan dan pesisir juga menarik. 

Tentu, peristiwa-peristiwa itu hanya beberapa contoh sederhana yang bisa dikembangkan lagi oleh para penulis. Apa yang harus diingat bahwa tujuan politis dari narasi posmodernis adalah untuk mengganggu kemapanan hegemoni modernisme yang dianggap sebagai rezim kebenaran dalam segala aspek kehidupan. Sementara, pluralitas budaya yang dimarjinalkan juga berhak diartikulasikan untuk menatap permasalahan masyarakat.

Menghadirkan Tatapan Ekologis

Salah satu fakta yang tidak bisa ditolak untuk saat ini adalah semakin rakusnya para pemodal untuk melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah lokal, baik untuk kepentingan penambangan maupun pariwisata. Alasan utamanya selalu saja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, meskipun kenyataannya tidak selalu manis bagi rakyat. Kerakusan rasionalitas modern sudah lama mendapatkan kritik dalam bentuk gerakan kultural. 

Romantisisme, misalnya, muncul sebagai gerakan sastra dan kultural yang menjadikan keliaran dan kemisteriusan alam serta kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan di Eropa sebagai bahan kreatif dalam penulisan (Day, 1997). Gerakan ini lahir dari rahim modernisme, tetapi pada akhirnya, menjadi 'anak nakal' yang mengkritik dan memosisikan nalar modern membelenggu kebebasan manusia seperti yang dijanjikan. Rasionalitas dan teknologisasi mengekang kemampuan tanpa batas manusia, termasuk menelusuri kemisteriusan alam. 

Ekplorasi yang luar biasa terhadap kekuatan alam menjadikan Romantisisme sebuah gerakan yang banyak melahirkan karya-karya sastra yang mengekspos persoalan alam. Oleh karena itu, kreativitas Romantik sebenarnya menjadi salah satu dasar munculnya gerakan sastrawi yang menghadirkan permasalahan lingkungan dalam narasi. Isu lingkungan ini memang menjadi satu kegelisahan bersama umat manusia, apalagi ketika kerakusan itu menyasar ruang lokal yang diharapkan mampu menjadi kekuatan penopang penyelamatan lingkungan. Maka, menggunakan cara pandang ekokritik merupakan misi sastrawi untuk terlibat dalam permasalahan ekologis yang berkaitan dengan keselamatan warga di ruang lokal. 

Di Banyuwangi, kita menyaksikan bagaimana geliat tambang mulai memunculkan keresahan sebagian anggota masyarakat. Tumpang pitu menjadi 'lukisan Tuhan' yang mulai diusik oleh tangan-tangan rakus pemodal dan rezim negara yang mendukungngya. Bukit yang menjadi 'benteng alami' dari ancaman tsunami seperti yang pernah terjadi pada tahun 1994. Kesadaran ekokritik akan mendorong para penulis untuk mengeksplorasi detil-detil khusus peristiwa yang melibatkan, misalnya, kearifan warga, kekuatan geografis dan ekologis Tumpang Pitu, masa depan kerusakan, dan konflik yang melibatkan warga dengan pihak pemodal. Konflik tanah yang melibatkan warga di Wongsorejo, pemerintah, dan pemodal juga bisa dijadikan pintu masuk untuk menarasikan ruang lokal yang bergejolak manakala ruang hidup dan akses ekonomi kehidupan warga diusin secara sengaja. 

Meriahnya ritual-ritual agraris bisa jadikan sumber kreatif terkait kearifan ekologis yang masih dirayakan secara kultural, tetapi kekuatan teknologi pertanian ala komunitas petani yang berasal dari leluhur sesungguhnya sudah banyak ditinggalkan. Meriahnya industri pariwisata Banyuwangi menarik untuk ditulis dalam hal dampak ekologis aktivitas wisata terhadap pencemaran dan kerusakan alam. Penyu di Pantai Cemara dan Sukamade juga bisa menjadi rujukan untuk cerita anak-anak sebagai upaya untuk mengenalkan kekayaan fauna di Banyuwangi.

Akhir(-an), Sementara 

Tentu saja, pemikiran-pemikiran tentang cara pandang terhadap kompleksitas ruang lokal di atas hanyalah alternatif yang bisa diambil oleh para pengarang. Setiap pengarang memiliki pandangan dunia yang mewakili idealisasi pemikiran berdasarkan kelas sosial mereka. Aspek ini pula yang tidak bisa menjadikan wacana seperti yang saya lontarkan belum pasti bisa diterima, karena pandangan dunia ini menjadi semacam ideologi yang diyakini, meskipun bukan berarti tidak bisa berubah. Namun, terlepas setuju atau tidak setuju, para penulis pasti memiliki sebuah misi dalam penulisan. Misi ini, lagi-lagi, juga tidak bisa dipaksakan karena pertimbangan kelas dan orientasi penulisan akan mempengaruhi derajat misi yang diimplementasikan dalam karya, baik drama, prosa, maupun puisi.

Bagi para penulis bermisi strategis yang ingin menyampaikan wacana penguatan dan pemberdayaan subjek di tingkat bawah, tentu akan memandang ruang lokal seperti di Banyuwangi tidak dengan cara pandang eksotisisme demi sekedar menarik keterpesonaan pembacanya. Lebih dari itu, bermacam mitos, legenda, ritual, kesenian, seniman, identitas dan permainannya, jender, marjinalitas, maupun permasalahan ekologis merupakan sumber kreatif yang sebenarnya di mana para penulis bisa memaksimalkan secara kreatif dan kritis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun