Kalau mereka memutuskan untuk menjadi pelaku bom bunuh diri, mungkin mereka sudah didoktrin sedemikian rupa oleh pemimpin tertentu sehingga rela merampas hak prerogratif Tuhan sebagai pemilik nyawa manusia. Namun, mengajak anak-anak yang semestinya bisa meneruskan kehidupan di muka bumi dengan beragam cerita yang sangat mungkin berbeda dengan apa yang diidealisasi oleh orang tua benar-benar menunjukkan betapa mereka bukanlah manusia lagi. Saya benar-benar tidak bisa berpikir, bagaimana bisa manusia yang diutus dan diberi kekuasaan penuh di muka bumi ini bisa menuliskan teror dengan penuh darah--bahkan, darah mereka yang seharusnya  melanjutkan regenerasi kehidupan--yang merengggut hak prerogratif Tuhan sebagai Sang Penghidup sekaligus mematikan batin kemanusiaan dalam dimensi terkecil, keluarga: sebuah narasi anti-kehidupan.
Kita bisa membayangkan ketika narasi anti-kehidupan ini semakin meluas, apa yang akan terjadi dalam masyarakat dan bangsa ini bukan hanya tragedi berdarah, tetapi juga hilangnya toleransi dalam lingkup paling kecil keluarga. Apa yang saya katakan sebagai toleransi dalam konteks ini adalah penghargaan terhadap adanya perbedaan sudut pandang dalam sebuah kelurga yang semestinya bisa mendinamiskan pemikiran. Ketika toleransi tersebut sudah dibunuh dalam lingkup keluarga, penghargaan terhadap manusia-manusia lain di luar keluarga hanyalah menjadi kamuflase untuk menutupi niatan teror berdarah mereka. Ketika anak-anak yang semestinya bisa menjadi generasi penerus yang bisa jadi berbeda pandangan ideologis dan politiknya dengan orang tua harus dibunuh atas nama 'Tuhan' dan 'surga', regenerasi toleransi terhadap perbedaan yang bisa disemaikan secara ajeg tentu akan mengalami kemandegan atau, bahkan, kematian.Â
Dalam bentuk lainnya, narasi anti-kehidupan juga bisa mewujud hilangnya toleransi untuk membiarkan kehidupan umat agama atau etnis lain tidak tentram dan selalu merasa terancam dan tidak tenang, khususnya untuk menjalankan ibadah agama mereka. Mengapa demikian? Beragama dan berbudaya adalah salah satu bagian dari HAM dalam menjalani kehidupan. Ketika ada ketidaknyamanan akibat mobilisasi ketakutan oleh pihak tertentu, saat itulah sebenarnya mereka tidak bisa menjalani kehidupan secara tentram. Narasi anti-kehidupan akan membunuh banyak narasi tentang surga yang didambakan oleh semua pemeluk agama karena surga sudah dinarasikan secara sepihak oleh mereka yang merasa berhak mendistribusikannya kepada siapa-siapa yang dikehendaki.
* Tulisan ini berasal dari makalah yang disampaikan dalam Sarasehan Budaya dan Pentas Seni HMI Komisaritas Sastra Cabang Jember, di Gedung YABINA Jember, 26 Mei 2018.
Pustaka Acuan
Abdurahman, Dudung. 2017. "Multiculturalism in Islamic Civilization during the Classic Period". Dalam ADDIN, Vol. 11(1): 27-53.
Alcoff, Linda Martn dan Satya P. Mohanty. 2006. "Reconsidering Identity Politics: An Introduction". Dalam Linda Martn Alcoff, Michael Hames-Garca, Satya P. Mohanty, dan Paula M. L. Moya (eds). Identity Politics Reconsidered. New York: Palgrave Macmillan.
Al-Rodhan, Nayef. 2017. "Post-truth Politics, the Fifth Estate, and the Securitization of Fake News", Global  Policy Journal, http://www.globalpolicyjournal.com/blog/07/06/2017/post-truth-politics-fifth-estate-and-securitization-fake-news.
Arif, Mahmud. 2012. "Pendidikan Agama Islam Inklusif-Multikultural". Dalam Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1(1): 1-18.
Arifa, Nur Laily. 2014. "Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Universalisme Islam dan Implikasinya terhadap Pendidikan Multikutlural". Tesis S2 (belum dipublikasikan). Malang: Sekolah Pascasarjana UIN Maliki.
Bhabha, Hommi K. 1994. The Location of Culture. London: Routledge.