Ruang lokal dengan kondisi-kondisi di atas tetap menarik sebagai sumber kreatif sastrawi, baik untuk konteks Indonesia maupun global. Masa lalu dan masa kini eksotis, cerita legenda dan sejarah, beragam konflik jender, hibriditas kultural, konflik warga vs pemodal dalam kasus tambang, usaha pemertahanan tradisi di tengah-tengah industri wisata, kehidupan sedih para pelaku kesenian rakyat, dan topik-topik lainnya sangat menarik untuk dinarasikan. Dalam ruang lokal yang semakin kompleks itulah, para penulis dituntut untuk melakukan pembacaan dan pengamatan serius agar bisa menemukan gagasan-gagasan dan topik diskursif yang bisa diangkat ke dalam cerita.Â
Adalah sangat salah kalau mengatakan bahwa menulis karya fiksi itu tanpa riset, tanpa membaca. Sebuah karya tidak pernah terlahir dari ruang kosong dan untuk mendapatkan kedalaman narasi memahami kondisi kontekstual melalui bacaan dan riset adalah sebuah keharusan. Ingatlah bagaimana Promoedya Ananta Tour harus membaca banyak buku sebelum ia menghasilkan banyak cerita dari Pulau Buru. Penyair Banyuwangi, Andang C.Y. Â harus tinggal, bekerja, dan makan bersama kaum petani, buruh tani, dan nelayan untuk menghasilkan puisi-puisi realis-sosialis.
Tentu saja, cara pandang masing-masing pengarang dalam memosisikan ruang lokal dan kompleksitasnya dalam jagat yang bergerak dan berubah. Cara pandang ini juga tidak luput dari pandangan dunia penulis yang akan menentukan arah cerita dan negosiasi wacana ideologis di dalam sebuah narasi. Pandangan dunia menurut Goldman (1975, 1980) adalah wacana terkait persoalan-persoalan tertentu di dalam masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh kelas sosial penulis. Pandangan dunia inilah yang akan menghubungkan jagat sosial dalam teks dengan jagat sosial sebenarnya.Â
Kemampuan para sastrawan membuat strategi naratif yang tepat menjadi penentu keberhasilan sebuah tulisan, baik berupa puisi, prosa, maupun drama. Yang saya maksudkan sebagai strategi naratif adalah "cara untuk bertutur secara tekstual melalui alur naratif, puitik, atau dramatik dengan tetap memperhatikan formula-formula sastrawi yang berjalin-kelindan dengan dari kompleksitas ruang kontekstual dan target pembaca".
Cara Pandang Eksotika PascakolonialÂ
Salah satu aspek Orientalisme adalah keberadaan sang eksotis yang dimaknai sebagai subjek yang asing dan aneh nun jauh di sana. Dalam perkembangan lanjut, menurut Huggan (2001: 13-19), eksotisisme muncul sebagai moda partikular persepsi estetik---moda yang menjadikan orang, objek dan tempat "yang aneh" dalam karya-karya representasional di ranah domestik serta mempabrikkan keliyanan seakan-seakan sudah sedemikian adanya seperti misteri abadi.Â
Produksi eksotisis keliyanan menjadi bagian penting dalam industri budaya, termasuk sastra di dalamnya, karena masih banyak orang-orang di kota-kota metropolitan yang masih merindukan keanehan dan keliyanan yang tidak sama dengan diri mereka, sehingga sang eksotis masih menjadi rumus penting bagi larisnya sebuah produk. Sebagai sirkuit semiotik dalam produk represenatisional, eksotisisme memainkan peran penting dalam mendekatkan "yang jauh dan asing" ke dalam kehidupan sehari-hari penikmat industri budaya.Â
Di sisi lain, keliyanan seperti marjinalitas dan keunikan, sebenarnya bisa menjadi kekuatan untuk melawan kekuatan dominan, termasuk neo-kolonialisme, dengan komunalisme dan politik identitas. Namun, ketika keliyanan itu sudah diinkorporasi oleh kekuatan epistemologis akademis yang berkolaborasi dengan pemodal dan negara berhaluan neoliberal, maka ia hanya akan menjadi selebrasi penanda, dirayakan sebagai sirkuit makna yang kehilangan kekuatan strategisnya di masyarakat. Pemujaan sang eksotis dalam industri budaya di satu sisi dan usaha-usaha strategis untuk terus meresistensi kuasa neo-kolonial  yang salah satunya melalui penarasian masyarakat dan budaya di negara-negara pascakolonial inilah yang melahirkan konsep eksotika pascakolonial.Â
Huggan (2001: 28) memberikan beberapa definisi eksotika pascakolonial sebagai berikut. Pertama, sebuah situs konflik diskursif antara sekelompok subjek lokal yang sedikit-banyak terhubung dengan tindakan oposisional dengan aparatus nasional/global yang terhubung dengan kode-kode komersial/institusional. Kedua, lebih spesifik lagi, eksotika pascakolonial menandai persimpangan antara dua rezim yang saling bersaing, yakni rezim poskolonalisme yang memosisikan dirinya anti-kolonial melalui kerja-kerja untuk membubarkan struktur epistemologis dan instituional imperial dengan dengan rezim pascakolonialitas yang terikat pada pasar global yang mengkapitalisasi, baik sirkulasi luas ide tentang "keliyanan kultural" maupun perdagangan mendunia artifak dan benda yang "diliyankan" secara kultural.Â
Poskolonialisme merupakan perspektif teoretis dan gerakan politiko-kultural yang dikembangkan para intelektual dari negara-negara pascakoloial yang bertujuan mengungkapkan aspek-aspek historis dan kultural penindasan bangsa-bangsa Barat terhadap Timur sebagai titik awal untuk melakukan resistensi, baik dalam tataran diskursif maupun praksis. Sebagai perspektif dan gerakan, poskolonialisme dipengaruhi cara pandang Marxisme dan juga pascasstrukturalisme, sehingga bisa digunakan untuk membongkar dominasi kekuasaan kolonial dan transformasinya di masa kini (Bhabha, 1994; Loomba, 2000; Lpez, 2001; Leela Gandhi, 1998; Young, 2003; Huggan, 2008: 6; Ahluwalia, 2002: 196-197; Sankaran Krishna, 2009).
Poskolonialitas merupakan kondisi kultural masyarakat pascakolonial yang diwarnai ambivalensi, keberantaraan, dan hibriditas kultural. Kesadaran untuk mentransformasi yang modern ke dalam yang tradisional sebenarnya bisa menjadi kekuatan bagi masyarakat untuk mengganggu kemapanan epistemologis Barat (Radhakrisnan, 2003: 1-2). Masyarakat juga bisa mengembangkan vernacular cosmopolitanism, Â praktik kultural yang berlangsung dalam masyarakat pascakolonial di mana mereka berusaha menerjemahkan beragam budaya dan melintasi mereka sebagai cara untuk bertahan hidup.Â